Dalam sebuah grup WhatsApp keluarga, seorang kerabat di Tanah Air menanyakan alamat rumah saya. Ia ingin mengirim paket. Saya kirim alamat rumah yang isinya: nama jalan dan nonor rumah. Dilengkapi kode pos dan nama kota.
Saat alamat terkirim, kerabat yang lain menanggapi dengan guyon, “Tak ada RT/RW ya?”
Alamat di negara-negara di Eropa memang ringkas. Cukup dengan nama jalan dan nomor rumah atau gedung. Baris kedua biasanya berisi kode pos dan nama kota. Kalau kiriman untuk luar negeri, nama negara ditambahkan pada baris terakhir.
Bila cuma dalam negeri, alamat cukup dua baris tulisan berisi: nama jalan, nomor rumah, kode pos, dan nama kota/desa tinggal. Itu sudah alamat lengkap. Dijamin tak bakal nyasar.
Menanggapi guyonan kerabat tersebut saya bilang, itu sudah alamat komplit. Tak bakalan ada yang sama atau tertukar. Kalaupun sama nama jalan, pasti beda kota atau kode pos. Demikian seterusnya. Dalam satu kota tak mungkin ada dua alamat sama persis yang bikin petugas pos bingung atau tertukar.
Kesimpelan alamat ini juga memudahkan pencarian. Buat orang asing sekalipun tak perlu uji nyali bila ingin pergi melancong mencari alamat yang dituju.
Orang yang suka linglung saat disodorkan peta dan paling mumet mencari mata angin macam saya juga berkurang beban hidupnya saat butuh mencari alamat.
Guyonan lain juga muncul menanggapi kiriman alamat rumah saya yang ringkas itu. Kerabat yang lain menimpali: RT = Rukun Tetangga. RW = Rukun Warga. Di sana warganya rukun-rukun. Gak perlu dibikin slogan RT/RW.
Bila dirunut dari sejarahnya, konon pembentukan RT dan RW di Indonesia merupakan peninggalan dari masa pendudukan Jepang. Dalam salah satu buku tentang sejarah nasional Indonesia, Sartono Kartodirdjo pernah menulis, saat menduduki Indonesia pada 1944 pemerintah militer Jepang langsung membentuk pemerintahan baru. Mereka membentuk unit-unit kecil yang nantinya akan menjadi perpanjangan tangan pemerintah Jepang.
Unit-unit tersebut dinamakan “Tonarigumi” (sekarang menjelma menjadi RT) dan “Azzazyokai” (RW). Pada masa itu Tonarigumi dan Azzazyokai terbukti efektif untuk mengkoordinir warga di kampung-kampung.
Pemerintah Jepang saat itu menggunakan unit-unit warga tersebut untuk pembentukan tentara-tentara rakyat yang nantinya digunakan untuk melawan tentara sekutu. Tonarigumi dan Azzazyokai juga dimaksudkan sebagai bentuk pengawasan dan pengendalian terhadap warga dari pemerintah pusat.
Model pemerintahan peninggalan Jepang ini nyatanya terus bertahan dan diadopsi oleh pemerintah Indonesia hingga kini. RT dan RW atau RK menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan di unit terkecil. Pada masa Orde Baru, sejalan dengan program ABRI Masuk Desa (AMD) dan Siskamling, peran dan fungsi RT dan RW hampir persis pada masa pendudukan Jepang.
Di era reformasi, saat pemerintahan sipil berdaulat, fungsi RT dan RW di Indonesia tampaknya menjadi lebih luwes. Menjadi sekadar perpanjangan birokrasi pemerintah di tingkat warga.
Menanggapi guyonan cerdas kerabat saya yang bilang warga Eropa sudah rukun dan guyub sehingga tak perlu ada RT/RW, saya cepat membalas, “Motong ongkos birokrasi juga. Kalau mau bikin KTP jadi langsung ke Walikota/Walidesa. Gak pake acara ngadep RT/RW sampe kelurahan!”.
Apa yang saya bilang itu bukan gurauan belaka. Sepengalaman saya hidup dan mengurus dokumen di tempat tinggal saat ini, segala sesuatu bisa diurus dengan ringkas dan cepat. Urusan lapor pindah alamat rumah, bikin akte lahir sampai paspor anak, cukup pergi ke balaikota setempat.
Saya hanya perlu datang menghadap petugas di balaikota dan dokumen yang diperlukan jadi saat itu juga. Lain cerita bila saya harus urus dokumen dari dan di Tanah Air. Kisahnya bisa seperti serial sinetron yang sambung-menyambung. Dari satu meja ke meja berikutnya. Berpindah dari satu kantor ke kantor lainnya. Entah kapan dan di mana akan berujung... (ATK)
jepang itu sudah lebih dari 50 tahun yang lalu, sedangkan indonesia saat ini masih menggunakannya.
di sini sudah agak terlihat bahwa indonesia tertinggal 50 tahun