Sedang Membaca
Haul Nurcholish Madjid (8): Naskah Pidato Usman Hamid di Acara Haul Cak Nur
Usman Hamid
Penulis Kolom

Direktur Amnesty Internasional Indonesia, pendiri Public Virtue, dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

Haul Nurcholish Madjid (8): Naskah Pidato Usman Hamid di Acara Haul Cak Nur

Hamid Usman

Tulisan ini mengenang beberapa pemikiran dan tindakan Nurcholish Madjid di bidang hak asasi manusia. Studi sejauh ini lebih banyak membahas pemikirannya tentang Islam dan upayanya mendorong modernisasi Islam dalam kehidupan kebangsaan yang majemuk dengan penekanan pada inklusifisme dan pluralism. Saya berpendapat, pemikiran Nurcholish tentang hak asasi manusia meliputi hak-hak sipil atau kebebasan-kebebasan politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Jika yang pertama menekankan pada jaminan kebebasan individual, maka yang kedua lebih menekankan pentingnya keadilan sosial. Pemikiran Nurcholish tentang keadilan sosial bukan hanya berasal dari ajaran Islam, tetapi juga ajaran agama-agama. Meski demikian, pemikirannya perihal keadilan sosial jarang sekali dibicarakan atau didalami, dan mereka yang meneruskan pemikiran Nurcholish tampaknya lebih menekankan aspek jaminan kebebasan individual khususnya kebebasan beragama, dan kurang menekankan pada pentingnya keadilan sosial.

 

Pendahuluan

 

الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ 

وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ 

Kata pembuka ini sering diucapkan Nurcholish Madjid. Sebuah pembuka yang saya kenal sejak kecil dari pengajian ibu saya. Artinya: Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, dan hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan atas urusan keduniaan dan agama. Do’a dan keselamatan semoga terlimpah pada Nabi dan Rasul termulia, keluarga dan sahabat-sahabat, semuanya.

Sebuah kehormatan untuk dapat mengenang kepergian Cak Nur pada kesempatan ini. Karena terpaut usia, saya hanya pernah mengenalnya dalam beberapa momen kecil dan akan merefleksikan momen itu untuk mengenang peninggalan-peninggalan yang kekal dari almarhum.

Suatu hari, Mei 2004, saya diajak Munir bertemu Cak Nur di bilangan Kebayoran Baru. Kami mencemaskan pernyataan Kepala BIN A.M. Hendropriyono dalam rapat Komisi I DPR, 25 Mei. Di rapat tertutup itu, BIN membeberkan 20 lembaga swadaya masyarakat yang mengganggu keamanan: Elsham Papua, KontraS, dan ICG yang juga dipimpin aktivis HAM.

Dua hari kemudian, usai sidang kabinet, Kepala BIN mengatakan, “Rapat koordinasi intelijen menilai bahwa Sidney Jones (aktivis International Crisis Group/ ICG) atau siapa pun juga orang Indonesia yang merugikan bangsanya sendiri, yang menjual untuk dapat uang, kita catat dulu. Bukan kita biarkan….” (Kompas, 28/5). 

Cak Nur membacakan pernyataan yang saya sempat ketik. Judulnya “Pernyataan Kepala BIN Hidupkan Kembali Mesin Represi.” Ia membukanya dengan rasa syukur: demokratisasi Indonesia berjalan baik dan pemilihan legislatif 5 April sebelumnya sukses. “Ini menunjukkan bahwa rakyat lebih matang dan cerdas ketimbang yang digambarkan pejabat itu,” katanya. “Penghormatan terhadap HAM, katanya lagi, merupakan kebanggaan bangsa Indonesia.’

Kompas memuat judul: Pernyataan Kepala BIN Dinilai Hidupkan Kembali Mesin Represi. Tegas. Tempo.co tak kalah tegas, judulnya: Cak Nur Kecam Pemerintah Karena Intimidasi LSM, ada pula yang berjudul: ‘Cak Nur Adukan Hendropriyono ke DPR Besok.’ Kepala BIN menyatakan, mereka yang membela Sidney Jones itu membahayakan NKRI.

Kisah itu merefleksikan kepekaan dan solidaritas Cak Nur saat pembela HAM disudutkan. Juga mencerminkan keberanian intelektualnya. Bersuara dan bertindak: melaporkan Kepala BIN, mendatangi DPR keesokan harinya dan mengatakan “Jangan kita melangkah mundur.” Saat ditanya pers ke komisi mana akan melapor, ia menjawab ringan, “Pokoknya ke komisi yang menangani masalah ini.”

Dalam iklim politik saat ini, keberanian intelektual seperti Cak Nur sangat dibutuhkan. Sebab banyak sekali pembela HAM, baik sektor kebebasan individual maupun keadilan sosial, yang terus disudutkan. Keberanian Cak Nur menjadi penyeimbang saat mereka berurusan dengan Badan-badan keamanan, baik TNI, Polri, dan Intelijen Negara, yang meski tidak lagi dipimpin militer, dipimpin polisi dengan latar belakang kontroversial dan sarat politik partisan.

Dari jejak Cak Nur, kita bisa menemukan salah satu jawabannya. Pejabat negara menuduh pembela HAM telah menjual bangsa, merugikan kepentingan bangsa. Pertanyannya ialah dari mana asal-muasal pola pikir yang menghadap-hadapkan rasa kebangsaan dengan HAM itu? Ada satu lagi tuduhan yang diarahkan kepada para pembela HAM, yakni HAM itu produk barat dan mempertentangkan wacana HAM dengan Islam. Bagaimana Cak Nur, jika kita tanya, memandang HAM? Apa saja pemikirannya?

