Sosok KH Afifuddin Muhajir, biasa dipanggil Kyai Afif yang juga wakil pengasuh pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus Situondo, merupakan tokoh yang layak mendapatkan anugerah doctor honoris causa (Dr.Hc) dari UIN Walisongo Semarang. Menurut penulis, sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alasan mendasar atas kelayakannya itu, yakni konsistensi dan keluasan pengetahuan yang dimilikinya dan kontribusi Kyai Afif secara substantif terhadap Ma’had Aly.
Kyai Afif bukan hanya sebagai seorang kyai semata, tetapi juga ulama yang memiliki pengetahuan demikian dalam, terutama di bidang fiqh dan ushul fiqh. Meski dirinya tidak pernah mengenyam pendidikan baik di Timur Tengah maupun dunia Barat, kyai Afif menggeluti dinamika intelektualnya dengan berbasis khazanah kitab kuning (turats) pada dunia pondok pesantren. Belajar secara sungguh-sungguh dan totalitas menghantarkan dirinya sehingga telah berhasil melahirkan karya di bidang fiqh dan ushul fiqh. Di antara karyanya dengan berbahasa Arab adalah Fath al–Mujib al–Qarib, syarah terhadap kitab al-Taqrib karya Abu Syuja’ al-Ishfahani, dan al-Syari’ah al-Islamiyah bayn al- Tsabat wa al–Murunah, serta berbagai makalah yang telah dihasilkannya.
Kyai Afif telah menyadarkan kita semua bahwa hendaknya kita tidak hanya menguasai pendapat para fuqaha semata, tetapi juga perlu mengetahui bagaimana ijtihad dan metodologi berfikir para ulama mazhab, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik Imam Syafi`i, dan Imam Ahmad, sehingga menghasilkan produk pemikiran berupa fiqh. Menurut Kyai Afif, fiqh adalah tsamrat al–‘amal (hasil kerja), ushul fiqh adalah thariqat al–`amala (metode kerja) sedangkan ijtihad adalah nafs al-‘amal (pekerjaan itu sendiri). Fiqh merupakan hasil ijtihad sedangkan ushul fiqh adalah metode ijtihadnya.
Pada konsentrasi kajian, Kyai Afif telah memperkenalkan metodologi ushul fiqh sebagai instrumen dalam meletakkan isu demokrasi dan negara dari sumber-sumber literatur keislaman, kitab kuning, dengan sangat baik. Ia telah banyak membedah bagaimana relasi agama dengan negara, negara Pancasila, mekanisme pemilihan pemimpin dan lain-lain dari sudut pandang fikih dan usul fikih dengan demikian gamblang.
Dalam konteks ini, kemampuan Kyai Afif tidak hanya berkutat tentang bagaimana ia mencoba menyerderhanakan kaidah-kaidah usul fiqh yang rumit, tetapi juga memiliki konsistensi dalam menerapkan kaidah yang dipahami dalam mengurai persoalan keagamaan dan demokrasi yang bermunculan. Oleh karenanya, baginya, usul fikih bukan hanya ilmu hafalan tetapi juga ilmu terapan.
Kemampuan dan konsentrasi kajian yang digeluti oleh Kyai Afif, hemat penulis, merupakan wujud nyata dari semangat penyelenggaraan Ma’had Aly di tanah air. Ia telah berkontribusi secara signifikan dan sekaligus memberikan pengalaman baik (best practices) atas bagaimana substansi dari Ma’had Aly itu dimunculkan. Sosok seperti kyai Afif merupakan profil dari lulusan Ma’had Aly, yakni mutafqqih fiddin, ahli di bidang keislaman yang berkarakter keindonesiaan. Sosok seperti inilah yang dirindukan oleh bangsa Indonesia.
Melalui Peraturan Menteri Agama RI Nomor 71 tahun 2015 tentang Ma’had Aly, pemerintah merevitalisasi dan merekognisi layanan Ma’had Aly sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam tingkat tinggi yang berkarakter keindonesia. Layanan pada Ma’had Aly sudah seharusnya diperkuat secara signifikan. Kontribusi Ma’had Aly baik dalam konteks keindonesiaan maupun keumatan demikian tinggi. Bahkan, almarhum Prof. Nurcholish Madjid, cendekiawan Indonesia kenamaan yang biasa disapa Cak Nur, pernah menyatakan bahwa seandainya Indonesia tidak pernah dijajah oleh negara kolonial maka lembaga pendidikan dan perguruan tinggi yang akan berkembang dan dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah pondok pesantren dan Mahad Aly. Tentu, statemen Cak Nur ini merupakan fakta historis yang sekaligus menjadi afirmasi akademis bahwa Ma’had Aly merupakan institusi pendidikan Islam yang genuine Indonesia.
