Taiwan, “Negeri Formosa” itu, tengah giat menarik perhatian dunia. Bukan karena tidak lagi menawan (formosa), tapi karena tetap dan masih menawan sehingga butuh terus dikabarkan. Negara-negara di Asia, terutama di Asia Tenggara, perlu tahu itu.
Maka itu, Biro Wisata Taiwan sejak tiga tahun lalu gencar mempromosikan “wisata halal” yang mereka sebut dengan moslem friendly untuk disematkan di setiap resor wisata. Tagar #TimeforTaiwan dipasang di sarung kursi-sarung kursi kereta antarkota, di papan nama-papan nama, di gedung-gedung, hingga di tong sampah-tong sampah. Tagar itu juga diposting oleh para influencer dan wartawan dari berbagai negara yang diundang bertandang ke Taiwan, di akun-akun media sosial mereka.
Tempat-tempat wisata yang didatangi beragam dan berbeda untuk tiap “kelompok terbang” media/blogger yang diundang. Pada tahun 2019 ini, tiga kloter sudah datang ke Taiwan, dan alif.id masuk ke kloter ketiga. Dua kloter sebelumnya mengunjungi wilayah Barat dan Timur serta sedikit Utara, sedangkan kloter ketiga di wilayah Timur dan sedikit Utara. Ada satu-dua resor yang sama di antara tiga kloter, namun hampir semuanya adalah wisata alam.
“Kami sengaja tunjukkan spot-spot yang sangat jarang dikunjungi bahkan mungkin belum diketahui wisatawan mancanegara. Kalau wisata belanja, sudah biasa, ya,” tutur pemandu wisata kawakan yang disewa oleh Biro Wisata Taiwan di Indonesia, Nyoman Astapa Wiryawan. Ia beberapa kali mengatakannya sejak hari keberangkatan ke Taiwan dengan China Airlines, Minggu (22/7/2019). Tampaknya ia menekankan betul.
Informasi dari Nyoman diperkuat dengan buku panduan Taiwan Familiarization Tour for Indonesian Media yang berisi urutan perjalanan. Benar saja, hampir semua titik tujuan pelesiran adalah jenis wisata alam, ekowisata, wisata luar-ruang, wisata hijau. Kunjungan ke titik-titik wisata itu dilengkapi dengan beberapa kegiatan budaya seperti menikmati festival balon udara, memasak kue semprong, dan membuat lentera. Wisata kuliner tentu menjadi idaman dalam setiap acara “jalan-jalan”, yang kali ini menekankan pada wisata kuliner halal. Jadi bisa dikatakan, acara melancong bersama wartawan dan blogger Indonesia kali ini adalah paduan wisata alam dan budaya.
Nyoman merasa perlu menginformasikan sejak awal mengenai rute perjalanan ini, yang hampir semuanya di wilayah Taiwan bagian Timur. Sebab, setelah bertahun-tahun bolak-balik mengantar para wisatawan Indonesia ke Taiwan, ia mulai menyimpulkan, “Orang Indonesia lebih suka jalan-jalan di kota Taipei untuk belanja, meskipun banyak juga yang suka wisata alam dan budaya”.
Tidak ada yang aneh dengan wisata belanja ke Taiwan, tentu. Bisa jadi orang Indonesia berpikir, “Ngapain wisata alam ke Taiwan. Di Indonesia kan sudah lengkap dan tak kalah indahnya, mulai Bangka-Belitung hingga Raja Ampat, dari Derawan hingga Parangtritis, dari Danau Toba hingga Labuan Bajo”. Atau, mereka yang datang ke Taiwan memang tidak tertarik dengan wisata alam.
Akan tetapi, wisata alam tidak melulu hanya melihat keindahan pantai, laut, bukit, ngarai, dan lembah. Wisata alam –tentu saja– satu paket dengan wisata budaya. Sama belaka dengan wisata kuliner, yang di dalamnya terdapat keunikan dan kekhasan dalam cara menyajikan, cara mencampur bumbu dan bahan, hingga sejarah asal-usul makanan itu sendiri. Di setiap daerah di semua negara tidak akan pernah ada yang sama persis. Bukankah Kuta dan Uluwatu di Bali juga berbeda meski sama-sama pantai? Bukankah rendang dan steak sapi berbeda bumbu dan cara meski sama-sama masakan daging sapi?
Saya sepakat dengan Nyoman, juga Avida Nurhayati yang bekerja untuk Biro Wisata Taiwan di Taiwan, tentang upaya mengenalkan wisata luar ruangan ini kepada wisatawan mancanegara khususnya Asia Tenggara dan Indonesia di dalamnya. Apalagi penekanan mereka adalah wisata halal, yang memang digalakkan oleh pariwisata dunia sejak lima tahun lalu. Wisata halal dalam penekanan dunia pariwisata dibagi dua, yakni halal makanan dan halal lingkungan. Halal lingkungan ini seperti menyediakan tempat dan alat beribadah di hotel, tempat-tempat wisata, dan restoran (sajadah, petunjuk arah kiblat, keran wudu). Semua warga dunia berhak mendapatkan akses untuk beribadah selagi berwisata sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.
Bagaimana dengan “no bikini” di pantai? Hmmm apakah itu bagian dari wisata syariah? Bagaimana mau menyekat-nyekat pantai yang maha luas itu? Soal ini kita bahas lain kali, ya.
Sekilas Perjalanan
Saya merasa sudah memulai petualangan sejak di bandara Toyuan Taipei, saat disuguhi sebungkus kue kacang yang kriuk dan enak. Ini pertanda baik. Perjalanan berikutnya memang terbukti seru. Dari Taipei, kami menuju ke Taitung dengan pesawat UNI Air, makan di restoran halal milik Amir Syaikh, dan wisata kebun teh di Chulu Leisure Agricultural Area.
Hari ketiga, kami mengikuti Taiwan International Balloon Fiesta, lalu ke Mr Brown Avenue, The Tropicall of Cancer, makan di restoran dengan menu halal, dan ke Farglory Ocean Park. Hari keempat, kami mengunjungi Taroko Visitor Center setelah sebelumnya mampir sejenak di Starbucks Container di Hualien Bay. Setelah itu ke Taroko National Park, swallow grotto, dan Taroko Village Hotel.
Spot di hari kelima adalah Kili Bay bubble tea, makan nasi goreng halal di Riverside Inn, dan ekowisata di Toucheng Leisure Farm. Hari terakhir, Sabtu (27/7/2019) adalah menikmati pantai, ke i-ride Taipei, lalu ke Chiang Kai-shek Memorial Hall, dan berakhir di Ximending.
Hingga hari keenam atau terakhir, kami wartawan dan blogger dari beberapa media merasa gembira. Selain kami bisa menyenangkan diri sendiri, Avida dan Nyoman selalu memberikan kesempatan untuk wawancara dengan pihak-pihak terkait. Lelah yang menyenangkan, sejak dari bandara Toyuan, lalu ke Taitung, Hualien, Yilan, lalu kembali ke Taipei.
Boleh, gak, ya, kami mengklaim, bahwa kami telah menempuh setengah perjalanan dari 36.000 kilometer panjang pulau Taipei? “Oh iya, kita sudah menempuh separonya Taiwan,” tukas Avida. Sudah lumayan. Tapi, mengunjungi setengah Taiwan selama enam hari, apakah cukup? Mungkin belum, ya. Lain kali, barangkali bisa kita genapi (bersambung)