Merunut awal sejarah masuknya Islam ke Nusantara sejak abad kedua belas, kemungkinan nilai-nilai ajaran Islam yang diadaptasi dari Alquran sudah diperkenalkan oleh para penyebar Islam waktu itu. Sekalipun munculnya khazanah keislaman, baik berupa karya tafsir atau tasawuf di Nusantara baru muncul enam abad setelahnya.
Namun, jauh sebelum itu telah bertebaran karya-karya filologis, baik berupa serat, babad, atau suluk yang dianggap para sejarawan memiliki nuansa religius yang kuat, atau bentuk “sinkretisme” yang tampak menonjol antara alam pikiran budaya lokal dengan nilai-nilai Alquran sebagai Kitab Suci agama Islam.
Alquran, atau “wacana Qurani”—meminjam istilah Arkoun—merupakan fondasi utama dalam pembentukan sejarah Islam dan bahkan dalam beberapa hal menopang institusi peradaban yang secara luas menyejarah terhadap apa yang kemudian disebut dunia Islam. Islam memberikan sumbangan sangat penting terhadap pandangan dunia etika terhadap sistem hukum dan dogma.
Visi Islam yang melampaui Arabistik—karena risalah kenabian Muhammad untuk seluruh alam—memungkinkan perjalanan Islam merambah ke berbagai bentuk dan arah, terlebih Islam tak mempunyai keseragaman seperti pada gereja. Kehidupan historisnya menyatakan keanekaragaman yang telah dihasilkannya sendiri (Untuk lebih jelas, lihat misalnya, Ignaz Goldziher: Pengantar Teologi dan Hukum Islam).
Untuk menyebut peradaban Nusantara sebagai suatu peradaban mandiri sangatlah tidak mungkin, sebab suatu peradaban tentu saja dibangun melalui berbagai tradisi yang secara kumulatif saling berkelindan, bahkan senantiasa berinteraksi dan merajut dialektika yang terus menerus.
Sampai pada tahap tertentu, bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara, berbagai budaya lokal, sedikit demi sedikit “dipengaruhi” oleh nilai-nilai ajaran Islam yang tentu saja diadaptasi oleh para penyebarnya melalui semangat Alquran. Berbagai ajaran moral yang bernuansa esoteris dari Alquran, sepertinya paling banyak divernakularisasikan oleh para penyebar Islam awal dengan kecenderungan terhadap warisan sufisme yang cukup kuat.
Suatu peradaban di belahan dunia mana pun, akan lebih mudah jika ditelusuri dari berbagai serakan warisan filologinya. Marshall GS Hodgson dalam “The Venture of Islam” juga tampaknya meyakini bahwa sebuah peradaban adalah apa yang terkandung dalam kesusasteraan dari sebuah bahasa tunggal atau dari sekelompok tunggal bahasa-bahasa yang saling berhubungan secara kultural.
Dengan demikian, kesusasteraan menempati posisi sangat penting dalam suatu kontruksi peradaban manusia, termasuk bagaimana peradaban Nusantara dibangun menelisik dari berbagai warisan filologinya, termasuk Alquran yang membawa semangat religius didalamnya.
Alquran tidak saja diyakini oleh umat muslim sebagai wahyu (kalam) ilahi yang sakral, tetapi juga kitab pedoman hidup yang tertulis, menyangkut didalamnya soal hubungan-hubungan sosial-politik, visi keumatan dan cita-cita moral-keagamaan yang universal. Nilai kesusasteraannya yang sedemikian agung, menyimpan dimensi “batin” yang sedikit banyak memiliki “kecocokan” dengan kehidupan masyarakat Nusantara.
Bukan tidak mungkin, orang-orang “suci” yang dianggap mewarisi tradisi yang agung—seperti para wali dan orang-orang saleh—merupakan figur-figur yang tampak menjalankan tindakan Islam secara batin dan meresap kedalam penggalan-penggalan tradisi Nusantara yang juga memiliki kedekatan dengan pandangan etika Islam.
