Rajab 1440 H sudah memasuki minggu terakhirnya. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, di pecan tersebut, tepatnya tanggal 27 Rajab, kita memperingati peristiwa besar, yakni Isra Mi’rajnya Nabi Muhammad saw. Sebuah hari yang monumental bagi umat Islam mengingat sepulangnya dari sana, Rasulullah membawa perintah shalat lima waktu dari Allah Swt.
Tentunya, hari besar ini diperingati oleh muslim sedunia dengan beragam kegiatan. Pondok Buntet Pesantren, misalnya, yang memperingatinya dengan menggelar pengajian kitab Qisshatul Mi’raj karya Syekh Ahmad al-Dardiri. Pengajian tersebut biasanya digelar selama tiga malam, mulai malam ke-25 sampai malam ke-27 di Masjid Agung Buntet Pesantren.
Malam pertama dan kedua, kitab tersebut dibaca oleh dua sampai tiga kiai secara bergantian, mulai bakda Isya hingga pukul 10 malam. Sementara di malam terakhir, kitab tersebut dibaca oleh seorang kiai untuk mengkhatamkannya.
Pengajian kitab ini menggunakan metode bandungan, KH Saifuddin Zuhri menjelaskan dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren, bahwa metode bandungan dilakukan dengan cara kiai membaca salah satu kitab kuning, dalam hal ini kitab Qisshatul Mi’raj karya Syekh Ahmad al-Dardiri, dan santri menyimak baik-baik dengan menghadapi kitabnya masing-masing.
Pembaca kitab yang biasanya kiai-kiai muda Buntet Pesantren itu duduk di bagian timur masjid, menghadap ke barat, sedangkan santri putra mengelilinginya. Sementara itu, santri putri bertempat di bagian selatan masjid, tepatnya di Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul Ulama (MTs NU) Putri Buntet Pesantren.
Pada malam puncak, malam ketiga atau malam tanggal 27, kegiatan pengajian tidak hanya diisi khataman kitab, tapi juga ada mauidhah hasanah dari kiai sepuh sebelum ditutup dengan pembacaan doa. Seluruh warga Pondok Buntet Pesantren dan sekitarnya juga tumpah di masjid, tidak seperti malam pertama dan kedua yang umumnya hanya diikuti oleh para santri dan anak-anak muda.
Berkat Khataman
Usai khataman, mauidhah hasanah, dan doa, para santri akan dibagikan berkat, nasi bungkus, oleh putra-putri kiai. Momen inilah yang berkesan di kalangan santri. Pengalaman penulis, saat seperti ini, para santri berebut mendapatkan berkat tersebut. Kang dan yayu putra-putri kiai itu membagikannya satu persatu.
Namun, entah saking ingin mendapat banyak berkah atau memang saking lapar dan berharap mendapat lauk istimewa, mereka terkadang meminta lebih. Jika sudah mendapat berkat itu, santri menutupinya dengan sarung. Melihat belum ada berkat di hadapan santri tersebut, tentu kang dan yayu itu memberikan lagi. Tak ayal, pulang dari masjid selain memeluk kitab di dada, mereka juga menggoyong berkat itu. Ada yang bahkan mendapat tiga bungkus. Malam itu menjadi pesta bagi mereka.
Nasi bungkus itu dibuat oleh seluruh masyarakat Buntet Pesantren. Masing-masing keluarga, biasanya membawa 20 hingga ratusan bungkus nasi untuk dibagikan ke ribuan santri dan masyarakat yang menyemut di masjid.
Sementara itu, para kiai menyiapkan suguhan berupa buah-buahan, cemilan, dan ambeng (nasi di nampan) bagi para kiai dan warga yang sudah cukup usia. Semua sumbangan masyarakat dan kiai itu diserahkan kepada panitia DKM.
Sebelum gelaran tersebut, Ketua Dewan Khidmat Masjid (DKM) Masjid Agung Buntet Pesantren pada shalat Jumat pekan ketiga bulan Rajab, tepatnya sebelum khutbah Jumat, mengumumkan penyelenggaraan kegiatan dan mengajak serta seluruh masyarakat untuk membuat nasi bungkus atau ambeng tersebut.
Hal yang tak ketinggalan dari kegiatan Rajaban adalah genjringan, yakni pembacaan selawat yang diiringi tabuhan genjring. Usai bubaran pengajian, para penabuh itu mulai melangitkan selawat.
Kegiatan itu berlangsung mulai dari sekitar pukul setengah 11 hingga pukul setengah 1 malam. Beberapa kiai turut ambil bagian dalam kegiatan ini. Usai bersenandung bersama, mereka akan kembali disuguhi makanan dengan lauk-lauk istimewa sekaligus berkat untuk dibawa pulang ke rumahnya.