HAM dan Kebangsaan: ideologi negara keluarga, akar illiberalisme di Indonesia

Saya mulai dari yang pertama. Dari mana asal-muasal pola pikir yang memperhadapkan rasa kebangsaan dan HAM? Tuduhan ‘menjual bangsa atau merugikan kepentingan bangsa’ bukan jatuh dari langit. Dalam sejarah dunia, selalu ada serangan pada universalitas HAM. Tak terkecuali pada sejarah di Indonesia: HAM dianggap produk barat, ideologi asing, dan paham individualisme Barat yang tidak ada dalam struktur masyarakat Indonesia. Meminjam David Bourchier (2015), anggapan itu berakar dari dua jenis paham solidarisme: integralisme konservatif Supomo (anti-Enlightenment romantic conservatism) dan populisme radikal Soekarno (kolektivisme revolusioner sayap kiri). Meski telah disanggah oleh pandangan sosial-demokrat seperti Mohammad Hatta, kenyataannya paham itu dihidupkan lagi oleh Orde Baru melalui indoktrinasi berskala nasional dan jejaknya belum hilang hingga sekarang.

Mari sejenak menengok dinamika sejarah ke belakang sebelum kembali pada relevansi jejak Cak Nur pada iklim politik yang berubah pada hari ini. Dalam perumusan konstitusi 1945, Supomo ialah profesor hukum adat yang menyampaikan visi negara integralistik. Ia membayangkan sebuah negara yang di dalamnya terdapat harmoni antara penguasa dan yang dikuasai. Dalam negara yang berbasis prinsip integralis, kata Supomo, tidak diperlukan adanya hak-hak politik, pemisahan kekuasaan, dan pembedaan masyarakat dan negara. Itu jawaban Supomo ketika diprotes oleh satu-satunya perempuan anggota perumus konstitusi, Maria Ulfah.

Serupa dengan Bourchier, David Reeve menilai, anggapan HAM adalah ideologi asing berasal dari pikiran kaum nasionalis yang antipati pada ‘individualisme dan liberalisme Barat‘. Kaum nasionalis saat itu, kata Reeve, hendak membangun masyarakat kolektivistik di mana negara berperan besar dalam ekonomi. Konsep integralisme berasal dari studi Supomo atas hukum adat di desa-desa Indonesia. 

Pemerintahan Orde Baru, pada bagiannya, mengklaim telah menyelamatkan Indonesia dari ideologi asing itu, melalui indoktrinasi skala nasional sejak 1978. Satu dasawarsa kemudian, Orde Baru mengembangkan teori yang koheren bahwa Indonesia menganut paham ‘negara integralistik‘ dengan dua premis: teori negara integralistik merefleksikan pola-pola organisasi sosial dan politik yang asli Indonesia dan ide-ide Supomo menjadi spirit UUD 1945. Suharto, saat Pidato Kenegaraan, Agustus 1979, mengatakan: “Dalam pemerintahan dan masyarakat Pancasila, kita tidak akan memberi tempat bagi paham individualisme, liberalisme maupun totaliterisme.”

Karenanya kita tidak heran jika pada dekade 1980-an, seperti dijelaskan Hadiz dan Robison, Orde Baru mengekang kebebasan sipil dengan cara membenturkan individualisme demokrasi liberal dan kolektivisme demokrasi Pancasila.

Sebagaimana dicatat Bourchier dalam karya Illiberal Democracy in Indonesia: the ideology of the family state, kedua teori itu sudah disanggah Marsillam Simandjuntak (1985) sebagai pemutarbalikkan sejarah. Pada risalah perdebatan majelis konstituante, menurut Marsillam, Supomo dikalahkan oleh paham kedaulatan rakyat yang akhirnya merumuskan konstitusi yang demokratik beserta jaminan hak-hak politik.

Dari Bouchier dan Marsillam kita melihat dimensi paradoks di balik konsep Supomo. Meski mengklaim sebagai asli Indonesia, konsep negara integralistik itu berakar pada pemikir Jerman: Friedrich Hegel dan Adam Muller, sebagaimana diakui Supomo sendiri. Asing. Barat.

Bouchier mencatat, perumusan konstitusi itu berjalan dalam kontrol kuasa Jepang. Supomo ialah pangreh praja JepangBPUPK buatan Jepang. Bagi David Reeve, selain berasal dari desa-desa yang memiliki keyakinan mistis (kawula dan gusti, mikrokosmos dan makrokosmos, tuhan dan manusia, atau antara penguasa dan rakyat), ide Supomo juga dipengaruhi prinsip filsafat Jepang yang aristrokratik. Timur. Tapi tetap asing. 

Harus dimaklumi, bahwasanya perumusan identitas nasional bukanlah proses yang statis dan insular. Sejarah intelektual Indonesia, termasuk di dalamnya polemik kebudayaan yang terjadi sebelum dan sesudah kemerdekaan, mengajarkan kita bagaimana gagasan-gagasan kebudayaan yang lahir di Barat dan di Timur dipersoalkan, diperdebatkan dan disintesakan menjadi apa yang kita sebut kebudayaan nasional. 

Kebebasan individu dan humanisme universal menjadi bagian integral dalam pencarian identitas itu, sebagaimana ditegaskan oleh Muhammed Arkoun ketika bicara humanisme dalam konteks global.  Meski berbeda dengan Arkoun yang menggugat historisitas kitab suci beserta keyakinan teks fundamental yang dibakukan oleh kepentingan sosial, politik, dan agama, Cak Nur dan Arkoun sama-sama mendorong perlunya pembaharuan, termasuk dalam mengkritik basis pemahaman eksklusif dan monolitik dari kalangan ortodoks konservatif. 

