H minus satu hajatan kolaboratif Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama (NU) Belanda dan Alif.Id, “Pameran Foto Masjid Nusantara: Wajah Islam di Indonesia”. Kurasi tahap akhir belum tuntas. Bingkai foto belum tersedia. Dua kekurangan cukup vital itu mengakibatkan foto-foto –tentulah– belum bisa dipasang. Masih ada waktu untuk mengusahakan sisa kebutuhan, sambil menunggu kurator Aminuddin “Ucok” TH Siregar, perupa kontroversial dari Institut Teknologi Bandung yang tengah merampungkan disertasinya di Universitas Leiden, tiba.
Gusar, tidak juga. Deg-degan, bahkan tidak sempat terpikir. Namun, jelas kami harus sibuk. Keputusan tentang bingkai sudah final: pakai styrofoam. Foto ditempel di styrofoam yang keras yang cukup tebal, bukan dipasang di pigura berkaca. Keputusan itu mempertimbangkan “asas kecepatan dan ketersediaan”. Sebab, pigura dengan ukuran yang sesuai dengan ukuran foto tercetak, tidak tersedia di Nijmegen. Pergi ke IKEA akan menyedot jam, plus panitia juga semuanya sibuk menyiapkan “Konferesi Internasional Dua Tahunan Kedua Islam Moderat di Indonesia”, sepekan mendatang. Oke, styrofoam segera dicari di Nijmegen Centrum.
H-1 itu berarti tanggal 11 Juni 2019. Penanggung-jawab pameran, K. Sa’diyah-Broersma, biasa disapa Mbak Yus, boleh dibilang menjadi orang yang paling sibuk, sampai-sampai jarang banget tersenyum, setidaknya sejak kami lihat pertama kali di rumahnya pada H-2 (meski akhirnya kami bisa menikmati senyum lebarnya setelah pembukaan pameran).
Mbak Yus ini tipikal orang yang “structured” sehingga segala hal harus beres secepat mungkin sesuai rencana. Memilih Mbak Yus sebagai penanggung-jawab pameran dan konferensi sangatlah tepat, untuk mengimbangi teman-teman NU yang cenderung santai (bukan lamban, lho, ya, he-he-he). Saya, Hamzah Sahal, dan Elik Ragil dari Alif.Id sebagai bagian dari penyelenggara pameran, buru-buru menepis jet lag dan langsung bekerja. Lelah badan pun hampir-hampir tidak terasa. Kantuk? Entah raib ke mana…?
Kurasi tahap akhir sebetulnya tidak lagi rumit, yakni memilih 30-an foto dari lima puluh foto masjid yang kami bawa dari Jakarta. Lima puluh foto yang kami bawa adalah hasil kurasi tahap pertama dan kedua. Tahap pertama adalah memilih puluhan foto dari ratusan foto 25 masjid tua di Indonesia yang kami miliki, hasil bidikan sejumlah fotografer pada medio tahun 2017.
Kurasi tahap pertama ini boleh dibilang cukup melelahkan, bukan karena lamanya waktu untuk memilih tapi karena sulitnya memilih yang terlayak dari yang semuanya layak. Foto-foto itu boleh dikatakan bagus semua. Memilih dan memilah foto-foto ini jadi seperti menjawab soal pilihan ganda matapelajaran Pendidikan Pancasila: memilih jawaban yang paling tepat dari semua pilihan yang sebetulnya tidak salah.
Akan tetapi, Elik Ragil sebagai penanggungjawab foto sudah memiliki patokan untuk memilih foto, yang ia bagi dalam zonasi (terlintas zonasi sekolah? Hehehe). Zona luar masjid meliputi halaman, menara, kubah, kolam, jam matahari, penentu kiblat. Zona serambi masjid meliputi pananda waktu salat, beduk, pintu masjid, kuburan. Zona bagian dalam masjid meliputi soko, langit-langit, tempat imam, dan aktivitas (salat, membaca Alquran, berdoa). Zona berikutnya adalah sudut pandang lanskap atawa birds eye view. Zonasi ini sekaligus dibutuhkan untuk memahami alur pameran serta memahami konsep pameran mengenai harmoni dan toleransi dalam Islam melalui wajah masjid Nusantara.
Dengan membagi ke dalam zona-zona, mudah bagi Elik (dibantu Hamzah dan saya) untuk membuang foto yang kurang cocok dan kurang “nyambung” dengan foto lain, dikaitkan dengan tema pameran yakni The Face of Islam in Indonesia. Puluhan foto yang tersaring meliputi foto-foto Masjid Baiturrahman Aceh, Masjid Ganting Padang, Masjid Agung Banten, Masjid Istiqlal Jakarta, Masjid Mantingan Jepara, Masjid Agung Demak, Masjid Menara Kudus, Masjid Rambitan Lombok, Masjid Sultan Suriansyah Banjarmasin, Masjid Agung Sumenep, Masjid Gede Mataram Yogyakarta, Masjid Tambakberas, Masjid Cipari Garut, Masjid Tegalsari Ponorogo, dan Masjid Sunan Ampel Surabaya.
