Sedang Membaca
Alquran Fiksi? Itu Polemik Lama
Syafiq Hasyim
Penulis Kolom

Pernah belajar (S3) di Freie Universität Berlin, Leiden University (S2) dan S1 di State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktif menulis dan memberikan ceramah/diskusi keagamaan, utamanya tema hukum Islam dan politik.

Alquran Fiksi? Itu Polemik Lama

Fiction dalam bahasa Arab diartikan khiyālun. Kata tersebut dalam bahasa Indonesia dimaknai tidak faktual, tidak nyata. Fictive dalam bahasa Arab diartikan dengan takhīliyun atau khayāliyun, yang berarti yang tidak nyata sebagai kata sifat.

Di dalam kalangan orang Arab, karya fiksi menujuk pada tulisan-tulisan Naguib Mahfouz, Nawal el-Sadawi dan juga dulu kita kenal dalam filsafat novel karya Ibnu Ṭufayl, Ḥayy ibnu Yaqẓan. Apakah di dalam Alquran ada unsur fiksi?

Muhammad Arkoun menulis dalam kitabnya al-Fikr al-Islāmī, Naqdun wa Ijtihādun, menggunakan baik istilah khayalun yang diterjemahkan dengan imagination dan uṣṭūrah yang semakna istilah Inggris myth. Dua istilah ini dipinjam dari kalangan antropologi yang digunakan untuk menganalisis soal pemaknaan atas kitab suci.

Dunia agama menganggap kitab suci mereka the sacred text, the divine text, atau kita kenal dengan wahyu, dan lain sebagainya. Menurut keyakinan wahyu bukan fiction, karena dari Tuhan.

Nabi dengan Alquran pernah dituduh oleh para musuhnya sebagai pembuat fiction, artinya Alquran bukan dari Tuhan. Namun Allah melalui Rasul tidak menghukum orang yang menyatakan itu, cukup Alquran menantang orang itu untuk membuktikan apakah dia bisa membuat hal yang sama.

Karena itu, ungkapan-ungkapan diskursif yang seperti itu dan sejenis itu harusnya tidak dijadikan sebagai alat untuk menuduh penistaan agama.

Baca juga:  Kisah Nabi dan Ali di Hari Idul Fitri: Sepotong Roti Basi

Marilah dari sekarang ini kita nyatakan bahwa kita tidak perlu pasal penistaan agama, hapuskan saja, pasal ini tidak bertuan. Baik partai pemerintah maupun partai oposisi bukan pemilik pasal ini. Keduanya bisa menggunakan dan keduanya bisa menjadi korban.

Blasphemy dan defamation bukan tradisi Islam, tinggalkan saja. Tradisi islam adalah polemik (jadālī) dan perang pemikiran (ghazwatul fikr). Tirulah al-Ghazali dan Ibnu Rushd atau Ibnu Taymiyyah dan lawan-lawannya.

Ingat kaidah ini dalam sejarah manapun, “Pemenjaraan mewariskan dendam, polemik mewariskan ilmu.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Rocky Gerung sepenuhnya benar, ada unsur fiksi dalam kitab suci, karena perdefinisi fiksi itu memacu imajinasi manusia tentang surga dan neraka. Tellos, istilah Rocky Gerung. Fiksi, beda dengan fiktif, yang artinya khayalan manusia….bisa salah karena tidak sesuai dengan fakta. Sedang fiksi tidak mungkin salah. Masa masa depan yang belum tiba dihakimi sebagai salah?Ahoker umumnya tidak paham…

Komentari

Scroll To Top