Dengan sintesa itu, masih relevankah kita untuk mempersoalkan apa yang Barat dan bukan Barat, apa yang Timur dan bukan Timur? Sampai di sini jelas anggapan HAM itu ideologi yang sepenuhnya asing adalah keliru, sesat pikir dan a-historis. HAM adalah bagian dari identitas serta semangat kebangsaan kita. Karena itulah, saat protes Kepala BIN, Cak Nur berkata, ‘penghormatan terhadap HAM’ adalah ‘kebanggaan bangsa Indonesia.’

Baca juga:  Politik Iqbal & Puisi Kematiannya

HAM dan Keislaman

Ada satu tuduhan lagi untuk Pembela HAM, yaitu anti-Islam, karena alasan individualisme. Di sini, saya akan membahas pertanyaan kedua: bagaimana Cak Nur memandang HAM dari sudut pandang Islam? Selain tentang kebebasan individual itu universal, apa saja pemikirannya perihal keadilan sosial?

Kalangan Muslim yang ekslusif membawa tantangan tersendiri. Dalam catatan Bourchier, sejak 2002-2005, gejala Islamis di partai-partai nasionalis. Politik akomodasi pemerintah saat itu pada ortodoksi agama berbuah fatwa ultra-konservatif, bahkan menyiram bensin pada intoleransi. Konservatisme Muslim beragam kelas sosial mulai menengok partai Islam puritan. Saat aktivis HAM mengingatkan sikap-sikap ekslusif dan sektarian itu bisa melanggar HAM, mereka bilang HAM adalah produk Barat: asing. Sekarang bertambah: aseng.

Bagaimana sebenarnya HAM dalam Islam? Dan jika kita tanyakan Cak Nur, bagaimana ia melihat HAM dalam Islam?

Islam mengajarkan HAM setidaknya dalam lima hal pokok (al-dharuriyat al-khamsah) tentang HAM (al-Huquq al-Insaniyah). HAM yang wajib dijaga oleh setiap kita, individu manusia, yaitu penghormatan hak untuk beragama (hifdzun ad-diin); penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan individu (hifdzun an-nafs wa al-ir’d); kebebasan berpikir (hifdzun al-aql); keharusan menjaga keturunan (hifdzun al-nasb) dan menjaga harta benda (hifdzun al-maal).

Dengan ajaran Islam, Cak Nur meyakini, kebebasan individual bersifat universal, bukan produk barat, serta tidak berlawanan dengan Islam. Tulisan-tulisan Cak Nur tentang HAM merujuk al-Quran dan sunnah Rasul, termasuk pesan-pesan Nabi Muhammad SAW tentang kesucian jiwa, harta, dan kehormatan (al-dimâ’ wa al- amwâl wa al-a‘râdl), di momen yang dikenang sebagai Pidato Perpisahan (Khuthbat-u ”l-Wadâ‘). Pidato inilah yang kerap Cak Nur ingatkan ketika bicara tentang HAM.

Pada tahun 1992, setahun sebelum menjadi anggota Komnas HAM, dalam “Islam Doktrin dan Peradaban” ia menulis, “Hak yang mengandung makna kebebasan itu ialah “milik paling berharga manusia” (Madjid 1992: 660). Ia menyebut adagium:“Tidak ada sesuatu yang lebih berharga daripada kebebasan, dan tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripada menunaikan kewajiban”. 

Hak perorangan berpangkal pada prinsip manusia akan diminta tanggungjawab oleh Tuhan-nya pada hari akhir, Hari Perhitungan (Yawm al-Hisāb). Konsepsi ini ditemukan pada ayat-ayat suci. Sebut saja surat An-Najm ayat 36-41:

Belum pernahkah ia (individu manusia) mendapat keterangan tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran suci Musa, dan (lembaran-lembaran suci) Ibrahim yang setia? Bahwa tidak seorang pun penanggung beban (dosa) akan menanggung beban (dosa) orang lain mana pun juga, dan bahwa manusia tidak mendapat sesuatu kecuali yang ia usahakan, dan bahwa usahanya itu akan diperlihatkan, kemudian akan dibalas dengan sepenuh-penuh balasan,” (Q 53:36-41).

Ada banyak lagi ayat suci yang, karena terbatasnya waktu, tak bisa disebutkan di sini. Dari banyak ayat suci, Cak Nur meyakini kebebasan perorangan dalam universalisme Islam dan kemodernan universalisme HAM. Manusia bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Tak dituntut kecuali atas perbuatan sendiri. Manusia “memilih sendiri secara bebas keyakinannya tentang apa yang benar dan baik.” Di sini, Cak Nur melakukan liberalisasi atas identitas manusia, melepaskannya dari atribut identitas. Jika pilihan bebas tidak ada, tentunya, tidak mungkin ada firman yang menegaskan tanggungjawab manusia atas perbuatan masing-masing.

Pandangan teologis Cak Nur tentang kebebasan tentu saja tidak lahir dari penafsirannya atas teks-teks ke-Islaman semata, tetapi juga sejarah panjang peradaban Islam dan persentuhannya dengan Hellenisme. Tampak jelas pengaruh cara berpikir kaum Mu’tazilah, yang menghidupkan kembali paham Qadariyah melalui rasionalisme Yunani, pada gagasan Cak Nur mengenai kehendak bebas atau kebebasan berkehendak (free will, freedom of conscience). 

Pandangan Cak Nur sejalan dengan Abdullahi Ahmed An-Na’im, Mashood A. Baderin dan Abied Al-Jabiri yang terus menyegarkan pemikiran Islam dan HAM dalam kehidupan modern. Bagi An-Na’im (2008) HAM itu sejalan dengan gagasan universal memuliakan martabat manusia. Baderin (2007) mencatat, peremajaan pemahaman Islam sejak abad ke-19 menuju penyelarasan HAM. Al-Jabiri (2001) menegaskan, Islam dan HAM bersandar pada kemanusiaan universal.