Pemikiran Kyai Afif dan eksistensi Ma’had Aly dalam menghadapi dinamika masyarakat dewasa ini mendapatkan peluang yang sangat tepat. Diakui, kini sedang terjadi fenomena secara vulgar yang mempertanyakan kembali terkait relasi Islam dan negara dalam konteks keindonesiaan. Faham dan pemikiran keislaman justeru dijadikan dasar untuk mempertanyakan keabsahan Pancasila sebagai dasar ideologi Indonesia. Bahkan, fenomena itu dilakukan dengan cara-cara ekstrim dan intoleran hingga ke upaya politis. Intoleransi dan ekstrimisme serta politisasi agama kian menggejala dan dapat disaksikan secara kasat mata. Problem ini perlu dijawab yang tidak hanya melalui upaya-upaya politik, tetapi justeru yang paling mendasar adalah upaya penyadaran dengan menyajikan kerangka berfikir akademis untuk mendudukkan relasi Islam dan negara dengan menjadikan khazanah keislaman Indonesia, kitab kuning serta tradisi pesantren dan Ma’had Aly, sebagai sumber pijakannya. Bagaimana kitab kuning itu difahami dengan seperangkat metodologi berfikirnya, sebagaimana ushul fiqh, itu direvitalisasi. Dalam konteks ini, sekali lagi, konsentrasi dan gagasan-gagasan Kyai Afif mendapatkan momentumnya yang tepat.
Gagasan Kyai Afif serta peran pesantren dan Ma’had Aly telah mampu mengkontekstualitasikan khazanah keislaman sebagai basis dalam menegaskan identitas keindonesiaan. Relasi antara agama dan negara telah didudukkan secara proporsional dan saling menguatkan. Islam menjadi sumber inspirasi dan memberikan penguatan terhadap ideologi kebangsaan. Komitmen kebangsaan menjadi indikator kuat akan kualitas keislaman seseorang. Bukan sebaliknya, Islam diperhadapkan dengan kebangsaan.
Tokoh dan ulama pesantren telah membuktikan komitmen relasi Islam dan negara itu. Fatwa yang dicetuskan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dalam Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 telah menempatkan militansi keislaman untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Fatwa Resolusi Jihad ini telah menggerakan ulama santri pesantren, terutama di Jawa Timur, untuk melawan agresi Militer Belanda yang akan merebut kemerdekaan Indonesia. Demikian juga, Konferensi Alim Ulama Nahdlatul Ulama Ketiga pada 1954 yang melahirkan pernyataan strategis terkait posisi kepemerintahan Indonesia dalam konteks kajian fiqh, yakni Presiden Soekarno sebagai Waliyy al Amr al-Daruri bi al-Syaukah.
Pernyataan alim ulama ini merupakan jawaban atas permintaan Presiden Soekarno terkait legalitas dirinya sebagai presiden dari pandangan syariat Islam. Sebab, pemberontakan bersenjata dari kelompok Islam politik yang dilakukan DI/TII demikian kuat. KH Masjkur, selaku Menteri Agama ketika itu, mengundang para ulama pesantren dari seluruh Indonesia untuk memberikan jawaban atas permintaan Presiden Soekarno. Dengan dinyatakannya Presiden Soekarno sebagai Waliyy al–Amr al–Daruri bi al–Syaukah yang berarti “pemegang otoritas yang bersifat sementara dengan kekuasaan penuh”, maka Presiden Soekarno diakui dan dikukuhkan dengan berlandaskan hukum fikih, yang pada gilirannya juga berdampak terhadap hilangnya perdebatan tentang tauliyah wali hakim.
Beberapa fatwa dan pernyataan ulama pesantren tersebut telah membuktikan bahwa kalangan pondok pesantren telah mampu menjadi peletak dasar keislaman yang sekaligus memperjuangkannya dalam membangun relasi Islam dan negara secara harmonis. Pemikiran dan kiprah Kyai Afif, sebagai bagian dari kyai pesantren, telah menjadi jembatan untuk melanjutkan komitmen pesantren dan Ma’had Aly di masa kini. Semoga, ini akan menjadi pemicu untuk melahirkan sosok Kyai Afif di masa kini dan akan datang.