Beberapa laki-laki paruh baya menarikan legu-legu atau tari payung di depan sasadu, rumah adat suku Sahu, di Halmahera Barat, Maluku Utara. Gerakan mereka berputar-putar diiringi kendang dan gong. Beberapa perempuan masuk dalam lingkaran lalu turut menari bersama.
Tari payung yang pada zaman dulu merupakan tarian penyambutan untuk Sultan Jailolo dan Sultan Ternate itu ditampilkan sebelum acara orom sasadu atau makan bersama di rumah adat sasadu, Kamis (5/5), di Kecamatan Sahu Timur, Halmahera Barat. Semua orang bergembira. Orang kaya dan miskin melebur jadi satu. Umat Islam dan Kristen berbaur. Etnis mana pun berpadu. Mereka makan bersama sebagai simbol persaudaraan di sasadu.
Para pendatang dan tamu silakan bergabung, asal mematuhi syarat. Laki-laki wajib memakai peci dan perempuan mengenakan kain serta selendang. Soaldress code ini, kata Ketua Adat Suku Sahu Titus Djaga, ada maknanya. Peci, yang jadi simbol kaum Muslim, dikenakan semua orang guna menghormati sultan. ”Jadi, meski kami suku Sahu mayoritas beragama Kristen, 60 persen, kami mengenakan peci saat orom sasadu atau upacara adat lain,” katanya.
Ajaran keberagaman itu telah menyatu di suku Sahu, yang mendiami 28 desa di Kecamatan Sahu, Sahu Timur, dan sebagian Jailolo. Orom sasadu jadi semacam perayaan kebahagiaan di rumah adat yang kerap dimanfaatkan untuk pertemuan adat dan penyelesaian konflik. Artinya, orom sasadu adalah simbol kebersamaan dan kerukunan.
Orom sasadu biasanya digelar pada Agustus-September seusai panen padi gogo. Orom sasadu yang digelar pekan lalu merupakan semacam ”rekayasa” untuk merevitalisasi tradisi, menjadi bagian dari acara Festival Teluk Jailolo, 2-7 Mei 2016.
Sasadu yang ada di Sahu Timur adalah satu-satunya sasadu berusia ratusan tahun yang masih bertahan kendati telah beberapa kali direnovasi. Seperti lazimnya rumah-rumah adat di Nusantara, dinding sasadu terbuat dari kayu dan bambu. Atapnya terbuat dari daun sagu. ”Atap di bagian tengah menjulang tinggi, lalu makin rendah ke bawah. Artinya, setiap orang yang masuk harus merunduk, tidak boleh angkuh,” kata Camat Sahu Timur Yafet Ejanu.
Suara tetabuhan berhenti. Titus dan Yafet mempersilakan semua orang yang telah duduk manis di sasadu untuk makan, ”Jou…. jou…. (silakan makan).” Kaum ibu duduk di sisi kanan dan para bapak di sebelah kiri. Tudung saji dibuka. Hmmm…, ada nasi jaha atau ketan dengan lauk ikan dan daging sapi yang dimasak lezat, lengkap dengan sambal roa.
Halmahera Barat dan Maluku Utara, secara lebih luas, begitu kaya akan kearifan lokal yang mewujud dalam tradisi lisan, arsitektur tradisional, seperti sasadu, dan kulinernya.
Maluku sebagai daerah yang kaya rempah, seperti cengkeh dan pala, memiliki sejarah yang panjang. Tak terbilang buku sejarah yang menyebut empat kerajaan besar di Maluku atau Jazirah Al-Mamluk seperti disebut para pedagang Arab, yakni Jailolo, Bacan, Ternate, dan Tidore. Keempat kerajaan itu menjalin persaudaraan dalam falsafah Moluku Kie Raha atau penguasa empat gunung. Kie berarti gunung, raha berarti empat(Adnan Amal: Sejarah Kepulauan Rempah-rempah, 2010).
Masuk akal jika empat kerajaan besar di jalur rempah ini menjadi kekuatan besar, menyimpan segudang tradisi dan kearifan lokal tentang keberagaman dan kerukunan. Membicarakan sasadu saja bisa sangat panjang. Suku Sahu pada masa Kesultanan Ternate, sesudah Sultan Mansyur Malamo, terbagi menjadi dua kelompok: tala’i dan padisua. Tala’i merujuk pada mereka yang datang menghadap sultan untuk memeluk Islam. Pasidua adalah mereka yang dipanggil, tetapi tidak menghadap, dan tetap memeluk agama nenek moyang. Tidak masalah. Sasadu tetap milik bersama karena tidak ada perbedaan kebudayaan di antara mereka (M Ruslam Dasim: Majalah Kora-Kora, Balai Pelestarian Cagar Budaya Ternate, 2015).
Tradisi lisan
Tradisi lisan di jalur rempah menyimpan banyak kearifan lokal kendati kini mulai memunah. Dalam buku Pemetaan Tradisi Lisan Kawasan Moloku Kie Raha terbitan Pusat Studi Lingkungan Universitas Khairun Ternate (2015), tradisi lisan dibahas dengan lengkap, mulai sastra hingga seni pertunjukannya.
Ada satu tradisi yang terkait dengan sasadu di suku Sahu, yakni Mai’o. Mai’o ini adalah seorang penutur yang melagukan syair untuk mengiringi pertunjukan di sasadu. Mai’o juga ditampilkan di acara pernikahan, kelahiran, kematian, dan pengangkatan kepala desa.
Syair-syairnya menyesuaikan dengan acara. Syair Mai’o pada upacara kematian, misalnya, E e e le le donia fo bau bato ne. E e e le le sorga ngone na due ne(hidup di dunia hanya sementara, surga dan akhirat milik kita selamanya). Adapun syair Mai’o dalam upacara pernikahan: eee tike ri masabi ri, eee. Kari gate Sara moi ne, e e e (mencari pasangan hidup harus dengan hati agar bisa hidup bersama-sama).
Sungguh baik betul petuah dalam tradisi. Begitu banyak pesan kerukunan dan keberagaman yang menyatukan. Pesan ini juga termuat dalam tradisi-tradisi di daerah lain, seperti yang diteliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta, Kementerian Agama.
Para peneliti menyelami tradisi mendongeng Warahan di Lampung, ritual Akikah di Betawi, ritual Panjang Mulud di Banten, tembang/sastra lisan Petatah-petitih di Cirebon (Jawa Barat), sastra lisan Tadud di Pagar Alam (Sumatera Selatan), ritual Pasambahan (Sumatera Barat), tembang Beluk di Bandung (Jawa Barat), dan seni pertunjukan Mendu di Natuna (Kepulauan Riau).
Agama dan budaya tidaklah terpisah. Resepsi agama dalam budaya tampak jelas melalui tradisi di Nusantara. Agama diterima melalui tradisi setempat. ”Penelitian memperkuat argumentasi bahwa dari dulu masyarakat tidak mempersoalkan perbedaan,” kata Agus Iswanto, peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.
Kebudayaan menjadi kunci jawaban berbagai kekerasan yang melanda dunia dalam segala bentuk. Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid prihatin dengan makin dilupakannya kearifan lokal, nilai-nilai dan perilaku hidup dalam tradisi masyarakat Nusantara.
”Kita makin saling terasing satu sama lain. Nilai-nilai lokalitas makin hilang, diganti nilai- nilai baru sehingga membuat masa lalu menjadi makin terasa jauh. Masyarakat dunia juga pusing dengan terorisme dan kekerasan. Namun, mereka sadar, kuncinya adalah kebudayaan,” ujar Hilmar. (Dimuat di Kompas tanggal 11 Mei 2016)