Dari sini kita dapat menyimpulkan, anggapan HAM itu produk Barat semata atau bertentangan dengan Islam hanyalah sebuah kemandekan intelektual. Dan intelektualisme Cak Nur tentang HAM tidak terbatas pada aspek kebebasan politik (political freedom) saja. Tapi juga keadilan sosial (social justice) dari HAM.

Tentang HAM, Islam, dan Keadilan Sosial

Dalam perspektif HAM, keadilan sosial ialah pencapaian hidup manusia secara bermartabat. Hidup bermartabat artinya tiap manusia, secara individu maupun komunitas dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah kita ratifikasi, termasuk hak-hak atas pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan, identitas kebudayaan dan banyak lagi. Di kalangan pemikir Islam, gagasan ini juga kerap diletakkan sebagai tujuan pencapaian dari penghormatan hak-hak asasi manusia yang tertuang dalam syariat Islam (maqashidus syariah), sebagaimana yang salah satunya dikemukakan Jasser Audah sebagai konsep maslahatan umat (mashalih mursalah).

Dalam pemikiran Cak Nur, keadilan sosial ialah cita-cita Islam dan agama-agama. Cak Nur menulis:

“Agama-agama pun meletakkan cita-cita mewujudkan keadilan sosial itu sebagai salah satu ajaran pokoknya. Islam dikenal sebagai agama yang amat banyak berbicara tentang pembelaan terhadap kaum miskin serta tentang persamaan mutlak antara sesama manusia. Dan etika Kristen telah memberikan ilham bagi banyak pikiran tentang kemanusiaan di Dunia Barat. Begitu pula agama Hindu, ia telah melahirkan putra-putra kemanusiaan yang besar, di antaranya ialah bapak India Merdeka Mahatma Gandhi.

Pandangan Cak Nur menegaskan persamaan hakikat kebajikan agama-agama — Islam, Kristen atau – Hindu: menegaskan ajaran keadilan sosial, pertolongan dan pembelaan bagi kaum miskin dan persamaan mutlak antara manusia, laki atau perempuan dalam hubungan yang setara berbasiskan keadilan gender, Muslim atau non-Muslim dalam kesetaraan warga, Cina atau Arab, apakah ia seorang babah Liong atau Habib, semua setara sebagai warga dunia. Persamaan derajat manusia ini dapat kita terjemahkan dari ajaran Tauhid. Tak ada yang bisa dipertuhankan selain Aku, kata Allah. Tidak anak, jabatan, atau status perkawinan. Kita sebagai Muslim, sebagai kaum beriman, sebagai manusia, baru bisa dikatakan bertauhid kepadanya jika kita melihat manusia dalam persamaan hak dan derajat.

Bagi Cak Nur, keadilan sosial memastikan setiap manusia, laki maupun perempuan, Muslim dan non-Muslim, memperoleh sepantasnya suatu pengakuan identitas dan kebebasan maupun distribusi rezeki, memenuhi kebutuhan pokok secara merata dan menerapkan egalitarianisme dalam kesempatan. Cak Nur juga mengatakan:

Apabila norma-norma itu telah dengan sendirinya kita terima dan setujui, maka tidak kurang pentingnya ialah bagaimana melaksanakannya dalam tindakan-tindakan konkret.“ (Nurcholish Madjid, dalam “Kesungguhan Dalam Cita-cita Keadilan Sosial”)

Jadi, dalam pandangan Cak Nur, tugas kita bukan hanya menerima norma, mengadopsi norma, dan mempromosikan norma, tetapi melaksanakannya dalam tindakan-tindakan nyata. Sebab berteologi juga adalah bertindak. Tapi dari mana kita memulainya?

Menurut dia, “Salah satu aspek keadilan sosial itu ialah pembagian kekayaan nasional.” Saya setuju. Semua agama meletakkan cita-cita keadilan sosial. Dan beragama itu bukan hanya berpikir, beriman, dan mengerti, tapi sekali lagi, bertindak untuk mewujudkan keadilan sosial. Kita harus mengkoreksi distribusi kekayaan material yang tidak merata, penyediaan kebutuhan pokok bagi kaum miskin dan yang membutuhkan, perlindungan yang lemah melawan eksploitasi ekonomi oleh yang kuat.

Distribusi kekayaan yang merata

Mari kita mulai dari distribusi material yang tak merata. 

Ketidakadilan sosial kita masih parah. Ekonomi sulit. Harga komoditas rendah. Minyak impor. Neraca dagang deficit. Hutan dibongkar, dibakar, dan dilempar ke pasar. Pembela keadilan sosial, pembela HAM kebebasan individual, diseret, dikriminalisasi, diintimidasi, dan terkadang dieksekusi. Modal asing dikejar dari RUU Omnibus dan deregulasi. Daya tawar buruh, terutama perempuan, kian lemah jika RUU Omnibus dipaksakan. KPK, buah reformasi yang diperjuangkan Cak Nur, dikebiri. UU Minerba, yang selama ini menimbulkan kepincangan sosial, kepincangan lingkungan dan HAM, kembali meluaskan akses oligarki atas kekayaan alam.

Situasi ini harus kita ubah. Sebab agama-agama mengutuk ketidakadilan sosial. “Tingkah laku ekonomi yang tidak menunjang, apalagi yang menghalangi terwujudnya keadilan sosial dikutuk dengan keras“. Kutukan ini dilukiskan dramatis pada surat al-Takātsur, al-Humazah, sampai al-Tawbah.

