Program penggarapan video dengan tajuk “Rihlah Rohani bareng Ulil Abshar Abdalla” dalam payung besar “Moderasi Beragama di Indonesia” yang digarap alif.id bekerjasama dengan Kementerian Agama RI menyasar pula komunitas penghayat kepercayaan yang selama ini marjinal. Setelah menyambangi Lasem dengan penekanan akulturasi budaya, kami selanjutnya menengok kehidupan kaum penghayat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, pada 1—3 Desember 2021.
Mengapa Sunda Wiwitan? Mengapa Cigugur? Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan dengan penganut terbanyak di Jawa Barat atau tatar Sunda dan Komunitas Warga Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Cigugur hingga saat ini masih diperlakukan secara marjinal, baik oleh pemerintah daerah maupun “kelompok agama” yang tidak menginginkan keberadaannya. Hingga saat ini, pengajuan status masyarakat hukum adat dari AKUR masih ditolak oleh pemerintah Kabupaten Kuningan. Padahal, status masyarakat hukum adat sangat penting untuk eksistensi dan keberlangsungan Sunda Wiwitan Cigugur, saat ini maupun di masa depan.
Narasi “Moderasi Beragama di Indonesia” yang diusung Kemenag dan diwujudkan melalui sejumlah program, perlu mengangkat tema ini, bagaimana penganut Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha mampu berinteraksi secara harmonis dengan para penghayat kepercayaan. Alif.id menekankan eksplorasi pada interaksi sosial komunitas Sunda Wiwitan dengan kaum muslimin di Cigugur, bagaimana seharusnya Islam berharmoni dengan kepercayaan lokal dan menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada.
Kami bertemu dengan Pangeran Djatikusuma di Pasenban AKUR di Cigugur, yang saat ini tengah sakit sehingga tidak mampu berbicara dengan jelas. Kami juga berbincang dengan tiga anak Pangeran Djatikusumah, yaitu Djuwita Djatikusumah Putri dan Ammy Ratna Gumilang Damiasih, Okky Satrio Djati. Sebelumnya, masyarakat Sunda Wiwitan menggelar ritual adat kematian selama tujuh hari berturut-turut dan didatangi oleh sejumlah warga dengan agama berbeda.
Selengkapnya lihat video ini:
Membaca Naskah Madrais
Kami menemui Ammy Ratna Gumilang yang kemudian menunjukkan puluhan ribu lembar naskah kuno yang ditulis oleh Pangeran Sadewa Madrais Alibassa Koesoema Widjaya Ningrat, pencetus ajaran Sunda Wiwitan, dalam aksara Cacarakan. Tuntunan Sunda Wiwitan menyentuh pada hal yang sangat mendasar, yaitu ngarasa (merasakan), rumasa (menyadari), tumarima (menerima) papasten (takdir) dari Yang Maha Kuasa.
Madrais adalah putra Pangeran Alibassa dari Kepangeranan Gebang dan R. Kastewi keturunan Tumenggung Jayadipura yang lahir pada tahun 1832. Pada1869, Madrais melawan Belanda di Tambun Bekasi. Madrais sempat menghilang dan dikabarkan wafat. Padahal, ia bertapa di Kramat Candana dan mendapat pencerahan untuk mengubah strategi melawan Belanda, dengan gerakan budaya yang menggugah kesadaran kebangsaan dan kemanusiaan. Madrais terus menuliskan tuntunan kehidupan sampai akhir hayatnya pada tahun 1939.
Selama 20 tahun lebih menerjemahkan seratan Pangeran Madrais, Ammy sering takjub dengan pemikiran kakek buyutnya itu. Banyak ajaran Pangeran Madrais yang relevan dengan kondisi negara saat ini. Bahkan, ada tuntunannya yang selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Salah satunya, Sila 4 Pancasila.
Menurut Zaki, tokoh Nahdlatul Ulama di Kuningan, selama ini nahdliyyin selalu hidup rukun dengan para penganut Sunda Wiwitan, bahkan siap membela jika terjadi huru-hara. Ajaran kemanusiaan Sunda Wiwitan tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam. Soal teologi, itu urusan masing-masing, tidak boleh ada pemaksaan dalam agama. “Jadi, buat apa memusuhi. Mari bertoleransi dengan sesama manusia, apa pun agamanya,” kata Zaki.