Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id. Magister Kajian Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas. Menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Masjid Menara Kudus: Wajah Islam Nusantara nan Elok

  • Masjid yang didirikan oleh Ja'far Shodiq atau Sunan Kudus pada 1549 Masehi ini menjadi oase bagi para peziarah. Mereka berdoa di makam Sunan Kudus yang sewaktu hidup dikenal sebagai ahli fikih dan penasihat Kasultanan Demak.

Coba sambangi Masjid Menara Kudus di Jalan Menara Kabupaten Kudus, di luar hari besar Islam. Komplek masjid seluas 2,400 meter persegi (dengan luas masjid 846 meter persegi) itu nyaris tak pernah sepi. Maka dapat dibayangkan riuhnya areal masjid saat menjelang Ramadan hingga Idul Fitri atau 1 Muharam.

Para musafir, pelancong, dan peziarah datang dari berbagai daerah di Indonesia, berbus-bus. Bak gerombolan burung manyar yang bermigrasi, kompak.

Masjid yang didirikan oleh Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus pada 1549 Masehi itu memang menjadi oase bagi para peziarah. Mereka berdoa di makam Sunan Kudus yang sewaktu hidup dikenal sebagai ahli fikih dan penasihat Kasultanan Demak.

Masjid Menara Kudus. (Foto: Andi Erik)

Mereka juga menengok makam empat dari delapan anak Sunan Kudus, yakni Panembahan Palembang, Panembahan Makaos, Pangeran Pancaswati (menantu), dan Pangeran Sujoko. Empat putra Sunan Kudus yang lain tidak dimakamkan di kompleks itu.

Para peziarah umumnya ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui makam Sunan Kudus, sekaligus ngalap berkah (mencari berkah), dan –tentu saja– salat di masjidnya. Banyak jamaah yang ingin menaiki menara setinggi 17,45 meter itu, dan berdoa di puncaknya. Namun, menara yang bentuknya mirip dengan Candi Jago, pemakaman Raja Wisnuwardhana (didirikan pada 1275–1300 M) di dekat Malang Jatim itu kini ditutup untuk umum.

Baca juga:  Masjid Bintang Mas, Perpaduan Arsitektur Dua Kultur
Foto: Andi Erik

Para peziarah dan jamaah masjid, menurut Haidar Bagir, yang datang itu niscaya tengah mempraktekkan irfan (tasawuf teoritis), bahwa budaya lebih berpeluang memiliki tempat yang sakral dalam keberagamaan. Tuhan dipercaya sebagai wujud transenden yang ber-tajalli atau bermanifestasi dalam ciptaan-ciptaannya. Maka, menghayati budaya merupakan sumber pengetahuan dan penghayatan terhadap agama itu sendiri.

Inilah praktik keberagamaan di masjid yang menjadi simbol Islam Nusantara, termasuk upacara Buka Luwur atau penggantian kelambu jungkup makam Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Khadiri (Mantingan). Buka Luwur dilakukan saban 1 Muharam (membuka kelambu) dan 10 Muharam (mengganti kelambu).

Foto: Andi Erik

Hindu-Islam
Jika Talibanisme pernah menghancurkan patung Buddha di daerah Bamiyan Afganistan, dan ISIS memusuhi manifestasi budaya lokal, Sunan Kudus jelas memandang agama sebagai penghargaan pada budaya sebagai sumber kearifan. Banyak cerita tentang upaya Sunan Kudus, istilah Gus Dur mempribumisasikan Islam. Misalnya ketika Sunan Kudus menciptakan tembang Gending Maskumambang dan Mijil yang sastrawi itu.

Foto: Andi Erik

Unsur Hindu pada Masjid Menara Kudus secara kasat mata bisa dilihat dari arsitekturnya, yakni menara, gapura-gapura di kompleks masjid, pendopo-pendopo makam, dan tembok penutup kompleks yang berdinding batu bata menyerupai candi. Atap tumpang bertingkat tiga yang menutupi masjid makin memperjelas unsur Hindu itu, yang kemudian diterjemahkan sebagai simbol iman, Islam, dan ihsan.

Baca juga:  Teknologi Suara: Mengingat Hamka hingga Gus Dur

Tempat wudu dengan delapan keran air sama belaka dengan filosofi kepercayaan Budha, bahwa manusia harus melalui delapan jalur kebenaran jika ingin berhasil dalam kehidupan, atau astasanghikamarga. Delapan jalur itu meliputi pengetahuan, keputusan, perkataan, perbuatan, cara penghidupan, daya usaha, meditasi, dan kontemplasi.

Foto: Andi Erik

Arsitektur memiliki bahasanya sendiri. Arsitektur adalah sebuah ekspresi tentang pemikiran, kepercayaan, dan aspirasi manusia. Profesor Arkeologi Asia Barat Universitas London MEL Mallowan, menyebut bahwa di dalam arsitektur Islam ditemukan gagasan, emosi, dan rasa puitis yang secara hidup dibalut oleh keindahan bangunannya.
Mallowan menujukan kalimatnya untuk arsitektur Islam di Jazirah Arab dan Timur Tengah, tapi sejatinya ungkapan itu pas disematkan di Indonesia.

Menara Masjid Kudus bisa dikatakan satu dari sekian menara masjid yang paling khas di Indonesia. Menara yang dibangun pada 1685 Masehi itu berupa tumpukan batu bata merah tanpa semen dan dibagi menjadi tiga bagian, yakni kaki, badan, dan puncak.

Foto: Andi Erik

Profesor Soetjipto Wirjosuprapto dalam bukunya Sejarah Menara Masjid Kudus mengatakan, kaki menara berbentuk bujur sangkar itu sesuai dengan bentuk candi pada masa pra-Islam. Perpaduan Hindu dan Islam terlihat pada ukiran dindingnya, yang bertingkat empat, dan diartikan sebagai syariat, tarikat, ma’rifat, dan hakikat. Di bagian dalam menara terdapat tangga kayu jati yang berangka tahun 1313 H atau 1895 M.

Baca juga:  Sejarah Masjid Istiqlal: Simbol Kemerdekaan dan Politik

Pada pintu makam Sunan Kudus terukir kalimat al-asma al-husna dan tahun angka Jawa 1895 atau 1296 Hijriah atau 1878 Masehi. Bentuk nisannya sama dengan nisan-nisan di makam wali di Demak. Pada tiang-tiang tajug terdapat angka tahun 1145 H atau 1732 M, sedangkan pada gapura di depan makam tertulis angka 1216 H. Perbedaan tahun ini jelas menunjukkan waktu membangun yang tidak sekaligus atau bertahap.

Foto: Andi Erik

Gapura menjadi kekhasan lain, memisahkan ruang-ruang. Di serambi depan terdapat gapura Kori Agung yang bentuknya mirip candi Bajang Ratu di Jatim. Gapura-gapura lainnya adalah gapura Lawang Kembar, gapura berbentuk Candi Bentar, juga gapura beratap tak berpintu. (Nurhidayati: Masjid Sebagai Identitas Sebuah Kota. Skripsi Jurusan Arsitektur UI, 2001).

Foto: Andi Erik

Sejak pertengahan 60-an, masjid kuno ini beberapa kali dipugar, termasuk melapisi puncak masjid (mustaka) seberat 320 gram dengan emas 24 karat. Kompleks Masjid Menara Kudus tak hanya menjadi ikon Kudus, tapi juga simbol Islam Nusantara, menyatukan umat yang datang dengan tujuan berbeda-beda.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top