Misalnya, dalam Al-Tawbah (QS 9) ayat 34-35 Allah berfirman:

“Adapun mereka yang menimbun emas dan perak dan tidak menggunakan di jalan Allah, maka peringatkanlah mereka itu dengan adanya siksa yang pedih. Yaitu suatu ketika harta (emas dan perak) itu dipanaskan dalam api neraka, kemudian disetrikakan kepada kening, lambung, dan punggung mereka, (lalu dikatakan kepada mereka): ‘inilah yang kamu tumpuk untuk kepentingan diri kamu sendiri di dunia, maka sekarang rasakanlah akibat harta yang dulu kamu tumpuk itu’.”

Baca juga:  Kang Jalal dan Konsep Ulil-Albab: Semacam Catatan Retrospektif

Firman ini menentang keserakahan ekonomi. Cak Nur memimpikan sebuah “pergeseran sosial“ dan menolak cara berpikir yang fatalistik terkait distribusi rezeki. Ia mengingatkan bahwasanya Ferdinand Lassale gagal menggerakkan kaum melarat memberontak dari kemiskinan akibat sikap-sikap yang “nrimo“. Ini sikap yang tidak asing dalam masyarakat Islam. Surat Yâsīn ayat 47 mencatat mereka yang saat diserukan keadilan sosial, justru berkata: “Apakah kami harus memberi makan pada orang yang jika Tuhan menghendaki maka Dia akan memberinya makan!

Bagi Cak Nur, salah jika kita menganggap kemiskinan dan kekayaan adalah takdir Tuhan, sebab itu sama artinya dengan menyalahkan Tuhan sebagai pencipta kepincangan sosial. Keberatan atas kemiskinan, menurut Cak Nur, bukanlah karena ia menjauhkan manusia dari kebahagiaan karena orang yang miskin bisa saja tak lebih sengsara dari orang yang kaya, dan orang kaya bisa tak merasa bahagia meski penuh kehormatan. Tetapi karena kemiskinan memerosotkan harkat dan martabat kemanusiaan dari yang kaya sampai yang miskin.

Cak Nur meyakini, pertama, jika kemelaratan melahirkan penyakit menular maka yang kaya juga akan dapat ketularan. Kedua, jika kemiskinan itu mendorong situasi kejahatan, maka yang kaya akan takut dan melindungi miliknya dengan mahal. Ketiga, jika kemiskinan melahirkan perangai buruk dan tutur bahasa yang kasar, maka anak-anak si kaya juga akan menirunya, betapa pun mereka dicegah, dan pencegahan itu sendiri bisa lebih tidak baik bagi pertumbuhan anak. Keempat, jika seorang gadis cantik miskin bisa sampai pada situasi menjual diri demi segera mendapatkan uang, maka kemiskinan itu juga akan ‘meracuni darah anak-anak muda‘ yang kaya. Itulah yang kerap terjadi di timur negeri kita, Nusa Tenggara Timur dan Barat adalah di antaranya.

Yang hendak dikatakannya ialah ketimpangan kekayaan harus dikoreksi. Ada banyak lagi pemikiran Cak Nur tentang keadilan sosial: ilustrasi pembagian roti secara merata, pembebasan beras, perbaikan taraf hidup rakyat di desa, kepentingan partai yang bertentangan dengan kaum buruh, sampai soal keadilan sosial sebagai ‘aspek prinsipil dari pembangunan nasional.‘

Perlindungan yang lemah melawan eksploitasi ekonomi

Demi keadilan sosial, Islam juga mewajibkan kita untuk membela kaum lemah melawan mereka yang melakukan eksploitasi ekonomi. Perlu dicatat, salah satu bentuk eksploitasi ekonomi yang dominan, kini terjadi di sektor lingkungan dan sumber daya alam seperti batu bara sampai sawit. Korbannya adalah masyarakat akar rumput, perempuan dan anak. Beberapa hari lalu, Ketua Masyarakat Adat Laman Kinipan Effendi Buhing dijemput paksa oleh aparat bersenjata laras panjang, diperlakukan seperti pelaku kejahatan terorisme. Tokoh adat ini sebelumnya memprotes pembabatan hutan adat di balik perluasan perkebunan sawit PT Sawit Mandiri Lestari di Kalimantan Tengah, sebuah propinsi yang telah lama dieksploitasi secara berlebihan. Dia dituduh mencuri, menipu miliaran rupiah, padahal sudah dibantah oleh pegiat masyarakat adat Kasmita Widodo. Di sini keberpihakan negara kepada para pemodal besar–dan bukan kepada rakyat kecil–hanya melanggengkan kepincangan distribusi aset kekayaan bangsa, yang ditentang oleh Cak Nur karena dikutuk oleh agama-.

Kasus Effendi Buhing bukan satu-satunya kasus serangan terhadap pembela HAM dan keadilan sosial. Yayasan Perlindungan Insani Indonesia, mendokumentasikan setidaknya mencatat lebih dari 300 pembela HAM diserang, termasuk pembela HAM perempuan, lingkungan dan hak tanah di Sumatera Utara. Itu tahun lalu. Di tahun 2020, Kemitraan merekam 86 serangan kepada pembela HAM lingkungan dan berdampak pada 283 orang, termasuk tujuh orang terbunuh. Banyak yang dituduh tidak nasionalis, anti Islam, dan merusak iklim investasi, menafikan fakta bahwa perjuangan mereka adalah jiwa dan semangat para pendiri bangsa dan pelaksanaan kata-kata dari pengakuan beriman, dan bahwa investasi harus merawat bumi, bukan merusaknya, memicu protes kolektif arus bawah, dan melahirkan kekerasan terhadap hak-hak individual dan keadilan sosial yang tak berkesudahan.

