Sedang Membaca
Selaksa Warita di Sepanjang Jalan K.H. Subchi Parakan Temanggung
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id. Magister Kajian Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas. Menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Selaksa Warita di Sepanjang Jalan K.H. Subchi Parakan Temanggung

Whatsapp Image 2024 10 04 At 16.54.31

Jalan K.H. Subchi sepanjang sekitar 450 meter yang berlokasi di Kauman Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah telah merekam beragam kisah perjalanan warganya. Dalam konteks sejarah kebangsaan, kemanusiaan, keragaman, dan keberagamaan, sepotong jalan itu juga menyimpan banyak cerita. Bagi saya, jalan yang kini sangat riuh karena menjadi jalan pintas kendaraan antarkota dari arah Wonosobo menuju Temanggung (sejak adanya Google Map) adalah piranti memori masa kecil hingga remaja. Ya, itu karena saya lahir dan besar di sebuah rumah di Jalan K.H. Subchi, yang hingga kini masih menjadi tempat saya pulang.

Beberapa tonggak keramaian di sepanjang jalan itu di antaranya Masjid Jamik Al-Barokah Bambu Runcing; Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Mualimin; Taman Kanak-Kanak Masyitoh; Pondok Pesantren Zaidatul Maarif; dan kompleks Pondok Pesantren Kyai Parak. Nama-nama tempat itu memang menunjukkan ke-NU-an yang pekat. Saat remaja dan bersekolah di Temanggung, saya pernah ditanya guru, “Dulu sekolah TK di mana?” “TK Masyitoh,” sahut saya. “Oh, TK NU (Nahdlatul Ulama),” katanya.

Saya tidak akan menceritakan masa kecil yang riang dan harmonis di tanah kelahiran, karena kisahnya sangat banyak. Namun, ada poin-poin penting saya tulis terkait kehidupan beragama yang toleran, yang menjadi praktik baik bagaimana moderasi beragama berjalan secara alami tanpa harus diteorikan. Nilai-nilai moderasi itu tidak sebatas saling toleran antaragama dan intraagama (tasamuh), namun terdapat pelaksanaan musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat, ada kecintaan pada Tanah Air, muncul kepeloporan yang berkesinambungan, nir kekerasan, dan yang paling saya catat adalah ramah pada budaya. 

Pusat segala aktivitas keagamaan dan kemasyarakatan warga Kauman memang di Masjid Al-Barokah, yang menurut berbagai sumber dibangun pada tahun 1920. Tentu saja masjid itu bukan hanya milik orang kampung Kauman, tapi juga Karang Tengah, Jogomertan, Besaran, dan Coyudan. Kampung-kampung tersebut terhubung dengan Jalan K.H.Subchi. Jalan K.H Subchi membelah kampung Karang Tengah dan Kampung Kauman. Sisi kanan jalan (dari arah barat) masuk Karang Tengah, sedangkan sisi kiri atau sisi di mana masjid berada masuk Kauman.

Whatsapp Image 2024 10 04 At 16.54.30
Pemandangan Masjid Jamik Al-Barokah Bambu Runcing.

Di ujung Jalan KH.Subchi, kita akan menemui perempatan jalan. Jalan ke kanan dan ke kiri adalah Jalan Brigjen Katamso, sedangkan jalan lurus adalah Jalan Bambu Runcing. Jalan Bambu Runcing menghubungkan kampung-kampung pecinan di sisi kanan dan kirinya, dan tepat di ujung jalan adalah Klenteng Hok Tek  Tong. Sewaktu SD hingga SMP saya beberapa kali mengikuti senam taichi bersama ibu-ibu kampung yang dipandu oleh instruktur mumpuni di zaman itu.

