Dalam konsep ilmu akidah, kita mengetahui bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna. Sifat-sifat tersebut bersifat qidam dan baqa’. Alias tidak memiliki permulaan dan akhiran.
Di antaranya adalah sifat al-‘ilm. Sifat al-‘ilm sendiri mempunyai makna bahwasanya Allah mengetahui segala hal. Tidak ada sesuatu yang luput dari pengetahuan Allah. Dengan kata lain, segala kejadian yang bersifat baik atau buruk, besar atau kecil, normal atau abnormal pasti diketahui oleh Allah ta’ala.
Sebagai contoh, saya mempunyai sahabat bernama Watra Sarajeva. Lahir pada tahun 2005 di bulan September pukul 24:00 WIB. Sebelum ia dilahirkan, Allah sudah mengetahui secara detail perihal Watra. Mencakup tinggi badan, warna kulit, profesi, rezeki yang ia peroleh tatkala hidup, menikah dengan siapa dan lain sebagainya.
Lantas yang menjadi pertanyaan, apakah ilmu Allah menyebabkan keterpaksaan pada diri Watra? Lantaran segala hal yang berkaitan dengan dirinya sudah diketahui oleh Allah. Tentu, jawabannya adalah tidak. Kerena pengetahuan Allah sebelum adanya Watra sama persis dengan pengetahuan-Nya sesudah adanya Watra.
Coba kita bayangkan misalnya, Allah tidak mengetahui bahwa Watra akan berpuasa di hari Senin. Sehingga, tatkala hari Senin tiba, Allah baru mengetahui bahwa Watra berpuasa. Dengan demikian, apakah pengetahuan baru yang dimiliki Allah di hari senin menjadikan keterpaksaan pada diri Watra untuk menjalankan ibadah puasa? Tentu, jawabannya tidak. Begitu juga demikian, pengetahuan Allah sebelum Watra menjalankan ibadah puasa tidak menyebabkan Watra terpaksa dalam melakukan ibadah puasa. Sekali lagi, lantaran Ilmu Allah sebelum dan sesudah adanya Watra bersifat sama.
Untuk mempermudah pembaca, saya akan memberikan contoh lain. Saya mempunyai sahabat bernama Fauzan Asfiani. Sebut saja dengan nama Ojan. Si Ojan dikenal sebagai sosok yang sangat fenomenal oleh teman-temannya. Lantaran, ia memiliki kemampuan supranatural yang sangat luar biasa. Ia mampu mengetahui kejadian di esok hari. Sehingga, Ojan mampu mengetahui bahwa temannya akan mentraktir dia di esok hari.
Coba perhatikan kalimat “Ojan mampu mengetahui bahwa temannya akan mentraktir dia di esok hari”. Apakah pengetahuan Ojan akan traktiran esok hari menyebabkan keterpaksaan pada temannya? Dengan tegas kita mengatakan tidak. Begitupula tatkala si Ojan tidak tahu menahu perihal traktiran temannya. Tatkala temannya tiba-tiba datang dan mengajak dia untuk makan, pastinya traktiran tersebut bukan keterpaksaan yang berasal dari pengetahuan baru si Ojan.
Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa Ilmu Allah tidak mempunyai andil sama sekali dalam penetapan perbuatan makhluk-Nya. Meskipun pengetahuan Allah mencakup segala hal tanpa terkecuali. Lantaran tugas dari ilmu Allah ialah menyingkap segala hal yang berkaitan dengan ciptaan-ciptaan-Nya. Adapun yang menentukan dan mewujudkan suatu perbuatan tertentu ialah sifat al-Iradah dan al-Qudrah. Wallahu a’lam.
Referensi: Hasyiah al-Hamidi ala Syarh al-Kubra li al-Sanusi.
Taudhihul al-Aqaid li al-Imam Abdurrahman al-Jaziri.