
Ada yang berbeda dengan Haul Syekh Ahmad Mutamakkin dalam dua tahun belakangan. Bukan soal rangkaian kirab karnaval, pengajian, maupun khataman Al-Qur’an. Tetapi, jika berkesempatan mengikuti rangkaian acara Haul di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso Pati pada minggu lalu, Anda akan menjumpai para panitia dan sebagian pengunjung yang mengenakan sarung dengan motif batik yang unik.
Motif Slobog namanya. Disebut unik karena dalam alam budaya modern, motif Slobog lazimnya digunakan sebagai alas maupun penutup jenazah yang hendak dikubur. Contohnya pada 29 Januari 1950, ketika Jenderal Besar TNI (Anm.) Raden Soedirman wafat. Sebelum disemayamkan pada esok hari di Yogyakarta, rumah Jenderal Soedirman di Magelang dipadati oleh para pelayat. Dalam sebuah dokumen foto milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di laman Wikipedia, nampak jenazah Jenderal Besar itu beralas batik motif Slobog.
Keterkaitan motif Slobog dengan upacara kematian orang Jawa dapat dijelaskan dari makna kata Slobog, atau Sêlobok yang berarti longgar. J.F.C Gericke (1798-1857) dan T. Roorda (1801-1874), dua pakar bahasa dan sastra Jawa menjelaskan kata Slobok dalam salah satu karya penting mereka Javaansch-Nederlandsch Handwoordenboek (1901). Kamus yang disusun dari naskah-naskah kuno selama mereka tinggal di Jawa itu menjelaskan Slobok atau Nylobokake sebagai ‘iets in een ruime opening of groot gat steken, doorheen steken’ atau ‘memasukkan sesuatu ke dalam lubang yang lebar atau lubang yang besar’.
Sesuatu yang memasuki sesuatu yang longgar atau lebar, dalam konteks motif Slobog terkait dengan simbol harapan atas pembebasan manusia. Supaya manusia yang meninggal diberikan kelonggaran, kemudahan, dan pembebasan atau ampunan dari dosa-dosa selama hidup. Motif ini juga merupakan simbol agar keluarga yang ditinggalkan diberi kelonggaran hati, ketabahan dan keikhlasan. Supaya lega, plong, bahwa saudara atau bagian keluarga yang meninggal sesungguhnya tidak pergi meninggalkan, tetapi kembali pada ‘kehidupan’ yang sesungguhnya.
Dalam periode yang lebih awal, jejak motif Slobog diketahui dalam tradisi lisan lingkungan istana Jawa periode Kertasura. Majalah Kejawen terbitan Maret 1938 mencatat asal-usul motif ini. Suatu malam ketika menepi di Dalem Prabasuyasa, Gusti Kangjeng Ratu Kencana alias Kangjeng Ratu Beruk, permaisuri Pakubuwana III (berkuasa 1749-1788) mendapat petunjuk gaib untuk mengenakan sinjang (jarik) Slobog.
Kangjeng Ratu Beruk dikenal sebagai sosok yang gemar menepi, tirakat dan menunaikan ibadah sunnah di malam hari. Ia juga dikenal sebagai kreator batik di lingkungan istana. Setelah mendapat petunjuk di kala menepi, Kangjeng Ratu Beruk lantas menyuruh anak-cucunya supaya mengenakan motif tersebut. Motif ini kemudian populer dan semacam menjadi paugeran busana bagi kerabat istana. Termasuk di era Pakubuwana IX (berkuasa 1861-1893). Raja yang banyak menulis karya sastra ini juga mengenakan motif Slobog sebagai bagian dari busana kebesarannya.
Di lingkungan istana kala itu, Slobog merupakan motif yang dikenakan bagi orang-orang yang sudah tidak mempunyai kesenangan terhadap keduniawian. Sesuai namanya, Slobog yang berarti lapang atau longgar, tidak terlalu banyak hiasan yang menunjukkan kesan lega atau lapang. Secara visual, motif ini berpola geometris, sederhana, disusun dari garis-garis, titik-titik (nitik) dan hiasan bunga yang sederhana. Biasanya didasari dengan warna hitam, cokelat sogan maupun putih.
Kesederhanaan motif Slobog dengan pola geometris yang berulang-ulang secara visual menyerupai bertemunya pucuk indung. Hal ini sebagai simbolisasi bertemunya mikrokosmos dan makrokosmos. Dua entitas ini hanya akan manunggal dalam siklus kehidupan yang ‘slobog’, yang lapang, yang tulus, ikhlas, nrima dengan segala titah dari Yang Maha Rahman. Filosofi ini yang tampaknya dihadirkan kembali oleh Yayasan Mbah Ahmad Mutamakkin melalui sarung Slobog sejak Haul pada 2024 lalu.

