Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

Ihwal Nazam al-Syathibiyyah (Buat Para Penghafal Alquran)

Para santri hafiz atau penghafal Alquran atau hamilul Quran yang hendak belajar qiraah yang tujuh (qiraah sab’ah), plus tiga qiraah yang lain (qira’ah ‘asyarah), pasti akan mengenal dua karya penting ini, yaitu qashidah lamiyyah berjudul “Hirzul Amani wa Wajhut Tahani” karya Imam Syathibi (dari Xativa, sebuah kota di provinsi Sevilla, di Spanyol) dan “al-Durrah al-Mudliyyah” karya Imam Ibnu al-Jazari.

Bagi saya fakta berikut ini sungguh luar biasa. Di seluruh dunia Islam, hampir terjadi konsensus yang muncul secara alamiah tentang “kurikulum standar” pengajaran qiraah sab’ah. Di manapun di dunia Islam saat ini, jika hendak belajar qiraah sab’ah, maka buku standarnya adalah dua: nadzam al-Syathibiyyah dan al-Durrah al-Mudliyyah.

Yang pertama karya Imam Syathibi yang lahir di belahan Barat dunia Islam, di Spanyol, dari ke-6 Hijriyah. Yang kedua karya Imam Ibn al-Jazari, yang lahir di Syam, dari abad ke-9 Hijriah.

Yang mengagumkan adalah bagaimana proses terjadinya standardisasi kurikulum pengajaran qiraah sab’ah di seluruh dunia Islam sejak era Imam Syathibi hingga sekarang. Bagaimana proses standardisasi ini bisa terjadi? Padahal tidak ada otoritas yang memakaksakan dan merekayasa.

Proses standardisasi ini terjadi secara alamiah, gradual, dan berlangsung selama berabad-abad.

Menurut saya, inilah cara dunia pemikiran di era klasik Islam bekerja dalam menyusun kurikulum. Kurikulum tidak direkayasa secara “politik” melalui kebijakan negara, tetapi berlangsung melalui proses alamiah yg terjadi di lingkungan komunitas ilmiah di era itu. Negara tak terlalu banyak turut campur. Meskipun, dalam hal dominannya sebuah mazhab fikih, teologi, atau bahkan qiraah, bisa saja negara terlibat, seperti kasus “dominasi” (paling populer) qiraah Hafsh dari ‘Ashim.

Baca juga:  Tuan Guru Lombok; Figur Agamis dan Sosialis

Mengapa nazam al-Syathibiyyah ini “menang” secara intelektual dan menjadi standar dalam pengajaran qiraah sab’ ah di seluruh dunia Islam sejak era pra-modern hingga sekarang? Dugaan saya, adalah karena faktor intrinsik dalam kitab ini sendiri.

Kalau kita baca nazam al-Syathibiyyah, memang ada dua hal yanh menonjol. Pertama, secara kesastraaan, ini adalah qashidah (KBBI: kasidah. Maknanya telah mengalami penyederhanaan dari aslinya) (lamiyyah) yg sangat indah, padahal ini bukan kasidah yang ditulis secara bebas, melainkan dalam kerangka untuk mengajarkan suatu fann atau disiplin ilmu tertentu.

Ada kecenderungan, nazam (ada dalam KBBI) atau kasidah yang ditulis untuk tujuan ta’lim fann min funun al-‘ilm tidak seindah kasidah atau syair yang ditulis secara bebas seperti karya-karya penyair besar seperti Abul Ala al-Maarri, al-Mutanabbi, al-Buhturi, dll. Nazam al-Syathibiyyah agak lain. Walau ini adalah syair yang ditulis untuk tujuan pengajaran, tetapi keindahannya tak kalah dangan syair-syair Arab pada umumnya.

Yang kedua: nazam al-Syathibiyyah membawa hal yang sangat orisinal dan membantu para pengahafal Alquran untuk mengingat berbagai ragam qiraah (ada dalam KBBI) secara mudah. Imam al-Syathibi menemukan rumus dengan menggunakan apa yang disebut “huruf al-jummal” atau “huruf al-gimmel” yang berasal dari abjad bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa Semitik yang lain.

Baca juga:  Apa Filosofi Sarung?

Dengan rumus seperti inilah, misalnya, Imam al-Syathibi menemukan rumus “نصع” sebagai simbol untuk qiraah Ashim beserta dua rawinya, Syu’bah dan Hafsh. Huruf ن (nun) sebagai simbol yg mewakili Imam Ashim, huruf ص (shad) mewakili Imam Syu’bah, dan huruf ع (ain) mewakili Imam Hafsh.

Rumus ini dipakai oleh Imam al-Sythibi untuk seluruh qurra’ (ahli qiraah) yang berjumlah tujuh itu. Metode ini sangat memudahkan para pembelajar qiraah sab’ah untuk mengingat dan menghafal. Nazam al-Syathibiyyah sangat enak dan mudah dihafal karena memang ditulis dengan kepekaan literer yang luar biasa. Denga menghafal nazam al-Syathibiyyah yang jumlahnya 1173 itu, seorang penghafal Alquran akan dimudahkan juga mengahfal rumus-rumus yang menandai semua ragam qiraah tujuh yang ada.

Saya kira, karena kualitas intrinsik nazam al-Syathibiyyah semacam inilah karya ini kemudian memenangkan “contest” dalam memperebutkan pengaruh intelektual sebagai rujukan dalam pembelajaran ragam-ragam qiraah Alquran.

Yang mengagumkan lagi, Imam al-Syathibi ini adalah seorang buta. Ajaib sekali. Dengan kebutaannya ini, dia bisa mengarang sebuah kitab syair dengan jumlah bait lebih dari seribu, dan merupakan ringkasan dari kitab lain yang pada saat itu menjadi rujukan bagi mereka yang belajar qiraah sab’ah, yaitu “al-Taisir” karya Abu ‘Amr ad-Dani. Setelah kasidah al-Syathibiyyah, kitab al-Taisir malah seperti dilupakan, digantikan oleh karya Imam Syathibi itu.

Baca juga:  Emmanuel Macron dan Declinasi Modernisme Liberal

Mengutip bait dalam al-Syathibiyyah:

جزى الله بالخيرات عنا أئمة #
لنا نقلوا القرآن عذبا وسلسلا

Jasa intelektual Imam Syathibi dan Ibnu al-Jazari sungguh tak ternilai bagi Kitab Suci Alquran, bagi pengafal atau huffazzul Quran, dan lebih dari segala-galanya: bagi sastra Arab.*

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top