Kisah seorang wanita sufi, Rabi’ah al-Adawiyah tidak akan lekang oleh zaman dan waktu. Dimana cerita Rabi’ah akan selalu indah dinikmati oleh wanita-wanita yang lahir di setiap zaman yang berbeda-beda. Perlu bahkan harus, menelaah jalan tasawuf yang ditempuh oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Terlebih tentang cintanya kepada Allah. Cinta yang benar-benar cinta, bukan cinta dusta yang berpoleskan nafsu belaka.
Imam besar Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya, al-Mahabbah was-Syauq, beliau menceritakan, suatu ketika Rabi’ah al-Adawiyah ditanya, “Bagaimana cintamu kepada Rasulullah Saw? Kemudian wanita sufi itu menjawab, “Demi Allah sesungguhnya aku sangat mencintai Rasulullah Saw, akan tetapi cintaku kepada Sang Pencipta menyibukkan diriku dari mencintai makhluk-makhluk-Nya”.
Dari jawaban Rabi’ah di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah sangat mencintai nabi Muhammad Saw, namun cintanya kepada Allah jauh lebih besar dan agung. Wanita sufi, Rabi’ah mampu mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ini menandakan bahwa mencintai baginda nabi Muhammad Saw ialah keharusan, sedangkan mencintai Allah merupakan kewajiban. Artinya seorang hamba berkewajiban mencintai Allah dengan melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Sofyan berkata berkenaan dengan mencintai nabi Muhammad Saw, bahwa mencintai Rasulullah yaitu dengan mengikutinya. Menuruti pada semua sunnahnya, seperti sebelum makan membaca basmalah dan sunnah-sunnah yang lain.
Kisah Rabi’ah sebagaimana komentar dari imam asy-Sya’roni dalam kitabnya, al-Kubra, bahwa Rabi’ah sering menangis dan bersedih. Bahkan, setiap kali Rabi’ah mengingat akan neraka, dia hilang kesadaran beberapa waktu. Dari sini kita memahami, betapa dahsyat ketakutan hati Rabi’ah, kebersihan hatinya memanifestasikan akan senantiasa takut neraka.
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi dalam kitabnya, Syarah ‘Uqudul Lujain, beliau menceritakan tatkala suami Rabi’ah al-Adawiyah meninggal dunia, seorang imam besar bernama Hasan al-Bashri bersama para sahabat mendatangi rumah Rabi’ah, sementara Rabi’ah duduk di belakang tirai.
Imam Hasan al-Bashri berkata, “Sungguh suamimu sudah meninggal dunia, pilihlah di antara kami orang-orang zuhud yang kamu inginkan!”. Rabi’ah merespon, “Cinta dan kehormatan, akan tetapi aku akan bertanya kepada kalian. Siapa di antara kalian yang paling alim sehingga aku menjadikannya suami?”. Mereka menjawab bahwa imam Hasan al-Bashri yang paling alim.
Dalam kitab Syarah ‘Uqudul Lujain, dikisahkan, “Jika engkau bisa menjawab empat pertanyaan dariku maka aku bersedia menjadi istrimu.” Kata Rabi’ah al-Adawiyah. Imam Hasan al-Bashri menjawab bahwa selama Allah memberi taufiq, semua pertanyaan akan bisa dijawab.
Lalu Rabi’ah melontarkan pertanyaan, ”Seandainya aku mati, aku mati dalam keadaan muslimah atau kafirah?. Ketika aku dikubur, malaikat munkar dan nakir akan bertanya, apakah aku mampu menjawabnya?. Bila manusia dikumpulkan di hari kiamat, malaikat hufazah atas perintah Allah akan menyerahkan catatan amal manusia, apakah aku akan diberi catatan amal (buku) dari arah kanan atau kiri?. Dan kelak masing-masing kelompok dari ahli surga dan neraka akan diseru, aku masuk kelompok yang mana?”. Imam Hasan al-Bashri menjawab, “Adapun mengetahui keadaanmu termasuk perkara yang gaib”. (Syarah Uqudul Lujain, hal 26)
Dari kisah luar biasa Rabi’ah al-Adawiyah di atas, kita banyak belajar terutama dalam meningkatkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga kita bisa sampai ke level cinta tertinggi.
Walhasil, sembari membaca hikayat Rabi’ah al-Adawiyah; wanita sufi setenang malam, hati kita tergugah untuk menjadi insan yang lebih baik, manusia beriman yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya dan akhirnya kita tergolong penduduk surga, amin. Wallahu a’lam bishawab.