Syekh Mutamakkin dan Batik Slobog
Slobog merupakan motif klasik yang muncul dan berkembang di era Mataram Islam. Keterkaitannya dengan Syekh Mutamakkin tercatat dalam Suluk Alif, manuskrip pusaka Desa Kajen yang membabar riwayat dan perjuangannya pada awal abad ke-18. Persisnya ketika Syekh Mutamakkin disidang di pengadilan Kraton Kertasura lantaran dianggap menyimpang dari agama dan hendak memberontak.
Singkat cerita, menurut Suluk Alif, Syekh Mutamakkin alias Kiai Cabolek tidak jadi dihukum bakar. Hal ini karena Ketib Anom, perwakilan ulama penghulu dari Kudus yang menyeretnya ke pengadilan istana tidak mampu membuktikan dakwaannya. Pakubuwana II (bertakhta 1726-1742) lalu membubarkan pengadilan dan dengan demikian memutuskan bahwa Syekh Mutamakkin tidak bersalah.
Alasannya, menurut informasi intelijen istana, keyakinan mistik Syekh Mutamakkin yang Manunggaling Kawula Gusti tidaklah sesat. Tidak pula dimaksudkan untuk melawan kerajaan dengan banyaknya masyarakat yang menjadi pengikutnya. Justru barisan Ketib Anom-lah yang dianggap membikin suasana kerajaan jadi gaduh. Mereka, sebagaimana catatan pengadilan, dianggap telah menuduh orang tanpa bukti yang jelas.
Bahkan dalam sebuah bait, setelah mencermati berita acara pengadilan dan informasi dari intelijen istana, Pakubuwana II membela Syekh Mutamakkin. Dalam Suluk Alif dikatakan bahwa meskipun Syekh Mutamakkin adalah tiyang alit angrampyak akerep dipun dudeng tan owah eca alenggah, tetapi Pakubuwana II menyebut ia telah sinung ati suci pan dadi Punggawane Sukma pinacak pan sinung ngilmi (Pupuh VIII, Kinanthi: Bait 31-32).
Maksudnya, ‘orang kecil namun kokoh ini (Syekh Mutamakkin) telah dituduh berkali-kali tapi tidak goyah dan duduk dengan tenang’, dan Syekh Mutamakkin ‘diberi hati yang suci untuk menjadi petugas Suksma (waliyullah) dan diberi anugerah ilmu’.
Raja lalu menyuruh abdi dalem untuk mengantarkan hadiah kepada Syekh Mutamakkin dan Ketib Anom. Hadiah yang diberikan untuk Ketib Anom berupa satu paket busana yang serba mewah dan serba putih berkilauan. Sementara untuk Syekh Mutamakkin, hadiahnya berupa kain ‘sarwi cemeng grim ireng sengkelat, nyamping selobog keris’, yang berarti kain serba hitam grim sengkelat dan jarik bermotif selobog keris (Pupuh X Sinom, Bait 21-22).
Syekh Mutamakkin dan Tatanan Religi-Spiritual Jawa-Islam
Riwayat Syekh Mutamakkin dan motif Slobog yang tertulis dalam Suluk Alif dapat disebut sebagai cerita sastra. Sosok yang diperingati setiap 10 Muharram di Desa Kajen ini cukup masyhur dikenal dalam tradisi tulis kraton Jawa. Merle Ricklefs (1943-2019), seorang sejarawan Australia yang menghabiskan hidupnya untuk meneliti Jawa, mencatat ada lebih dari 40 salinan manuskrip Serat Cabolek beraksara dan berbahasa Jawa yang membabar riwayat Syekh Mutamakkin. Seluruh salinan itu diproduksi pada sepanjang abad 19.
Manuskrip-manuskrip itu tersimpan di dalam maupun luar negeri, baik di Yogyakarta, Surakarta, Perpustakaan Nasional RI maupun di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Seluruh manuskrip itu memiliki versi cerita yang serupa. Termasuk Suluk Alif yang telah saya teliti dan bandingkan dengan seluruh manuskrip tersebut, dan terbit dengan judul Suluk Alif, Fragmen Cerita Kiai Cabolek Versi Desa Kajen (Perpusnas Press, 2024).
Banyaknya salinan cerita Syekh Mutamakkin membuktikan kemasyhuran kisah tentangnya di masa lalu, dan terbukti telah disalin dari masa ke masa. Bedanya, Suluk Alif ditulis menggunakan huruf pegon. Manuskrip yang disalin Syekh Abdul Karim pada abad ke-19 di Kawasan Kajen ini merupakan satu-satunya salinan Serat Cabolek berlanggam macapat yang ditulis dengan huruf pegon.