Tidak sampai 50 meter dari masjid ke arah utara, terdapat kampung pecinan, yang di ujungnya terdapat vihara (saat ini vihara sudah pindah lokasi). Ketika saya kecil, tahun 80-an, saya beberapa kali melihat orang-orang Budha bersembahyang. Saya pun berteman dengan orang Cina di kampung itu. Kami kerap bermain bersama, memanjat pohon mangga, memetik mangga  dan langsung dimakan di lokasi dengan cara digigit setelah kulitnya dikupas pakai gigi. Kalau kami salah memilih mangga, yang ternyata masam, kami saling tunjuk saling menyalahkan sambil tertawa. Sayang, saya lupa nama teman Cina itu karena pertemanan kami hanya sebentar dan saat SMP saya aktif berkegiatan di sekolah.

Baca juga:  Sketsa Singkat Pangeran Diponegoro Sebagai Muslim Jawa

Saban tahun saat Ramadan, suasana Jalan K.H Subchi dan sekitarnya sangat riuh oleh berbagai kegiatan. Tidak hanya ritual ibadah, namun juga beragam kreativitas anak muda. Ada lomba menabuh beduk, pidato, membuat lampion, azan, cerdas cermat, dan membaca Al-Qur’an tartil. Ketika saya turut aktif di Remaja Masjid Bambu Runcing, kegiatan olahraga seperti voli dan bulu tangkis digalakkan. Jalan K.H. Subchi menjadi poros segala kegiatan, dengan masjid sebagai ikonnya.

Sejarah Mencatat

Siapa KH Subchi, informasinya sangat banyak di buku-buku dan media massa, dan sebagian di antaranya bisa dicari di internet. Ia adalah ulama dari Parakan, salah seorang penggagas bambu runcing yang disepuh sebagai senjata melawan tentara sekutu yang pada tahun 1945 masih bertahan di Indonesia. Sewaktu Masjid Al-Barokah Bambu Runcing dibangun pada tahun 1920, nama jalan sepanjang sekitar 450 meter itu adalah Jalan Masjid. Penggantian nama Jalan Masjid menjadi KH Subchi kemungkinan dilakukan pada tahun 1959, yakni setelah wafatnya pahlawan bangsa itu pada tanggal 6 April 1959.

Penegasan tentang penamaan jalan itu terdapat dalam Ensiklopedi Pemuka Agama Nusantara (2016) terbitan Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Di sana ditulis bahwa Kiai Subchi wafat pada hari Kamis tanggal 6 april 1959 dalam usia kurang lebih 109 tahun, dan dimakamkan di pemakaman Sekuncen, Parakan Kauman, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama jalan di Parakan, Temanggung.

Perihal wafatnya Kiai Subchi pada Kamis Legi tanggal 6 April 1959 (7 Syawal 1379) dalam usia 109 tahun, juga ditulis oleh Muhaiminan Gunardo (alm), pengasuh Pondok Pesantren Kiai Parak Parakan, dalam bukunya Bambu Runcing Parakan: Cuplikan Sejarah (1986). Kiai Subchi memiliki delapan putra/putri kandung dari istri pertama dan dua anak tiri dari istri kedua. Perlu dicatat, Kiai Subchi tidak berpoligami, karena ia menikah dengan istri keduanya yang janda dengan dua anak itu setelah istri pertamanya wafat. Kiai Subchi memang dikenal perkasa, bahkan dalam usia 90-an tahun masih sibuk mengurusi NU.

Tentu saya senang bisa lahir dan besar di tempat yang ternyata bersejarah, rumah saya hanya berjarak 25 meter dari masjid ke arah barat. Saat membaca buku Bambu Runcing Parakan: Cuplikan Sejarah, saya membayangkan suasana tahun 1945 di jalan itu. Pada tanggal 27 November 1945, Magelang diduduki tentara sekutu Inggris Gurga dan Nica. Pemerintah Kabupaten Temanggung menggelar rapat di pendopo Kawedanan Parakan bersama alim ulama yakni KR Sumomihardho (kakek Muhaiminan Gunardo), KH Subchi, KH Nawawi, KH Abdurrahman, KH Abu Amar, H Ridwan, Kiai Ali (cucu menantu KH Subchi), Kiai Sya’ban, Kiai Salim, dan Kiai Sahid Baydhowi, juga bersama tokoh-tokoh masyarakat.