Bagi Cak Nur, kekayaan dan kemiskinan itu produk dari ketidakadilan struktural. Dalam hal ini ia mengkritik ilusi jerih payah si kaya yang diberikan hak istimewa (privilege) oleh negara, dan fatalisme si miskin yang tercerabut dari akses ekonomi. Si kaya berkata: “Semua harta benda ini adalah hasil keringatku sendiri… salah orang miskin sendirilah apabila ia tidak cakap mengumpulkan kekayaan!” Si miskin berkata: “Sudah terlanjur aku menjadi melarat, dan tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi!” 

Di sini, seolah-olah sistem tidak berperan sama sekali. Cak Nur menolak. Ia mengajak kita untuk mendorong pergeseran sosial dengan memikirkan pilihan-pilihan sistem distribusi dan juga bergerak mewujudkan perubahan sistem distribusi rezeki.

Sebab Islam mengajarkan keadilan sosial melalui pengakuan atas persamaan hak dan kewajiban, dan persamaan kesempatan untuk merasakan keadilan sosial, mengingat kemampuan manusia yang beragam, baik fisik maupun psikis, dan karenanya melahirkan keragaman hasil (Q 16:71). Dan bukankah keprihatinan Nabi pada masyarakat Makkah, bukan hanya karena penyembahan berhala, tapi karena kezaliman sistem ekonominya? 

Di sini pesan-pesan agama Cak Nur masih relevan dengan kehidupan aktual. 

Kesimpulan

Dengan seluruh uraian tentang pengakuan HAM dalam sejarah kebangsaan kita, dalam pancaran ajaran agama-agama kita, baik tentang kebebasan individual maupun keadilan sosial, maka saya menyimpulkan bahwa universalitas HAM itu tidak perlu diragukan lagi. HAM adalah bagian dari jiwa dan identitas kebangsaan kita. Mempertentangkan HAM dengan semangat kebangsaan atau semangat keislaman merupakan kekeliruan fatal dan a-historis. Sekali lagi, seperti dikatakan Cak Nur, ‘HAM’ merupakan ‘kebanggaan bangsa Indonesia’ dan kewajiban melaksanakan agama kita, dan itu semua telah menjadi bagian dari kaidah negara hukum kita.

Untuk meneruskan Cak Nur, bukan hanya kita wajib memperjuangkan kebebasan individual, tetapi memperjuangkan keadilan sosial. Di sini saya tidak hendak mempersoalkan apakah Cak Nur seorang kapitalis relijius yang menjunjung tinggi kebebasan individual atau sosialis relijius yang percaya bahwa keadilan sosial harus diperjuangkan secara kolektif. Dalam perspektif HAM, keduanya tak terpisahkan, bukan pilihan yang ini atau yang itu.

Yang menjadi soal saat ini, kebebasan individual kerap dipolemikkan dalam pertentangan-pertentangan identitas populistik atau dalam apa yang disebut Marcus Mietzner (2020) sebagai chivalry populism, sementara ketidakadilan sosial kerap dieksploitasi untuk memprovokasi golongan bawah masyarakat Muslim demi politik kuasa dan uang (Hadiz 2017, Wilson 2017). Sangat disayangkan, pemikiran Cak Nur tentang keadilan sosial masih kurang dibicarakan mendalam oleh para peminat studi Cak Nur termasuk para pengikutnya yang cenderung lebih menitikberatkan pemikiran almarhum pada inklusifisme dan pluralisme beragama.  

Padahal, pluralisme dan inklusifisme itu bukan saja mengandaikan pengakuan atas eksistensi martabat manusia beragam suku, ras, dan agama, tetapi juga gender antara keadilan untuk laki-laki dan keadilan untuk perempuan, strata sosial antara yang miskin dan kaya, dan geografi sosial antara Jawa dan luar Jawa, antara Utara Dunia dan Selatan Dunia. Konsep keadilan sosial Cak Nur menjadi relevan untuk direfleksikan dan diterapkan saat ini–dalam tindakan kita, dalam amal sosial dan gerakan kita,–saat oligarki dan kaum konservatif Islam mengeksploitasi ketimpangan sosial dan ekonomi untuk mengembangkan populisme Islam eksklusif dan sektarian.

Memang, ketidakadilan sosial lebih lahir akibat predatory politics oligarki, bukan politik identitas. Tetapi oligarki memakai politik identitas sebagai alat politik predatori mereka, seperti dijelaskan Hadiz (2018) saat Pilkada DKI Jakarta lalu bahwa pertarungan identitas adalah proxy dari pertarungan oligarki. Oleh karenanya, penting bagi kaum progresif Islam Indonesia untuk mengatasi soal ketidakadilan ekonomi di masyarakat, dalam sebuah “praxis” yang melampaui retorika pluralisme yang kian tergerus maknanya oleh sebab kooptasi politik.   

Kebebasan individu yang diperjuangkan Cak Nur bukanlah kebebasan individu yang bersifat predatori—baik secara politik dan ekonomi. Persoalan Islam dan HAM, bagi Cak Nur, adalah juga persoalan pembagian rezeki yang tidak merata, yang mengisyaratkan keberpihakan bukan pada aspek teologis dan iman semata, tapi pada aspek amal dan pergerakan kita untuk membela yang terpinggirkan (dhuafa) dan tertindas (mustadz’afin).  