Puluhan foto masjid pun dipilih, tiga pekan sebelum berangkat ke Belanda, pas Bulan Ramadan. Kami kemudian mengobrol melalui Whatsapp dengan panitia di Belanda, utamanya Mbak Yus, yang kemudian memilih 50-an foto dari 70-an foto yang kami setor. Ini kami sebut sebagai kurasi tahap kedua. Untuk langsung memilih 30 foto rasanya agak riskan. Mendingan membawa lebih banyak. Siapa tahu bisa terpajang semua, jika tempatnya memungkinkan.
“Jangan lupa menyiapkan narasinya, ya,” pesan Mbak Yus.
Berangkaaaat…….
Kurasi Tahap Ketiga
H minus satu. Mbak Yus menghubungi Ucok, agar segera menuju aula utama Universitas Radboud, lokasi pameran. Namun, sebelumnya harap mampir dulu ke toko untuk membeli styrofoam, perekat kertas yang superrekat, gunting, dan printilan (barang-barang kecil) kebutuhan yang Ucok pasti sudah tahu sendiri.
Ucok dengan rambut kriwilnya yang sebahu, kacamata tebal, dan celana “semi-cutbray” pun datang siang. “Kopi mana?” katanya. Aha, Ucok betul, kerja musti diawali dengan secangkir kopi. Untung kami sudah menyesapnya, dua cangkir bahkan, pagi menjelang siang tadi.
Sambil ngopi, Ucok mulai melihat-lihat foto. “Ini dahsyat….Ini dahsyat….”, katanya. Tentu kami senang bukan kepalang. Bagi Ucok, masjid-masjid dengan gaya arsitektur kuat seperti itu hanya ada di Indonesia, sangat khas dan sulit dicari tandingannya. Mungkin juga fotografi telah membuat masjid menjadi lebih bernyawa, apalagi jika sudut pandangnya tidak sebatas membidik bangunan tapi manusia dengan segala aktvitasnya di dalam maupun seputaran masjid. Belum lagi ditambah suasana pagi yang cerah atau petang yang merah. “Keren ini foto-fotonya,” kata Ucok lagi.
Kegiatan selanjutnya dapat ditebak. Kami mulai memotong-motong styrofoam untuk bingkai foto, menempel, dan memasang. Selain foto-foto masjid, ada juga beberapa foto koleksi Museum Bronbeek Arnhem di antaranya rehal, jimat, dan bakiak. Dinding yang dipakai untuk pameran berbentuk U, dan koleksi dari Museum Bronbeek menempati satu bagian dinding.
“Ini tidak bisa semuanya ya 50 foto. Yang prioritas yang mana nih?” tanya Ucok. “Ini tidak, sepertinya,” sambung Ucok sambil menyingkirkan satu foto. Kami pun makin tenggelam dalam keasyikan memilih, menempel, dan memasang foto-foto.
Jam tangan sudah menunjuk angka 8 malam. Petugas keamanan kampus mondar-mandir mengecek pintu-pintu. Kami diberi waktu hingga jam 10 malam. “Cukup, kelaaar,” kata Ucok, optimistis. Lagipula, jam 10 malam saat musim panas yang tidak panas itu di Belanda, sama saja dengan sore, belum maghrib juga, dan langit masih cukup terang. Tik …tok…tik…tok.. Tidak ada pekerjaan yang tidak selesai, jika diselesaikan.
Akan tetapi……. Pemasangan total 40 foto itu ternyata meminta waktu lebih. Narasi atau keterangan foto (caption) belum dipasang, sehingga terpaksa ditempel pada Hari H. Beruntung pameran dibuka pada sore hari, sehingga masih ada waktu beberapa jam. “Tidak semua foto harus pakai narasi ya? Ada beberapa foto yang dibiarkan tanpa caption. Biarkan pengunjung berimajinasi. Yang ini nih, gak perlu,” kata Ucok menunjuk satu foto detail arsitektur masjid. “Lagian, aku tahu narasi yang ini memang belum diprint kan?” Ia terkekeh sambil menunjukkan email. Kami jadi tersipu malu.
Pembukaan Pameran
Mbak Yus memimpin pembukaan pameran. Tidak ada kata sambutan sama sekali seperti lazimnya pembukaan pameran di Galeri Nasional Indonesia Jakarta. Mbak Yus langsung “menggiring” tamu-tamu undangan untuk mencermati foto satu demi satu sambil ia menerangkannya sementara sejumlah tamu membaca keterangan foto.
