Tak dapat dipungkiri lagi, tatkala seseorang terlahir di dunia, ia akan mengikuti apa yang ada di sekelilingnya. Terlebih dalam urusan beragama. Seseorang yang terlahir dari pasangan Kristiani misalnya, ia akan mengikuti apa yang telah diajarkan oleh kedua orang tuanya.
Begitupun juga ketika seseorang terlahir dari pasangan yang beragama Islam. Hal itu lantas menjadi suatu hal yang lumrah bahwa orang tua menjadi salah satu sebab sang anak berada di suatu agama sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
عن أبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ،
Artinya: “Tidaklah setiap anak yang terlahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi”.
Maka dari itu, muncul suatu pembahasan mengenai makrifat dan taklid dalam urusan akidah. Hal ini dapat ditemukan di kitab-kitab tauhid masyhur yang dikaji di khalayak pesantren dan universitas serta institusi lainnya. Kitab-kitab tersebut seperti al-Kharidah al-Bahiyyah, Jauharah al-Tauhid, Kifayah al-Awam, Ummu al-Barahin beserta syarah dan hasyiahnya.
Salah satu ulama tersohor Mesir, Imam Al-Dardir mengatakan dalam untaian nazamnya yang berbunyi:
وواجب شرعا على المكلف * معرفة الله العلي فاعرف
“wajib hukumnya secara syara’ bagi mukalaf mengetahui Allah yang maha tinggi, maka ketahuilah”.
Beliau berpendapat bahwasanya mengetahui Allah hukumnya wajib bagi setiap mukalaf. Akan tetapi, beliau memberi taqyid wajib dengan syara’. Hal ini agar dipahami bahwasanya setiap koridor hukum ditetapkan oleh syariat. Tidak hanya itu, kata syara’ juga sebagai bantahan terhadap Mu’tazilah yang mengatakan makrifat kepada Allah hukumnya wajib secara akal (wajibun bi al-aql). Mereka mengatakan demikian lantaran kebaikan dan keburukan keduanya bersumber dari akal. Sehingga syara’ hanya sebatas penguat bagi apa yang sudah ditentukan oleh akal manusia.
Oleh karena adanya kewajiban makrifat bagi seorang mukalaf dalam urusan Aqidah, maka taklid saja dianggap belum cukup. Sebab, makrifat merupakan suatu keyakinan yang dibangun atas dasar dalil-dalil (ilmu), sedangkan taklid hanya mengikuti saja (tidak didasari dengan dalil).
Para Ulama mengartikan makrifat dengan cara mengetahui akidah yang berjumlah lima puluh (al-‘Aqoid al-Khamsin), yakni sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan rasul-Nya. Meskipun pada akhirnya mereka berbeda pendapat apakah kewajiban makrifat itu secara terperinci atau hanya sebatas global. Tetapi mayoritas ulama menganggap cukup dengan cara mengetahuinya secara global.
Maka dari itu kita akan mengetahui bahwasanya taklid ialah kebalikan daripada makrifat. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Syekh Muhammad al-Fudhali dalam kitabnya Kifayat al-Awam (4):
وَأَمَّا التَّقْلِيْدُ وَهُوَ أَنْ يَعْرِفَ العَقَائِدَ الخَمْسِيْنَ ولَمْ يَعْرِفْ لَهَا دَلِيْلًا إِجْمَالِيًا اَوْ تَفْصِيْلِيًا
“Taqlid adalah mengetahui akidah lima puluh, tanpa berdasarkan dalil, baik secara global maupun terperinci”.
Dari penjelasan makrifat dan taklid yang telah dikemukakan di atas, lantas yang menjadi pertanyaan kita selama ini adalah bagaimana status seseorang yang memeluk agama Islam hanya berdasarkan taklid tanpa adanya pengetahuan (makrifat) terhadap Tuhan?
Dalam kitab Hasyiah al-Shawi Ala Syarh al-Kharidah al-Bahiyyah (24) terdapat enam pendapat mengenai seseorang yang bertaklid (mukalid):
Pendapat pertama mengatakan bahwa iman seseorang mukalid dianggap sah. Akan tetapi dia berdosa karena tidak mendayagunakan pikirannya (nadzar). Karena berpikir ialah salah satu cara untuk menggapai makrifat.
Pendapat kedua mengatakan makrifat kepada Allah hanya sebatas syarat kesempurnaan. Banyak para ulama memilih pendapat ini seperti Imam al-Qusyairi, Imam Ghazali, Syekh al-Wali bin Abi hamzah dan al-Qadhi Abu al-Walid bin Rusydi.
Pendapat ketiga yaitu Abu Hasyim al-Juba’i dari golongan Muktazilah dan Ibnu Arabi mengatakan bahwa seseorang yang bertaklid hukumnya kafir. Mereka beranggapan demikian dikarenakan makrifat hukumnya wajib. Sehingga, tidak sah bagi seseorang—dalam urusan akidah—yang hanya sebatas meniru atau mengekor kepada orang lain tanpa dibarengi dengan makrifat.
Pendapat keempat mengatakan bahwa mukalid dianggap cukup. Hal itu dengan syarat ia mengikuti al-Quran dan Sunah.
Pendapat kelima mengatakan bahwa berpikir (nadzar) yang menghasilkan makrifat terhadap sifat-sifat Allah dan rasul-Nya hukumnya haram. Karena ditakutkan terjadi kesalahpahaman dalam berpikir. Sehingga, tidak menutup kemungkinan tercampurnya syubhat dan penyelewengan yang justru berseberangan dengan ajaran al-Quran dan Sunah.
Keenam, pendapat yang terakhir mengatakan, jika mukalid memiliki kecakapan dalam berpikir (nadzar). Kemudian dengan hal itu terealisasi makrifat dalam dirinya, maka dia berdosa ketika meninggalkan (nadzar) tersebut. Sebaliknya, jika ia tidak memiliki keahlian dalam berpikir, maka tidak dianggap berdosa ketika meninggalkannya.
Terlepas dari hal itu, meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa iman seorang mukalid dianggap sah. Atau makrifat kepada Allah hanya sebatas syarat kesempurnaan. Apakah kita layaknya manusia yang diberikan anugerah akal oleh Allah SWT. Akan tetapi, dalam hal urusan ketuhanan kita hanya ikut-ikutan tanpa menggunakan akal kita untuk mengetahui sifat-sifat Allah. Sehingga, hal itu menjadikan kita layak diserupakan seperti binatang ternak yang hanya mengekor kepada Pengembalanya.
Terakhir, Imam Muhammad bin Umar al- Sanusi dalam karyanya Ummu al-Barahin mengatakan:
وَالتَقْلِيْدُ الرَّدِىء هُو أَصْلُ كُفْرِ عَبَدَةِ الْأَوْثَان وَغَيْرِهِمْ حَتَّى قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِم مُّقْتَدُونَ ولهذا قال المحَقِّقُوْنَ لَا يَكْفِي التَقْلِيْدُ فِى عَقَائِد الإِيمَانِ قَالَ بَعْضُ المشَايِخِ لَا فَرْقَ بَيْنَ مُقَلِّدٍ ينْقَادُ وَبَهِيْمَةٍ تُقَادُ
“(Di antara asal kekafiran ialah) mengikuti yang jelek. Ini merupakan asal kekafiran para penyembah berhala dan selain mereka. Hingga mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka’. Oleh karenanya, muhaqqiqûn mengatakan bahwa taklid dalam urusan akidah tidak dikatakan cukup. Sebagian ulama mengatakan, ‘tidak ada beda antara orang taklid yang tunduk dan hewan ternak yang dituntun’.”(203)