Dengan itu semua maka kita juga tak perlu mempertentangkan keduanya: kebebasan individual atau keadilan sosial. Sama halnya kita juga tak perlu meributkan apakah musik itu haram dalam pandangan Islam, karena itu hanya pertentangan populistik yang belum tentu skriptural dan memiliki dimensi etik. Sebagaimana diingatkan Rumi dalam Matsnawi (2008), musik yang haram adalah “bunyi gemerincing sendok dan garpu beradu dengan piring yang terdengar hingga ke telinga si miskin. Itulah pesan tentang ketidakterpisahan antara HAM yang kebebasan individual dan HAM yang keadilan sosial.

Baca juga:  Aisyah dan Sikap Kritis dalam Beragama

Penutup

Sebagai penutup, izinkan saya, sebagai pembelajar yang tak luput dari salah dan khilaf, untuk memberi kritik kepada Cak Nur, yang bagaimana pun juga adalah manusia biasa. Kritik ini saya akan mulai dari sebuah pertanyaan sederhana, bagaimana ia melaksanakan tindakan-tindakan konkret? Cak Nur, menurut saya, masih perlu lebih mengajarkan kita lagi totalitas pemikiran-pemikirannya di dalam tindakan-tindakannya, bahkan saat tindakan-tindakannya gagal memenuhi apa yang saya harapkan, saat bergumul dengan Islam, keadilan, keadilan ekonomi, dan politik.

Cak Nur memediasi Islah antara Jenderal Try Sutrisno dan sejumlah petinggi militer lainnya dengan korban peristiwa pelanggaran HAM berat Tanjung Priok 12 September 1984. Tragedi ini terjadi karena Pancasila dijadikan “pentung suci“, meminjam istilah Cak Nur. Islah ini menurunkan semangat saya dan kawan-kawan KontraS yang sedang melatih korban bersaksi di pengadilan HAM, di tengah kesulitan ekonomi dan ketiadaan perlindungan mereka sebagai saksi dan sebagai korban. Kita tentu bisa berdebat, apakah Islah sesuai standar HAM. Yang pasti, itu membuat saya jadi bertanya-tanya” seberapa jauh Cak Nur membela HAM?

Bukankah ia pernah mengingatkan adanya firman Tuhan: “Barangsiapa membunuh seseorang tanpa kesalahan pembunuhan atau perusakan di bumi, maka bagaikan membunuh seluruh umat manusia, dan barangsiapa menolong hidup seseorang maka bagaikan menolong hidup seluruh umat manusia.”

Dan secara hukum, institusi tempatnya pernah bekerja, Komnas HAM, menyebut peristiwa ini crimes against humanity. Sebuah kejahatan yang sangat serious (the most serious crimes) yang disebut hostis humanis generis, musuh umat manusiaDengan itu, pelaku kejahatan ini tak bisa dibebaskan dari tanggungjawab kriminal atas dalih apa pun; pernah diadili sebelumnya (double jeopardy)perintah atasan (superior order), kadaluarsa (statute of limitation)atau pengampunan (amnesty).

Pelaku kejahatan ini mutlak harus diadili. Suatu kejahatan terhadap sebuah hak atas hidup yang, meminjam Cak Nur, mutlak dilindungi dan tidak boleh dilanggar. Ia pasti mengerti. Tapi ia memang memilih jalan tengah, bahwa di dalam Islam, memaafkan itu lebih tinggi derajatnya. 

Saya tak menyangkal ada negara memilih penyelesaian di luar pengadilan, mendasarkan diri pada konsep restorative justice. Tetapi ini bukan pilihan. Baik pendekatan keadilan restoratif maupun retributif sama-sama wajib diterapkan. Dan sama-sama mewajibkan pengungkapan kebenaran. Apakah islah itu membawa kita pada kebenaran? Pada ketakwaan sebagaimana yang difirmankan-Nya? Pada kewajiban untuk berlaku adil, menjadi saksi atas kebenaran? Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda bahwa apabila anakku yang terbukti mencuri, aku yang akan memotong sendiri tangannya?

Bukankah, tak lama setelah islah itu, tepatnya pada 12 April 2001 Cak Nur pernah diusulkan oleh Ketua DPR Akbar Tanjung dan Menteri Hukum dan HAM Profesor Muladi untuk menjadi Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Mengapa ia keberatan dengan alasan tak pernah menderita seperti Nelson Mandela di Afrika Selatan? Bukankah dengan komisi itu ia bisa mendekatkan keadilan, tak hanya kepada korban pelanggaran kebebasan individual, tapi juga keadilan sosial? Ataukah ia tidak sabar menunggu keputusan hakim dan terbentuknya KKR? Ataukah ia tengah berdamai dengan kalangan Islam seperti AM Fatwa yang berseberangan dengannya pada 1980an?

Saya teringat kata-kata Khaled Abou el-Fadl (2005: 187): mengejar keadilan mewajibkan umat Islam untuk menemukan sistem di mana orang harus memiliki akses pada kekuasaan dan institusi dalam masyarakat yang dapat memperbaiki ketidakadilan dan melindungi orang dari penindasan. Dalam pemikiran moderat, baik akses ke badan kekuasaan maupun akuntabilitas diperlukan dalam sistem apa pun yang mampu mencapai keadilan. Saat itu, bagi saya, Islah berada di luar sistem, tak melindungi semua korban tertindas, dan meniadakan keadilan.