Ulama dan para tokoh mengadakan beberapa kali rapat di Masjid Al-Barokah dan juga di rumah Kiai Ali yang terletak di seberang masjid, persisnya di timur sungai. Mereka memutuskan untuk membentuk Barisan Bambu Runcing atau resminya Barisan Muslimin Temanggung (BMT). Waktu itu di sisi timur rumah Kiai Ali terdapat dua gedung besar milik warga Cina yang pernah dipakai oleh Bah Teguh untuk memproduksi kue moho (sampai-sampai Bah Teguh disapa Bah Moho). Setelah semua penghuni rumah dan ahli waris pindah ke Jakarta, rumah pun kosong.

Baca juga:  Zainah Anwar, Aktivis dan Feminis Muslim Malaysia

Bangunan luas di Jalan Masjid milik warga Cina tersebut lantas digunakan untuk tempat penyepuhan bambu runcing karena rumah KR Sumomihardho tidak lagi dapat menampung banyaknya warga dari luar kota (dari Banten hingga Madura) yang hendak menyepuhkan bambu runcing untuk turut serta dalam pergerakan. Penyepuhan bambu yang ujungnya diruncingi itu memang tidak sembarangan, namun dengan ritual: dimulai dari pembukaan oleh Kiai Sahid Baydhowi, pembacaan Al-Qur’an oleh Kiai Istakhori, dan wejangan rohani oleh KH Subchi. Setelah itu, para santri makan sesendok nasi manis yang telah diberi doa oleh KH Abdurrahman, minum secangkir air yang diberi doa oleh Kiai Ali, dan bambu pun disepuh.

Kepala Desa Kauman Parakan, Sukarman Abdur Rohman bersedia bertanggung-jawab atas pemakaian rumah Bah Teguh, hingga akhirnya gedung itu ditetapkan sebagai markas BMT. Adapun rumah Kiai Ali pada perkembangan selanjutnya menjadi Pondok Pesantren Zaidatul Maarif.

Kemasyhuran KH Subchi sampai ke telinga pendiri NU, almukarrom KH Hasyim Asy’ari, yang berniat datang ke Parakan untuk memberi wejangan kepada BMT. Pengurus BMT pun bermusyawarah dan memutuskan, lebih baik BMT yang sowan dulu ke Hadratusy Syaikh di Tebuireng Jombang, diwakili oleh KH Subchi, KH Nawawi, Kiai Ali, dan Kiai Syahid Baydhowi. Sesampai di Tebuireng, perwakilan BMT diminta KH Hasyim Asy’ari untuk menyepuh bambu runcing. KH Sucbhi makin masyhur di Jawa Timur.

Sejumlah tokoh penting yang pernah bertandang ke Parakan dan diantar ke rumah KH Subchi di antaranya KH Saifuddin Zuhri, KH Wahid Hasyim, KH Masykur (Ketua Pusat Sabilillah), KH Zaenal Arifin (Ketua Chisbullah), dan Mr Wongsonegoro (Gubernur Jawa Tengah). Selain mereka, Jendral Sudirman juga pernah bertandang, juga Kol Nasir (ALRI), Mr Kasman Singodimejo (jaksa agung), Moh Rum, Ruslan Abdul Gani, dan masih banyak lagi.

Wartawan Amerika Serikat, George McTurnan Kahin, menulis dalam memoarnya Southeast Asia: A Testament (2003), bahwa ia pernah bertemu dengan KH Subchi. Mereka berbincang mengenai tatanan sosial, budaya, dan politik yang adil. Apakah gagasan sosialisme juga mewujud dalam tradisi pesantren itu. KH Subchi dikenal sebagai sosok kuat yang rendah hati, hingga meninggalnya dalam usia 109 tahun. Sebuah perjalanan yang panjang.

Tetap Menjadi Pusat Kegiatan 

Selaksa warita, berjuta-juta kisah, begitu banyak cerita, niscaya telah tercipta di sepenggal jalan itu, Jalan KH Subchi. Saya membayangkan para alim ulama dan pejuang kebangsaan berjalan lalu-lalang di jalan itu, menuju masjid, keluar masjid, masuk markas BMT, menenteng bambu runcing sepuhan, bersenda gurau, bahkan sekadar “nongkrong” di pinggir jalan sambil menyesap klobot berisi tembakau.

