Dalam beberapa hari terakhir saya mendapatkan keluh kesah dari dua orang teman yang berbeda jenis kelamin, mengenai salah satu rahasia Ilahi yang sering menjadi pikiran manusia di usia 20an; jodoh atau pernikahan. Salah satu masalah yang mereka ceritakan adalah tentang kafa’ah.
Kata kafa’ah telah menjadi salah satu kata serapan dalam Bahasa Indonesia. Ini menunjukkan bahwa kata tersebut sudah menjadi istilah umum di masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kafaah diartikan dengan kata “seimbang”. Kata lain yang sering digunakan untuk menerjemahkan kafaah adalah “kesetaraan”.
Ali Muhtarom dalam artikelnya (2018, 207) menjelaskan bahwa kafaah dalam pernikahan adalah suatu keadaan di mana kedua pasangan suami-istri sepadan. Lalu, dalam hal apa saja kesetaraan tersebut dituntut?
Wahbah Zuhaili, sebagaimana dikutip oleh Muhtarom (2018, 207) menerangkan bahwa kesetaraan antara suami-istri hendaknya meliputi agama, nasab, kemerdekaan (dari perbudakan), dan profesi, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Sedangkan mazhab Hanbali dan Hanbali menambahkan harta sebagai salah satu bentuk kesetaraan yang dimaksud.
Konsep kafaah dalam Islam tentunya dibangun untuk tujuan yang baik, yaitu agar dapat terbangun keluarga yang baik dan harmonis. Sebab, pasangan yang berada pada posisi setara cenderung memiliki pemikiran yang sama dan mudah dalam berdialog serta berinteraksi, sehingga sakinah, mawaddah, serta rahmah dapat dicapai dengan lebih mudah.
Konsep kafaah dalam hal selain agama sangat dipengaruhi oleh sosio-budaya setempat.
Dalam masyarakat Arab yang kental akan kesukuan, misalnya, kekerabatan dan garis keturunan menjadi instrumen penting dalam kehidupan sehari-hari. Tak heran jika banyak hadis menunjukkan bagaimana seorang tamu sangat berhak untuk dimuliakan, bahkan selama tiga hari (Alkhateeb 2016, 4).
Dalam Alquran pun kerabat selalu disebutkan lebih dahulu dibandingkan anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Tujuannya adalah untuk menjalin persabahatan dan mengikat kekerabatan.
Nasab atau garis keturunan juga disebutkan Nabi ketika beliau memberi arahan tentang perempuan yang dianjurkan untuk dinikahi. Dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan sebuah hadis:
عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: ” تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Perempuan itu dinikahi karena empat hal: hartanya, garis keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Nikahilah ia karena agamanya, maka engkau akan beruntung.”
Beruntung bagi kita karena pada akhir hadis tersebut Nabi mengutamakan agama dibandingkan aspek lainnya. Ini sejalan dengan semangat Islam yang ingin mewujudkan masyarakat egaliter, masyarakat setara tanpa kelas. Selain itu, Alquran juga menerangkan bahwa perbedaan manusia di mata Allah adalah ketakwaan, bukan aspek lain (QS. Al-Hujurat[49]: 13).
Masyarakat muslim Indonesia mungkin dapat dikatakan beruntung karena mayoritasnya menganut mazhab Syafii. Terhadap masalah kafaah, mazhab Syafii tidak menjadikannya syarat sah pernikahan, sebagaimana yang berlaku dalam mazhab Maliki dan sebagian ulama Hanbali (Muhtarom 2018, 211). Menurut mazhab Syafii, kafaah adalah sebuah keniscayaan yang bersifat sosial. Artinya, kafaah tergantung pada adat dan budaya yang berlaku di masyarakat.
Namun demikian, yang sekarang banyak terjadi di masyarakat adalah bahwa kafaah tidak hanya didasarkan pada agama, tetapi juga strata sosial. Sebagaimana cerita teman laki-laki saya tadi, bahwa kedua orangtuanya tidak mengizinkan jika dia menjalin hubungan dengan perempuan yang sedang disukainya karena dianggap lebih rendah kedudukan sosialnya.
Karenanya, kadang kafaah menjadi penghalang bagi kedua insan yang sedang dimabuk cinta untuk bersama. Misalnya, lelaki cenderung insecure untuk menghadapi keluarga perempuan yang dipandang memiliki kedudukan lebih tinggi darinya. Tak jarang mereka memilih menyerah bahkan sebelum melangkah, seperti yang terjadi dengan teman perempuan saya tadi.
Bagi saya pribadi, kafaah adalah konsep yang baik dalam Islam demi memudahkan terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, serta rahmah. Tetapi, konsep kafaah jangan sampai menjadi penghalang dan memberatkan bagi dua insan untuk bersama. Karenanya, ketentuan kafaah selain dalam masalah agama harus direkonstruksi dengan sebaik mungkin.
Dalam masalah ekonomi, misalnya, seorang pasangan secara tidak langsung dapat memberikan keuangan yang lebih layak bagi pasangannya, sehingga kebutuhannya tercukupi. Atau dalam masalah pendidikan, salah satu di antaranya dapat mendidik pasangannya agar menjadi lebih baik.