Ajaran-ajaran Alquran yang dipahami oleh para penyebar Islam di Nusantara, yang pada awalnya dipahami secara “melangit” (istilah yang agak membingungkan walaupun maksudnya bahwa resepsi nilai-nilai Alquran dipahami secara pribadi dalam konteks kesempurnaan atau kesalehan pribadi pembacanya) lalu secara bertahap “dibumikan” secara dialektis dan menyerap kedalam tradisi-tradisi lokal.
Budaya yang sejatinya telah mengakar dalam masyarakat Nusantara sebelumnya dengan bercirikan pengaruh tradisi berpikir neoplatonisme dan Hindu, maka sangat mungkin wacana Alquran “dibumikan” oleh para penyebar Islam (wali) melalui cara-cara sufistik, atau dalam bahasa Azyumardi Azra, akulturasi dan asimilasi resepsi tradisi Islam ini disebut “neosufisme”.
Diakui maupun tidak, perkembangan Islam di Nusantara selalu saja diwarnai oleh kisah pengambilalihan kekuasaan politik—dari penguasa Majapahit oleh Demak—secara damai. Muncul ditengah-tengah kisah ini cerita-cerita keagungan para raja Jawa khususnya dan juga orang-orang sakti yang melegenda dalam hal perluasan agama Islam di Nusantara.
Para penyebar Islam di Nusantara, identik dengan para tokoh spiritual yang umumnya menyerap ajaran-ajaran Alquran dalam suasana tindakan batin. Bahkan, laporan dari HJ De Graaf dan TH Pigeaud masa pra-Islam di Nusantara ditemukan beberapa naskah filologi yang menekankan semangat perkembangan spiritual, mirip tradisi pemikiran sufisme yang diadaptasi dari wacana Alquran.
De Graaf menyebut naskah Tantu Panggelaran yang memuat keterangan-keterangan mengenai perkembangan spiritual dan keadaan sosial di pedalaman, di mana didalamnya dimuat cerita para wali yang lazim disebut orang-orang saleh atau guru-guru mistik di pedalaman kampung. Alam pikiran neoplatonisme dan Hindu—yang mungkin saja tradisi sufisme—merambah lebih jauh dalam perkembangan naskah filologi yang cukup dikenal, seperti Jatiswara dan Centini (Lihat, HJ De Graaf dan TH Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa).
Lebih menarik lagi, bahwa salah satu buku yang berjudul “Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647” yang diterjemahkan menjadi “Babad Tanah Jawi” memiliki kesan kesejarahan Islam yang kuat, bahkan mengangat Nabi Adam yang juga disebut sebagai manusia pertama dalam Alquran.
Tidak menutup kemungkinan, Alquran sangat berperan menumbuhkan satu peradaban mandiri yang saling kelindan dengan realitas tradisi yang hidup sebelumnya di Nusantara, bahkan, secara tidak langsung—sebagaimana pendapat De Graaf—Islam sedikit demi sedikit menggusur peradaban Hindu-Jawa kuno yang ditandai oleh keruntuhan peradaban Majapahit.
Peradaban Majapahit tentu saja tidak lenyap, namun sedikit demi sedikit diislamkan dan hasil dari resepsi Alquran dalam konteks peradabannya yang paling nyata, diterima berbagai istilah Arab yang masuk menjadi kosakata bahasa Indonesia, seperi “wakil”, “rakyat”, “musyawarah”, “gapura”, dan lainnya dimana istilah-istilah tersebut diambil dari bahasa Alquran.
Dialektika Alquran dengan budaya lokal secara terus menerus tampak semakin menarik, sebab, para misionaris Islam (baca: wali) tidak memandang Islam secara “Arabistik” atau juga tampak kearab-araban, seolah-olah mereka memahami dengan baik bahwa realitas sejarah Islam tidak semata-mata dibangun secara tunggal oleh tradisi-tradisi Arab. Mereka telah jauh memahami suatu peradaban bahkan melampaui wacana Quran itu sendiri, dimana soal “apa yang tak terpikir”, “apa yang dipikirkan”, dan “apa yang belum terpikir” dari suatu teks kitab suci selalu menjadi wacana dan tantangan moral bagi mereka.
Seperti menemukan kebenarannya, bahwa merekalah yang disebut pewaris para Nabi, menafsirulang ruang-ruang profetik melalui respon atas cara-cara “kejahiliyahan” yang dihapuskan karena dianggap berlawanan dengan Islam.