Pada satu hari Jumat di musim panas tahun 2019, setelah selesai shalat Jum’at di mesjid Al-Hikmah Den Haag, saya diajak oleh pak Naf’an Sulchan makan siang. Beliau adalah salah satu sahabat K.H. Abdurrahman Wahid yang dikenal banyak kalangan sebagai Gus Dur ketika belajar di Timur Tengah.
Sekarang, beliau aktif sebagai anggota dewan pembina Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa (PPME) Den Haag dan Ketua Dewa Syuro Dewan Pengurus Cabang Perwakilan (DPCP) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Belanda. Beliau aktif berdakwah di komunitas-komunitas diaspora muslim Indonesia di Belanda dan negara-negara lain di Eropa. Beliau meyakinkan saya bahwa ada warung ikan goreng enak di sekitar mesjid yang harus saya coba cita rasanya. Kami pun berjalan tiga menit dari mesjid ke warung tersebut.
Setelah memesan ikan dan udang goreng, kami pun duduk di kursi di luar warung sambil menikmati udara musim panas sambil mengobrol santai.
Salah satu obrolan kami adalah perjalanan Gus Dur selama tinggal di Belanda pada tahun 1970an. Pak Naf’an mengenang bagaimana Gus Dur yang selalu membuat suasana hidup dengan humor-humornya yang khas saat mereka berkumpul santai melepas lelah setelah bekerja seharian. Pada kesempatan lain, sahabat Gus Dur yang lain yakni pak Hambali Maksum juga bercerita tentang selera humor Gus Dur yang bisa membuat perut lapar menjadi kenyang selama perjalanan mereka di laut menuju Eropa.
Kegiatan berkumpul dan berdiskusi santai itu dilakukan setidaknya satu kali dalam seminggu dari rumah ke rumah warga Indonesia di Belanda. Mereka memasak dan makan bersama. Kemudian ngobrol atau diskusi santai. Kegiatan seperti inilah, menurut pak Naf’an, yang menjadi fondasi dakwah Islam Indonesia di Belanda dan bahkan di Eropa.
Menurutnya, Gus Dur mengusulkan kegiatan diskusi santai dan makan bersama seminggu sekali itu dibarengi dengan kegiatan tahlil dan doa bersama. Usul tersebut disepakati bersama oleh semua anggota perkumpulan. Kemudian berlanjut diisi dengan kajian keislaman. Peserta yang hadir pun terus bertambah. Gus Dur dan sahabat-sahabatnya yang berlatar belakang pendidikan pesantren dan Timur Tengah mengisi kajian keislaman secara bergantian.
Dalam kajian-kanjian keislaman rutin tersebut Gus Dur menularkan gagasan-gagasan membumikan Islam bersama teman-temannya. Kegiatan seperti ini terus berlanjut di kalangan diaspora muslim Indonesia di Belanda. Setelah berjalan bertahun-tahun, lahirlah ide bagaimana jika perkumpulan mereka dilembagakan menjadi sebuah perkumpulan (stichting) resmi yang terdaftar di Pemerintahan Belanda.
Mereka kemudian sepakat memberi nama perkumpulan itu Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa (PPME). Dalam perkembangannya, cabang PPME berdiri di beberapa negara-negara Eropa termasuk Belanda, Belgia, dan Jerman.
Meski mayoritas pendirinya berlatar belakang NU, Gus Dur tidak ingin menyematkan nama NU pada perkumpulan tersebut. Gus Dur menginginkan PPME menjadi organisasi yang merangkul semua corak keberagamaan diaspora muslim Indonesia di Eropa. Gus Dur menginginkan PPME menjadi naungan bagi semua komunitas muslim Indonesia yang ada di Belanda. Bahkan, non-muslim baik warga Indonesia atau pun Belanda yang tertarik hadir di kegiatan-kegiatan PPME disambut dengan baik.
Langkah Gus Dur ini sangat khas bagi kita yang mengenal beliau sebagai bapak bangsa yang merangkul perbedaan, menjaga ukhuwwah islamiyyah dan insaniyyah (persaudaraan sesama muslim dan sesama manusia). Gus Dur juga dikenal sebagai pejuang HAM dan keadilan. Meski Gus Dur harus kembali ke Indonesia, organisasi yang didirikannya, PPME, terus dikembangkan oleh sahabat-sahabatnya. PPME kemudian berusaha mendapatkan izin dari pemerintah Belanda untuk mendirikan mesjid.
Dalam perkembangannya, menurut pak Naf’an, PPME di Belanda memiliki cabang di beberapa kota seperti Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, dan Breda. PPME Den Haag, Breda, dan Amsterdam mempunyai mesjid tempat kegiatan utama mereka. Gerakan dakwah Islam Indonesia yang ditanam oleh Gus Dur melalui PPME sampai sekarang terus berlangsung dan berkembang di Eropa, khususnya di Belanda.
Pendirian PPME menunjukkan aktivisme Gus Dur dalam dakwah Islam yang jarang disoroti, termasuk toleransinya terhadap corak keislaman yang berbeda-beda. Kebanyakan melihat Gus Dur hanya sebatas pejuang HAM dan toleransi antar agama. Seakan-akan aktivisme dakwah Islam Gur Dur tidak signifikan. Keberadaan PPME sebagai corong dakwah Islam Indonesia di Belanda sekarang diperkuat dengan keberadaan Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) di Belanda yang berdiri pada 2014 akhir. Meski masih tergolong minoritas dibanding dakwah Islam Turki dan Maroko, dakwah Islam Indonesia memberikan warna baru dalam landscape Muslim di Belanda untuk melawan radikalisme di kalangan umat Islam dan islamofobia di kalangan warga Belanda yang terus menjadi masalah bagi negara-negara di Eropa.