Baca juga:  Religiusitas Kang Jalal

Hingga kini pun, Jalan KH Subchi tetap menjalankan fungsinya sebagai jalan keberagaman. Sebuah amanah masa lalu yang tidak tertulis namun secara turun-temurun terus dijaga warganya. Masuk akal jika selalu ada kedamaian di sana. Ya, mungkin saya sedikit berlebihan mengingat saya adalah “akamsi”.

Jalan KH Subchi kini sangat riuh. Dulu ketika saya kecil, warga tidak perlu menutup jalan jika sedang berkegiatan, karena lalu-lintas cenderung sepi dan hanya warga sekitar yang melintas. Kami bahkan bisa bermain lompat tali dan sudamanda/engklek di pinggir jalan. Saat ini, bahkan untuk menyeberang jalan pun sulit, karena hampir semua kendaraan ke arah Temanggung memilih Jalan KH Subchi, sesuai petunjuk Google Map (di Google Map tertulis KH Subkhi), tidak lagi melewati Jalan Kosasih sebagai jalan utama yang jauh lebih lebar.

Whatsapp Image 2024 10 04 At 16.54.31 (1)
Kegiatan car free day yang dilakukan oleh warga.

Warga sekitar masjid saat ini harus menutup jalan atau sebagian jalan untuk kegiatan-kegiatan tertentu seperti “car free day”, lelayu, dan pengajian besar. Risiko bagi pengguna jalan jika perjalanan tersendat. Apalagi jalan itu memang tidak lebar dan banyak anak-anak berlalu-lalang karena ada sekolah dan pesantren. Bahkan tanpa ada kegiatan pun, Jalan KH Subchi tetap ramai karena banyaknya warga yang berjualan. Di sana ada depot buah; apotek; toko elektronik dan ponsel; kedai kopi single origin; toko suku cadang kendaraan bermotor; bengkel; toko sembako; toko pakaian; jasa fotokopi dan cetak; warung bakso, mi ayam, gorengan; toko alat tulis, dan warung makan.

Saya melihat Jalan KH Subchi tetap menjadi pusat “peradaban” bagi warga Kauman dan sekitarnya dengan adanya sekolah, masjid, pesantren, dan warung-warung. Misalnya, di jalan itu sejak tahun 2022 digelar Kampung Ramadan selama sebulan saat bulan Ramadan. Beragam jajanan dijual di sepanjang jalan oleh warga sekitar. Caranya, warga mendaftar ke panitia untuk dikurasi demi pemerataan jenis penganan. “Sudah tiga tahun diadakan, dan yang mendaftar makin banyak. Jualan UMKM di Kampung Ramadan ini dimaksudkan untuk pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan pendapatan warga dari sisi kuliner,” kata Badrud Tamam, panitia Kampung Ramadan.

Selain jualan penganan, kegiatan lain dalam Kampung Ramadan di antaranya tadarus, beberapa perlombaan, dan pentas seni. Menjelang Idul Fitri, digelar takbir keliling yang saban tahun makin meriah serta bekerjasama dengan pemerintah daerah. Takbir keliling di Parakan saat ini mirip dengan karnaval seni, dengan desain mode pakaian yang dibuat sangat serius serta hiasan mobil yang makin kreatif. Untuk takbir keliling, Jalan KH Subchi tidak lagi dilewati karena terlalu sempit, dan beralih ke Jalan Kosasih.

Jalan KH Subchi menjadi saksi, dulu hingga kini, bagaimana Islam rahmatan lil alamin dipraktikkan warga sekitar. Bagaimana Islam yang wasathiyyah dijalankan. Dulu banyak sekali kiai menjadi panutan, sekarang pun muncul kiai-kiai muda yang mudah-mudahan tetap menjadi penjaga nilai-nilai Islam yang moderat.

Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top