Hamdan atau Hamadan adalah sebuah kota yang sangat tua di Iran, dan dari sana lahir banyak sarjana dan ulama Islam yang besar di era klasik.
Salah satu ulama penting yang lahir dari kota ini adalah sufi besar yang mati digantung (waqila: digantung dan disalib) pada bulan Mei, 525 H/1131 oleh Sultan Mahmud Malikshah, penguasa pemerintahan Saljuq. Catatan: dinasti Saljuq pernah memindahkan ibu kota imperium Abbasiyah dari Baghdad ke Hamdan/Hamadan, sebuah kota yang terletak lebih ke arah timur.
Filsuf itu bernama ‘Ain al-Qudat al-Hamadani. Dia adalah murid Ahmad al-Ghazali, adiknya Imam Ghazali yang masyhur itu, dan Umar al-Khayyam (w. 517 H/1123 M). Dia juga pengagum sufi besar al-Hallaj (w. 309 H/922 M). Salah satu karyanya yang sekarang sudah diterbitkan dan banyak menjadi kajian para sarjana adalah “Syakwa al-Gharib” dan “Kasyf al-Haqa’iq”. Makamnya menjadi tempat peziarahan yang dikunjungi banyak orang. Seorang sejarawan klasik Ibn al-Fuwati (w. 723 H/1323 M), dalam kitabnya “Talkhis Majma’ al-Adab fi Mu’jam al-Alqab”, mengatakan bahwa ia pernah mengunjungi makam itu. Sayang sekali, makam sufi besar ini kemudian dihancurkan pada era pemerintahan Safawiyyah.
Yang menarik adalah tentang ejaan nama Hamadan ini: yang benar Hamadan (seperti dipakai oleh banyak sarjana) atau Hamdan? هَمَدان atau هَمْدان? Bagi ulama klasik, perkara ejaan nama ini bukan hal yang “cepethe-cepethe” alias ringan. Seperti para wartawan modern sekarang, para ulama kita di zaman klasik dulu sangat peduli dengan perkara ejaan ini, baik ejaan nama orang atau tempat/kota/negara. Mereka sangat “meticulous”, hati-hati, gemi-nastiti, dan bahkan cenderung “obsesif”.
Seorang ulama dari Syiria yang hidup di abad ke-13, Yaqut al-Hamawi (626 H/1229 M) menulis kamus tentang kota dan negara di era klasik Islam berjudul “Mu’jam al-Buldan”.
Beberapa abad setelah itu, seorang ahli hadis dari Kairo, Mesir, bernama Ibn Hajar al-‘Asqallani (w. 852 H/1449; di pesantren-pesantren NU, ia dikenal melalui karyanya, Bulugh al-Maram) menulis kitab berjudul “Tahdzib al-Tahdzib” yang kemudian ia ringkaskan lagi dalam kitab “Taqrib al-Tajdzib”. Dalam kitab-kitab seperti inilah kita bisa mengecek bagaimana ejaan yang benar untuk nama-nama ulama dan kota/negara di era Islam klasik dulu.
Kembali ke ejaan kota Hamadan itu, menurut Ibn Hajar al-‘Asqallani), ejaan yang benar itu “همدان” adalah Hamdan, dengan mim yang di-sukun, mati, bukan Hamadan. Demikian ia katakan dalam “Taqrib al-Tahdzib”.
Saya menemukan data ini karena tertarik oleh sosok yang sangat populer di kalangan Syi’ah, yaitu al-Harits al-Hamdani (mengikuti ejaan ala Ibn Hajar al-‘Asqallani), atau yang lebih dikenal dalam beberapa literatur hadis Sunni (misalnya: Shahih Muslim) sebagai al-Harith al-A’war (Harits bermata satu).
Al-Harits al-Hamdani ini menarik perhatian saya karena oleh Imam Muslim (w. 261 H/875 M) dalam muqaddimah Shahih Muslim, disebutkan sebagai perawi hadis yang lemah, bahkan cenderung bohong. “Kana kazzaban (dia banyak bohong),” demikian kata Imam Sya’bi (w. 103 H/723 M), seorang ahli hadis yang juga menyandang “nisbah” atau “jejuluk” al-Hamdani (artinya: berasal dari kota Hamdan).
Dalam Tarib al-Tahdzib, Ibnu Hajar al-‘Aqallani bahkan menambahkan data yang lebih “ngeri”, bahwa al-Harits ini dituduh mengikuti aliran Syiah yang ekstrim atau rafidah (wa rumiya bi al-rafdi), meskipun tidak ada keterangan yang jelas, dalam aspek apa al-Harits ini masuk dalam kategori rafidah.
Al-Harits al-Hamdani adalah sosok penting di lingkungan Syiah, dan termasuk dalam generasi tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi). Dia adalah salah satu pendukung Sayyidina Ali, dan bahkan ikut menganjurkan orang-orang untuk berpihak pada Sayyidina Ali pada saat pecah perang Siffin yang terkenal itu.
Dalam kitab Nahjul al-Balaghah (kitab kumpulan surat-surat dan pidato Sayyidina Ali), kita jumpai surat yang ditulis oleh beliau untuk al-Harits al-A’war ini, menandakan kedekatan dan kekhususan hubungan antara dua tokoh tersebut.
Apapun pendapat para ulama mengenai sosok ini, al-Harits al-A’war tentulah sosok yang penting pada zamannya. Tidak main-main, karena, selain murid dan kawan dekat Sayyidina Ali, dia juga murid sahabat agung yang lain, yaitu Ibn Mas’ud.