Tidak perlu mengunduh aplikasi tertentu untuk mengukur polusi udara dengan Air Quality Index (AQI) di Taitung, satu kota di Taiwan bagian Timur-Selatan yang menghadap ke Samudera Pasifik. Cukup membuka mata, hidung, dan telinga. Langit bersih, udara segar meski panas, dan jalan raya tidak bising. Tampaknya, sih, kota ini sehat. Saatnya membuat jus pucuk daun teh rasa prem dicampur madu. Keunikan rasanya sudah terbayang.
Waktu tempuh dari kota Taipei ke Taitung sekitar tujuh-delapan jam melalui darat dengan mengendarai mobil, atau empat–lima jam dengan kereta, atau satu jam melalui jalur udara dengan pesawat kecil. Kami rombongan wartawan dan blogger Indonesia yang sudah merencanakan jauh hari untuk melancong ke Taitung, memilih untuk naik pesawat.
Bukan karena mau sekadar enak dan cepat, tapi karena kami punya rencana lain bersama Biro Wisata Taiwan (Taiwan Tourism Bureau, TTB) untuk mengeksplorasi wilayah Taiwan bagian Timur. Berangkat naik pesawat dulu, selanjutnya kami menyusuri jalan di jalur Timur selama lima hari dengan bus kecil, sekaligus mencicil jalan pulang. Dengan begitu, kami bisa berhenti cukup lama di sejumlah tempat menarik di antara Taitung dan Taipei, menginap di satu desa, lalu melanjutkan perjalanan.
Sesampai di Taitung pada 23/7/2019, kami disambut hawa musim panas yang membuat kening seketika berkeringat. Bau pantai segera tercium. Posisi bandara memang tidak jauh dari pantai, dan setelah makan siang di restoran e-Taiwan milik Haji Amir Syaikh yang berasal dari Pakistan, kami mampir beberapa menit di pelabuhan Fugang untuk melihat sedikit geliat aktivitas para pekerja pelabuhan yang kulit putihnya sudah berubah coklat seksi.
Petik Teh Untuk Jus
Untuk merasakan efek kejut buat diri sendiri, saya biasanya tidak menanyakan rencana kegiatan terlalu detail. Ketika pemandu wisata yang bekerja untuk TTB, Avida Nurhayati, memberi informasi tentang wisata hijau ke kebun teh, saya hanya manggut-manggut, belum mau bertanya lebih jauh. Sedetik saya merasa apatis. Apa istimewanya memetik teh? Bukankah Indonesia memiliki perkebunan teh besar di Gunung Mas Bogor, misalnya, yang memproduksi teh Walini? Banyak dataran tinggi di sejumlah daerah di Indonesia sangat cocok untuk tumbuh-kembang tanaman teh.
Namun detik berikutnya saya justru bersemangat, membayangkan wajah-wajah pemetik teh, olahan teh mereka, dan secangkir teh Cina yang diseduh langsung di sumbernya. Sesampai di Agro Wisata Chulu, ternyata bayangan saya justru kalah indah. Kegiatan di Chulu tidak terasa menyedot menit bahkan jam, dan kami merasa masih kurang. Kami diminta memakai kostum pemetik teh, lalu memetik pucuk-pucuk daun teh, mencuci hasil petikan, memblendernya, mencampur air perasan teh dengan madu serta cuka prem (plum), lalu menyesapnya setelah dicemplungi es. Hmmm satu gelas tidak bakal cukup.
Setelah membuat jus teh prem, kami belajar membuat kue semprong teh yang renyah. Adonan sudah disiapkan, jadi kami tinggal menggoyang loyang, meletakkan satu sendok sayur adonan ke dalam wajan dadar, lalu membolak-balik hingga dadar menguning. Dadaran lalu digulung seperti semprong.
Agro Wisata Chulu Taitung seluas 600 hektar dikelola oleh pasangan suami-istri Hsu Ying Ge (62) dan Chen Li Hsue (53) sejak enam tahun lalu. Pemilik kebun teh adalah sejumlah petani yang kemudian bersepakat untuk membentuk semacam koperasi untuk memasarkan produk teh mereka. Koperasi lantas membangun agro wisata berupa kebun teh, peternakan sapi, tanaman herbal, dan kebun raya alam. Bahasa Inggrisnya, Chulu Agro Farm.
Sejak enam tahun lalu, agro wisata ini mengembangkan diri dengan membuka kelas pengolahan hasil-hasil pertanian, utamanya teh, untuk menarik pengunjung datang. Kreativitas ini muncul atas peran anak-anak para petani termasuk anak Yin Ge dan Li Hsue. “Generasi ketiga ini harus dijaga, supaya mau mengurus kebun,” kata Li Hsue, yang kemudian mengangkat anaknya menjadi manajer dengan gaji besar agar tidak bekerja di kota.
Pemerintah punya andil juga, yakni memberikan pelatihan pengelolaan tempat wisata, misalnya cara menyambut tamu dan melayani tamu dengan efektif dan efisien, seiring jumlah tamu yang kian ramai saban bulan. Kegiatan yang ditawarkan berbeda-beda setiap musim, menyesuaikan dengan tanaman dan buah-buahan yang tumbuh di musim tertentu. Seperti musim panas saat ini, terong sedang mekar dengan bagusnya, dan buah semangka serta nanas sedang manis-manisnya. Buah srikaya pun sedang banyak-banyaknya.
Inovasi dan kreativitas menjadi kunci jika ingin bertahan di dunia usaha wisata agro. Kalau cuma acara memetik teh saja, ya kurang menarik, apalagi jika hanya bisa menonton petani memetik teh. Rasanya kurang interaktif dan kurang sentuhan pengalaman personal.
Orang-orang yang bekerja di Agro Wisata Chulu, terutama anak-anak mudanya, makin paham mengelola bisnis ini. Dulu para pemilik kebun teh hanya bisa memasuk teh saja ke pabrik teh, itu pun sendiri-sendiri. Ada juga yang mengolah teh sendiri, namun, ya, sendiri. Sejak enam tahun lalu, mereka sudah membentuk koperasi, sehingga para pemilik kebun teh bisa bekerjasama, bahkan saling berbagi tamu, berbagi rezeki.
“Sekarang pengunjung makin banyak. Dalam setahun ada sekitar 6000 pengunjung, dan terutama datang saat akhir pekan. Kami mematok minimal 10 orang untuk satu grup. Sebelum kalian datang, tadi ada dua bus datang, isinya 40 orang per bus. Ya hari ini cukup ramai,” papar Li Hsue.
Setelah puas bermain-main dengan teh, kami diajak mampir ke toko moci dan es krim milik keluarga. Yaaay…. dapat es krim gratis, boleh pilih mau rasa buah srikaya atau teh hijau.
Puaslah kami siang itu bermain-main dengan teh. Memetik teh, minum teh, menyesap es krim teh, mengudap kue semprong teh, dan tidak lupa membeli teh untuk oleh-oleh. Sampai jumpa lagi Chulu…