Sering kali kita terjebak pada kesalahan berpikir yang disebut dengan “the fallacy of straw man“. Kita ciptakan bayangan tertentu di kepala kita, lalu kita gebuki bayangan itu. Padahal yang kita gebuki itu tak ada dalam dunia riil. Yang kita gebuki adalah bayangan dalam kepala kita sendiri.
Dalam berpikir, cara seperti ini adalah kesalahan fatal.
Salah satu contoh terbaik dari percakapan akhir-akhir ini yang bisa masuk dalam kategori “the fallacy of straw man” adalah debat soal Islam Nusantara.
Orang-orang yang tak sepakat dengan gagasan Islam Nusantara tampaknya punya definisi sendiri soal istilah itu, lalu definisi itu mereka “gebuki” sendiri. Padahal definisi yang ada dalam pikiran mereka itu tidak ada dalam kenyataan riil.
Misalnya, mereka membayangkan bahwa pendukung ide Islam Nusantara akan sembahyang dengan bahasa Jawa, Sunda, Mandar, Bugis, Batak, dll. Pendukung ide Islam Nusantara anti segala hal yang berbau Arab, termasuk nama-nama Arab. Dan seterusnya.
Lebih parah lagi kalau ada yang berpikiran bahwa Islam Nusantara adalah aliran atau “firqah” baru. (Lihat vidio menarik: Salam Emprak, Salam Islam Nusantara)
Sudah tentu, gambaran semacam ini keliru. Para penggagas Islam Nusantara tidak bermaksud demikian. Apa yang menjadi keberatan para penyangkal Islam Nusantara sebagian besar adalah bayangan yang mereka ciptakan di kepala mereka sendiri, lalu bayangan itulah yang mereka kritik, mereka “gebuki” rame-rame.
Kesalahan berpikir semacam ini bisa mengenai siapapun. Kaum liberal, konservatif, fundamentalis, teis, ateis, moderat, kiri, kanan, tengah, relijius, sekuler, dan, yaaa, pendukung Jokowi, pendukung Prabowo, pendukung Cak Imin, pendukung UAS (hahaha…) – – semuanya bisa terpapar penyakit “the fallacy of straw man” ini.
Saya pun, jujur saja, juga kadang menderita penyakit ini dalam proses berpikir saya. Itulah sebabnya kita perlu diskusi, perlu mendengar “yang lain”, agar kita bisa melihat kesalahan dalam pikiran kita, dan mengoreksinya.
Seperti sabda Kanjeng Nabi:
“Al-muslimu mir’atu akhihi al-muslim“, seorang muslim adalah cermin bagi saudaranya. Cermin di sini maksudnya: kita bisa bercermin dan melihat kelemahan kita dengan mendengar kritik dari orang lain.
Kalau dikatakan dalam hadis ini “al-muslim”, bukan berarti ajaran dalam hadis tersebut berlaku bagi orang muslim saja. Ketika Kanjeng Nabi mengatakan “al-muslim” dalam konteks pembicaraan mengenai etika universal, maka yang dimaksudkan adalah siapa saja, baik muslim maupun non-muslim.
Jelas kesalahan berpikir jika menganggap kidung lebih merdu dari suara azan, dan konde lebih cantik dari cadar dan budaya Nusantara lebih adiluhung dari budaya Arab. Ujung-ujungnya tuduhan nasionalisme arab adalah nasioanlisme gagasan orang yahudi….