Sikap Cak Nur, yang juga mantan anggota Komnas HAM, terkait islah Priok mengingatkan saya saat ia “menolerir” pelarangan tabloid Monitor yang menetapkan popularitas Nabi Muhammad di urutan ke-11 (Aspinall 2005: 70). Dengan sikap itu, meminjam Aspinall, Cak Nur mencoba tetap dapat memiliki kebebasan dalam bertindak (Aspinall 2005: 58). Mungkin benar. Sikap itu merefleksikan kecenderungannya mencari jalan tengah. Menenangkan kemarahan massa Islam pada Arswendo Atmowiloto dan bukan membela penguasa melanggar kebebasan pers dan berpendapat. Kita semua tahu, peran penting Cak Nur dalam mengeksplisitkan aspirasi mahasiswa yang menginginkan suksesi Suharto beserta liberalisasi politik Indonesia (Mietzner 2009: 129). Sikap individualnya pun selaras dengan sikap institusional Komnas HAM yang ketika itu menyurati Presiden Suharto dan memintanya mengundurkan diri.

Saat ini, saya percaya, tindakannya itu bukan tanpa alasan. Situasi hukum kita sudah terlalu lemah untuk menyalahkan Cak Nur semata sebagai sebab gagalnya keadilan atas kasus Priok. Situasi gerakan saat itu hingga saat ini, belum cukup kuat untuk memenangkan pepatah Arab yang dibilang Cak Nur: “al-haqq-u yuthlab-u, lā yu’thā” (hak itu dituntut, tidak dihadiahkan). 

Inilah tantangan iklim politik saat ini. Demokrasi dunia mengalami apa yang disebut Larry Diamond sebagai resesi. Demokrasi Indonesia, mengutip Warburton dan Aspinall (2019): “saat ini paling tepat digambarkan sebagai sebuah negara dengan demokrasi illiberal: di mana penduduknya masih mampu secara efektif memilih pemimpin-pemimpin mereka namun di saat yang bersamaan terdapat pembatasan yang signifikan terhadap kebebasan sipil dan penegakan hukum.“ Jadi kita harus menuntut, tidak berharap hadiah. Agar tidak terjadi apa yang Cak Nur sebut “gridlock“: “…situasi di mana terjadi kemacetan lalu lintas di perempatan, lampu pengatur lalu lintas padam, sopir kendaraan saling serobot karena tidak taat dan saling mengancam.”  

Dengan amal, dengan tindakan pergerakan, kita harus mewujudkan apa yang Cak Nur sebut politics atau apa yang disebutnya ‘dialog-dialog besar’ perihal Islam dan HAM yang universal, baik untuk kebebasan politik maupun keadilan sosial. Bukan seperti hari ini, suatu permainan politik yang mementingkan segelintir kaum elite, meminggirkan kaum dhuafa mustad’afin, atau apa yang disebut Cak Nur pada tahun 2004 sebagai politicking dan dialog-dialog kecil transaksional yang melanggar kebebasan-kebebasan individual dan keadilan sosial. Sekali lagi, keduanya tidak bisa dipisahkan.

Seperti kata Arkoun, yang humanismenya dari kalam dan teologi, kita harus menyerukan pentingnya aktivitas intelektual, sosiologis, hukum, dan filosofis, memulihkan akal budi agama menuju humanisme universal. Dan seperti kata Cak Nur, HAM ialah kebanggaan bangsa dan merupakan ajaran agama-agama. Yaitu untuk persamaan mutlak antara sesama individu manusia, laki-laki dan perempuan dalam kesetaraan gender, Muslim dan non-Muslim dalam kesetaraan kewargaan, Arab atau Cina dalam kesetaraan sebagai warga dunia, bukan hanya menuju kehidupan yang adil dan beradab, tetapi juga menuju pencapaian keadilan sosial bagi seluruh manusia dan rakyat Indonesia. 

Demikianlah, semoga kita dapat menyegarkan kembali pemahaman HAM Cak Nur tentang kebebasan individual dan tentang keadilan sosial dalam iklim politik yang tengah berubah. 

Wallahu a’lam bish shawwabi.

 

Daftar Pustaka:

  1. Abid al-Jabiri, Muhammad. Syura Tradisi Partikularitas Universalitas. Terj. Mujiburrahman (Yogyakarta: LKiS, 2003)
  2. Ahmed An-Na’im, Abdullah. Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Syariah (Massachusetts: Harvard University Press, 2008) 
  3. Ahmed An-Na’im, Abdullahi. Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, alih bahasa Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany (Yogyakarta: LKis, 2001) 
  4. Auda, J. (2008). Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London; Washington: International Institute of Islamic Thought. Retrieved August 29, 2020, from http://www.jstor.org/stable/j.ctvkc67tg
  5. Barton, Greg, The Emergence of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia (A Textual Examining the Writing of Nurcholish Madjid, Djohan Effendy, Ahmad Wahib and Abdurrahman Wahid 1968-1980), (Departement of Asian Studies and Language, Monash University, 1995) 
  6. Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia * Edited By Greg Fealy and Sally White October 2010, Journal of Islamic Studies 21(3):479-482 DOI: 10.1093/jis/etq058
  7. Jasser Auda. 2011. A Maqāṣidī approach to contemporary application of the Sharī‘ah 
  8. Khaled M. Abou El Fadl (Author). The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists Paperback – January 23, 2007, 
  9. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Intrepretasi untuk Aksi (Jakarta, Mizan: 1991) 
  10. Mietzner, M. (2008). Biblioraphy. Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation (pp. 384-410). ISEAS-Yusof Ishak Institute
  11. Mietzner, M. (2020) Rival populisms and the democratic crisis in Indonesia: chauvinists, Islamists and technocrats, Australian Journal of International Affairs, 74:4, 420-438, DOI: 10.1080/10357718.2020.1725426
  12. Sirry, Mun’im (ed.). Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Yayasan Waqaf Universitas Paramadina, Jakarta: 2003) 
  13. Vedi R. Hadiz (2017) Indonesia’s Year of Democratic Setbacks: Towards a New Phase of Deepening Illiberalism?, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 53:3, 261-278, DOI: 10.1080/00074918.2017.1410311

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top