Sedang Membaca
Kisah Segelas Air Minum Bekas Mbah Moen
Syakir NF
Penulis Kolom

Mengabdi di PP IPNU dan NU Online sebagai kontributor. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Peserta Micro-Credential di American Islamic College, Beasiswa Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama - LPDP.

Kisah Segelas Air Minum Bekas Mbah Moen

Saya sangat bersyukur pernah memiliki kesempatan dapat mengaji langsung kepada Syaikhina KH Maimoen Zubair. Keinginan mengaji kepadanya saat itu, dua tahun lalu, bagi saya sudah begitu mendesak.

Sebelum berangkat ke sana, saya mendapat interview magang pada sebuah situsweb Islam di Jakarta. Dalam interview, pendirinya menyampaikan bahwa peserta magang harus siap bekerja di bulan Ramadhan secara penuh. Mendengar hal itu, saya tegas menjawab bahwa Ramadhan tahun itu, 1438 H, saya harus mengaji kepada Mbah Maimoen di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Dia mendukungku, “Sarang bagus tuh,” katanya.

Saya juga harus menunda kelulusan studi sarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengerjaan tugas akhir saya tinggalkan juga demi bisa ngangsu kaweruh langsung kepada Mbah Moen.

Tantangan untuk bisa mengaji langsung tidak berhenti di situ. Ada juga yang memintaku menahan diri untuk pergi ke sana. Pasalnya, persoalan ngaji Ramadhan bisa saja langsung kepada para kiai di sekitar rumah. Toh, katanya, sama-sama mengaji. Tapi, emak saya berada di depan, “Berangkat!” tegasnya. Persoalan ada yang menghalangi, biarkan emak yang menjawab kata emak.

Akhirnya, saya berangkat di hari pertama Ramadhan bersama seorang rekan yang sudah menjadi santri di sana yang tengah pulang liburan. Kami tiba malam hari, tepat bubaran ngaji malam kedua, saat orang-orang sudah beranjak dari tempat duduknya, berjalan ke pondok masing-masing atau sekadar melepas lelah di warung-warung.

Baca juga:  Kain Ulos, dari Samosir Menembus Museum Swarovski Austria

Saat itu sekitar pukul 22.00. Artinya, pengajian dilakukan sekitar dua jam jika dimulai sekitar pukul 20.00. Tentu bukan hal mudah untuk dapat duduk berjam-jam bagi orang berusia 90 tahun. Hal itu yang dilakukan oleh Mbah Moen saban malam Ramadan. Bahkan terkadang, pengajian baru berakhir sekitar pukul 23.00. Tiga jam lebih beliau membaca kitab dan menerangkannya dengan suara yang lantang nan jelas. Tiga jam itu juga matanya bekerja tanpa alat bantu, kacamata. Tiga jam itu pula beliau duduk. Bahkan kalau pagi, pengajian bisa sampai menghabiskan waktu empat jam, hingga pukul 10.00 atau 11.00 siang dari pukul 06.00 pagi.

Tempat saya mengaji berpindah-pindah, dari dalam kamar, di lorong antarkamar, di warung, di jalan, hingga mencoba sekali mengambil posisi tidak jauh dari tempat duduknya. Untuk dapat posisi terakhir itu, sebelum azan Isya, saya sudah harus mengambil tempat. Sebab, jika terlambat, dapat dipastikan tak akan kebagian. Tentu saja sudah sekaligus membawa kitab yang akan dikaji, yakni kitab Ithaf Ahl al-Islam bi Khushushiyyat al-Shiyam karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami.

Karena penuhnya orang dan suasana pinggir pantai yang panas, tak sedikit orang di situ bermandi keringat. Saya merasakan hal yang sama. Bahkan, seseorang di depan saya terlihat basah kuyup. Saya perhatikan bajunya bisa diperas saking benar-benar derasnya keringat mengalir keluar. Kipas angin yang berputar-putar di atas kepala seakan tak terasa. Meskipun demikian, tak ada satupun orang yang mengambil langkah mundur. Bahkan usai tarawih, para santri kontan mendesak maju demi bisa ambil jarak terdekat dengan Mbah Moen.

Baca juga:  Humor Pesantren: Selera Humor Kiai Madura

Tentu saja sebuah keberuntungan bisa mendapat posisi ngaji dekat dengan beliau. Pasalnya, saat pengajian Ramadhan, ada ribuan orang yang mengaji. Jalanan menuju pondok dari berbagai arah penuh dengan orang. Mereka yang selain di hadapan beliau tentu tidak bisa melihat langsung wajah beliau. Tetapi, sekalipun para santri duduk di hadapannya, mereka semua menunduk, tak ada keberanian untuk memandangnya. Berat. Kharismanya begitu kuat.

Saat beliau beranjak meninggalkan tempat duduknya dekat mihrab mushalla, para santri langsung berebut gelas yang masih tersisa air minumnya. Bukan perkara mudah untuk mendapat setetes minumnya. Pasalnya, Mbah Moen baru dibantu berdiri saja, puluhan santri langsung menyemut ke mejanya. Satu tangan mereka berlomba paling cepat mengambil gelas, satu tangan lainnya tetap memegang kitab. Saat seorang santri menyeruputnya, mereka enggan melepaskan satu tangannya itu walau sedetik, berebut mendapat kesempatan setelahnya.

Untungnya, mereka saling mengerti satu sama lain. Tidak ada yang berani langsung meminum banyak. Mereka minum sedikit-sedikit demi bisa berbagi dengan kawan-kawan yang lain. Bersyukur betul, saya pernah mendapatkan itu meski saat itu saya berada di saf keempat. Meski demikian, ada juga yang tak mendapat bagian karena banyaknya yang berupaya menyecap setetes air bekas minum Mbah Moen itu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top