Meskipun cerita sastra, Ricklefs membuktikan bahwa kisah tentang Syekh Mutamakkin bukanlah karya fiktif belaka. Dalam bukunya The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726-1749 (1998), ia menjelaskan kisah yang ditulis dalam Serat Cabolek merupakan representasi kejadian faktual di lingkungan istana Kertasura. Terutama perihal perjumpaan Jawa dengan paham keislaman yang beragam pada abad ke-17-18. Melalui studi manuskrip dan arsip-arsip semasa, ia memperkirakan bahwa peristiwa pengadilan Syekh Mutamakkin terjadi pada April 1731-Juli 1733.
Tidak sekadar peristiwa tentang mengadili yang salah dan yang benar, namun juga tentang spiritualitas dan relijiusitas Jawa-Islam yang berkolaborasi untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan. Hal ini, setidaknya tercermin dalam sikap Pakubuwana II yang ditampilkan sebagai sosok raja yang bijaksana. Versi Serat Cabolek paling awal yang sejauh ini diketahui, yang ditulis oleh Yasadipura II (wafat 1844) bahkan menyebut praktik keagamaan dan keyakinan mistik Syekh Mutamakkin tidaklah sesat. Tidak sesat artinya tidak melanggar, tidak pula melanggar tatanan keagamaan Kraton sebagaimana yang didakwakan oleh barisan Ketib Anom.
Secara filologis, kemunculan Serat Cabolek adalah bentuk kesinambungan visi spiritual-politik yang ingin diaktualisasikan dalam tatanan pemerintahan Kraton Kertasura oleh Ratu Pakubuwana (wafat 1732). Istri Amangkurat IV (berkuasa 1719-1726), sekaligus ibunda Pakubuwana II ini merupakan arsitek di balik visi tersebut. Ia merupakan sosok di balik penulisan manuskrip-manuskrip penting bercorak sufisme Jawa-Islam yang secara ideologis melanjutkan spirit kepemimpinan Sultan Agung (berkuasa 1613-1645).
Beberapa karya penting Ratu Pakubuwana yang ditulis oleh pujangga istana antara lain Suluk Garwa Kencana, Carita Iskandar, Serat Yusuf dan Kitab Usulbiyah. Karya-karya itu secara umum berisi kisah-kisah pemimpin ideal, keindahan rohani dan teladan seorang pemimpin Islam, penyucian jiwa, maupun ajaran-ajaran tarekat yang mengakar dan mengakomodasi lokalitas Jawa. Proyek sufistik ini secara ideologis bertujuan untuk mengkolaborasi tatanan kekuasaan lahir dan batin, duniawi dan spiritual, demi tatanan pemerintahan kraton Jawa yang berkeadilan, sejahtera, dan harmoni.
Visi itu nampak masih tersambung pada narasi yang diusung dalam Serat Cabolek dan Suluk Alif pada abad ke-19. Meskipun zaman sudah berganti, suasana politik dan keagamaan sudah beralih, meminjam istilah Peter Carey, akhir tatanan lama sudah berganti ke tatanan baru setelah berkobarnya Perang Diponegoro (1825-1830). Namun, jika mendudukkan Serat Cabolek sebagai karya istana, sedangkan Suluk Alif adalah representasi karya dari tradisi luar istana, proyek sufistik itu masih tersambung. Tujuannya, sekali lagi, adalah mewujudkan tatanan pemerintahan dan keagamaan yang berkeadilan, sejahtera, dan harmoni. Dalam kacamata Suluk Alif, visi tersebut rupanya juga menjadi harapan bersama bagi kalangan luar istana.
Hal itu digambarkan dalam ketokohan Syekh Mutamakkin, seorang ulama luar istana yang ahli ilmu, spiritualitas, dan mengapresiasi lokalitas. Suluk Alif mengisahkan pada setiap Sabtu malam, di samping masjidnya, Syekh Mutamakkin tidak pernah absen menggelar wayang dengan lakon Dewa Ruci. Ia selalu duduk persis di depan dalang, di balik kelir, menontonnya sampai rampung menjelang Subuh. Lakon ini merupakan kegemaran Syekh Mutamakkin. Suatu lakon wayang Jawa klasik yang menceritakan perjalanan spiritual tokoh Bima yang menemukan jati diri sejati, mengenal Tuhan, kembali ‘menyatu’ dengan Tuhan dan menjalankan misi-misi ilahiah sebagai pemimpin diri pribadi.
Pun dalam setiap pengajian rutin yang ia sampaikan kepada santri-santrinya di serambi masjid. Menurut pengakuan salah satu santri kinasihnya, Ki Kedung Gedhe, dalam Suluk Alif, Syekh Mutamakkin tidak hanya mengajarkan fikih Islam maupun kitab-kitab syariat lainnya, namun juga ilmu-ilmu kuno. Dalam hal ini dapat ditafsirkan sebagai pengetahuan-pengetahuan lama yang telah mengakar sebagai ekologi budaya setempat.
