Pertanyaan ini muncul setiap kali saya membaca publikasi (buku, monograf, artikel jurnal) tentang filsafat Islam yang dikerjakan oleh sarjana-sarjana Barat, terutama yang berkenaan dengan gagasan-gagasan dari para filosof Muslim klasik seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rushd, Suhrawardi, Mulla Sadra, dll.
Membaca riset-riset para sarjana Barat mengenai filsafat Islam, saya kadang-kadang tercenung sendiri, terheran-heran. Nyaris tak ada satu aspek pun dalam filsafat Islam yang tidak “di-ubek-ubek” oleh mereka. Isu yang kecil-kecil, tampak sepele, yang tak ada relevansinya dengan kehidupan sehari-hari, mereka teliti sampai “tandas”.
Ini sekedar beberapa contoh saja.
Seorang sarjana Barat yang dikenal sebagai otoritas mengenai Al-Ghazali, Richard M. Frank, pernah menulis artikel tentang asal-usul istilah “inniyyah” (dari kata “inna” yang artinya “sesungguhnya”) yang banyak dipakai dalam karya-karya Ibn Sina dan filosof Muslim lain yang sezaman dengannya, termasuk oleh al-Ghazali sendiri. Artikel itu berjudul, “The origin of the Arabic philosophical term anniyya” yang ditulis pada tahun 1956, jauh sebelum saya lahir. Tema yang dibahas sangat spesifik dan kecil sekali: tentang istilah “inniyya”.
Olga Lizzini, seorang sarjana perempuan asal Italia yang mengajar di Vrije Universiteit di Amsterdam, Belanda, telah menerjemahkan kitab paling penting karya Ibn Sina, al-Shifa, bagian Ilahiyyat (mengenai ketuhanan; yaitu jilid 10), ke dalam bahasa Italia. Menerjemahkan kitab ini sangat tidak mudah. Lizzini menerbitkan terjemahannya ini pada 2002, dengan judul “Metafisica.”
Hingga sekarang, setahu saya, kitab karya Ibn Sina ini belum ada terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Saya juga bertanya-tanya: apakah ada sarjana Indonesia yang tertarik dengan kitab ini? Mungkin hanya satu orang saja, yaitu Prof. Mulyadhi Kartanegara.
Sekali lagi, saya bertanya-tanya: Apakah ada (kajian) filsafat Islam di Indonesia? Apakah masih ada sarjana yang tertarik untuk membaca dan mengkaji kitab-kitab karya Ibn Sina di universitas-universitas kita? Melihat betapa besarnya perhatian sarjana Barat terhadap filsafat Islam klasik, saya kerap tercenung sendiri: kenapa sarjana Muslim di Indonesia tak ada yang memberikan perhatian serupa? Padahal ini adalah warisan peradaban Islam di masa lampau.
Tetapi, saya memiliki catatan mengenai kesarjanaan Barat ini. Walau kajian-kajian sarjana Barat tentang filsafat Islam ini sangat “mengagumkan” (harus diakui: mereka memang dahsyat!), saya tetap merasakan ada sesuatu yang kurang. Para sarjana Barat ini, dalam kesan saya (mungkin saya keliru), mengkaji filsafat Islam semata-mata sebagai “obyek studi” yang sama kedudukannya dengan obyek-obyek yang lain.
Bagaimanapun, filsafat Islam ditulis oleh para filosof Muslim (seperti Ibn Sina) dengan komitmen mendalam: yaitu, ingin mendamaikan antara “wahyu” dan “akal” (inilah tema pokok yang menjadi kegundahan hampir semua filsuf Muslim). Ada komitmen yang lebih dari sekedar kajian kesarjanaan yang obyektif dan “berjarak.” Ada unsur “keimanan” yang melandasi karya-karya filsafat klasik itu. Komitmen semacam ini yang tidak saya lihat dalam studi-studi yang dikerjakan oleh sarjana Barat mengenai filsafat Islam: betapapun hebatnya karya mereka.
Saya tetap mengagumi dan mendapatkan manfaat intelektual yang banyak dari studi-studi yang dikerjakan sarajana Barat itu. Tetapi saya tetap merasakan, ada sesuatu yang hilang.
Saya bermimpi, karya-karya filsafat Islam klasik ini dibaca kembali oleh para sarjana Muslim di Indonesia, dengan kesungguhan yang tak kalah dari sarjana Barat, tetapi dengan “komitmen iman-etis” yang kokoh. Sebab, para filsuf Muslim menulis karya-karyanya itu bukan sebagai seorang “filsuf profesional” yang hanya mengejar ketenaran akademis. Mereka “berfilsafat” sebagai bagian dari cara memahami Islam, memahami Tuhan, dan memahami ciptaan-ciptaan-Nya.
Dengan kata lain, berfilsafat sebagai “jalan hidup dan keimanan,” bukan sebagai “kemewahan akademis” yang bisa dikerjakan dengan tanpa resiko “to be, or not to be.”