Dalam aktivitas keagamaannya, Syekh Mutamakkin nampak tidak sekadar menyampaikan dalil-dalil syariat, atau mencekoki masyarakat dengan bejibun ayat Qur’an dan Hadis. Beragama, bagi Syekh Mutamakkin meliputi cara hidup sehari-hari yang telah mengakar, tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat yang diikat dengan cinta, welas asih dan kesadaran sepenuhnya kepada Yang Esa.
Contohnya ketika Ki Kedung Gedhe hendak melabrak Syekh Mutamakkin di kediamannya karena perbedaan keyakinan keagamaan. Dalam Suluk Alif dikisahkan, Ki Kedung bersama gerombolannya mendatangi Syekh Mutamakkin. Namun ternyata yang terjadi bukan adu mulut, adu dalil dan adu nasab. Syekh Mutamakkin menyambut tamunya dengan baik, sejuk, dan bersahabat. Mereka berdialog, salat berjamaah, dan pada akhirnya Ki Kedung menjadi salah satu santri kinasihnya.

Slobog sebagai Diplomasi Budaya
Revitalisasi motif Slobog dalam kain sarung yang dilakukan oleh Yayasan Mbah Ahmad Mutamakkin bukanlah semata-mata langkah kebudayaan yang patut diapresiasi. Tetapi, hal itu memanglah sebuah langkah yang sudah seharusnya dilakukan. Dalam sumber-sumber yang telah diuraikan di muka, Slobog mempunyai sejarah panjang. Ia bukan sekadar selembar kain hadiah pemberian Pakubuwana II kepada Syekh Mutamakkin.
Serat Cabolek dan Suluk Alif mengenang Slobog sebagai ‘boten untab-untaban yen pangkata’, maksudnya adalah ‘sesuatu yang tidak dapat dibanding-bandingkan jikalau itu dibandingkan (dengan pemberian kepada Ketib Anom)’ (Pupuh X, Sinom, Bait 22). Penggalan bait tersebut diungkapkan oleh narator cerita, yang berarti ditulis oleh pujangga istana dan disetujui oleh pemrakarsanya, yakni Pakubuwana II dalam Serat Cabolek. Pandangan serupa juga terdapat dalam Suluk Alif, yang dengan demikian ditulis dan disetujui pula oleh pemrakarsanya yang hidup di lingkungan Kajen, tempat Syekh Mutamakkin dimakamkan.
Artinya, Slobog adalah penanda alias simbol dari suatu peristiwa ideologis dalam riwayat keislaman dan kejawaan di masa lalu. Slobog menyimpan pesan bahwa selembar kain berlatar hitam dengan motif sederhana merupakan salah satu pangkat atau derajat kesalehan tertentu yang maujud dalam diri Syekh Mutamakkin. Hal itu, menurut naratif tersebut, tidak bisa dibandingkan dengan hadiah pemberian raja kepada Ketib Anom yang disebut lebih dominan warna terang dan serba gemerlapan.
Di masa lalu, Slobog dihadiahkan kepada Syekh Mutamakkin sebagai kompensasi setelah proses pengadilan. Ketib Anom sebagai pendakwa, meskipun gagal membuktikan dakwaannya pun diberi hadiah. Bahkan hadiahnya nampak lebih gemerlapan, dibanding pemberian raja kepada Syekh Mutamakkin. Melalui bukti-bukti naratif dan sejarah yang telah diuraikan di muka, barangkali pemberian hadiah itu, selain untuk merangkul dan mengkonsolidasi kedua pihak, adalah suatu pasemon, yakni pesan terselubung atau sindiran halus kepada barisan Ketib Anom.
Maksudnya, hadiah berupa seperangkat busana yang nampak serba mewah kepada Ketib Anom, ternyata tetap tak dapat dibandingkan derajatnya dengan selembar kain hitam motif Slobog yang diberikan kepada Syekh Mutamakkin. Hal ini, menurut pengakuan Pakubuwana II yang dijelaskan pada bait-bait lainnya, sekaligus menunjukkan tingkatan keilmuan Syekh Mutamakkin. Jika dirunut dengan teks-teks sufistik sezaman, bahkan keyakinan mistik dan laku keagamaan Syekh Mutamakkin selaras dengan visi tatanan Jawa-Islam yang menjadi visi besar istana.
Riwayat itu di kemudian hari diabadikan dengan terus disalin, dibaca dan dapat ditembangkan dalam seni macapat. Hari ini, kita menyaksikan motif Slobog dilahirkan kembali dalam selembar sarung batik untuk memperingati haul Sang Punggawane Suksma, Syekh Ahmad Mutamakkin. Suatu perayaan simbolik yang tidak hanya di-uri-uri, tetapi juga di-ura-ura (disemarakkan) dalam cara hidup berbusana sehari-hari.[]