Pameran foto dihadiri oleh Direktur Eksekutif Universitas Radboud, Daniel Wigboldus, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Din Wahid, Ketua PCI NU Belanda Ibnu Fikri (yang saat ini sudah digantikan oleh M Latif Fauzi), beberapa orang dari KBRI Den Haaq, sejumlah pengurus PCI NU Belanda, dan sejumlah pengunjung umum. Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin juga menengok pameran foto ini pada pembukaan Konferensi Internasional Islam Moderat: Mencari Jalan Tengah (Al-Wasathiyya) Islam Moderat di Indonesia pada tanggal 18 Juni 2019.
Daniel Wigboldus dan Din Wahid menyampaikan impresinya seusai berkeliling melihat semua foto. Wigboldus merasa gembira bisa melihat masjid-masjid tua yang dibangun sejak abad ke-15 itu, meski hanya melalui foto. Baru pertama kali itulah ia melihat foto masjid dari tangan pertama (cetakan fotografer langsung), bukan dari internet.
Ada yang menggelitik ketika saya memberikan kenang-kenangan foto Masjid Ganting Padang kepada Wigboldus. Saya menerangkan bahwa Masjid Ganting yang dibangun pada tahun 1805 (selesai pada tahun 1810) itu pernah dua kali diterpa gempa bumi namun tetap kokoh bediri.
“Itu terjadi bukan karena mukjizat, tapi memang karena bangunannya kuat, meski masjidnya tua,” kata saya, berusaha menerangkan dengan logis. Apa sahutan Wigboldus? “Oh, tapi saya suka mukjizat”. Ia tertawa, lalu sedetik kemudian melanjutkan, “Tapi saya juga suka kekuatan”, sambil megepalkan tangan lalu menepuk lengan saya tipis-tipis. Wah, bagaimana mungkin pipi saya tidak memerah?
Din Wahid menerangkan sesuatu yang menurut saya penting bagi bukti validnya Islam Nusantara yang harmonis dan toleran. Ia menunjukkan betapa masjid-masjid di Indonesia, khususnya masjid-masjid tua yang saat ini pun masih berdiri tegak, sama sekali berbeda dengan masjid-masjid di Timur Tengah dan Arab. Semua masjid dibangun selain menyesuaikan dengan iklim tropis juga tidak menampik pengaruh budaya para pendatang (China, India, Arab) yang dipadukan dengan kearifan lokal. “Masjid-masjid itu valid, dan Islam di Indonesia itu, ya, valid,” tegasnya.
Rasanya bangga kami bisa menunjukkan sebagian wajah Islam di Indonesia kepada publik di Belanda, di lingkungan akademis seperti kampus. Dalam hati saya mengharapkan munculnya keinginan pengunjung pameran untuk meneliti lebih jauh masjid-masjid Nusantara dari berbagai perspektif, dan juga meneliti Islam ramah di Indonesia. Islamophobia, no. Sebagian wajah Islam yang lain, yang orang beranggapan “cukup menyeramkan”, buat apa kami tunjukkan, toh beritanya sudah tersebar di internet lewat media massa daring maupun media sosial.
Pameran foto berakhir berbarengan dengan berakhirnya konferensi internasional. Lantas, foto-foto itu, untuk siapa? Kami mempersilakan panitia untuk membaginya. Untuk para dosen Radboud, misalnya, pengurus PCI NU Belanda, mahasiswa-mahasiswa yang tertarik, untuk siapa saja, silakan.
Kami menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada PCI NU Belanda dan Universitas Radboud Nijmegen yang telah memberikan kesempatan kepada Alif.Id untuk berpameran di Belanda. Terima kasih tak terhingga juga kami alamatkan kepada Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang mendukung kegiatan Alif.Id dalam kaitannya dengan diplomasi budaya antara Indonesia dan Belanda. Tak lupa kami haturkan terima kasih tak terhingga kepada Budi Darmawan bersama Djarum Foundation yang telah menyokong kampanye Islam Nusantara, tidak hanya di negeri sendiri namun juga di “negeri orang”.
Kepada Fachrizal Afandi, Ibnu Fikri, Muhammad Latif Fauzi, Muhammad As’ad, Farabi, dan Abi, terima kasih atas keramahtamahanmu. Kepada Martin Slama dan Shohib Masykur, terima kasih telah menjadi gaet yang aktif dan ramah selama kami melancong ke Wina Austria pascapameran. Terima kasih pula kepada Founder Islami.Co Savic Ali, yang telah merelakan krunya, Elik Ragil, cuti dari Islami.Co selama sepuluh hari untuk turut serta dalam perjalanan Alif.Id.
Terakhir namun tidak mengakhirkan (tidak kurang pentingnya), terima kasih kepada para fotografer yang telah memotret masjid-masjid Nusantara dengan cantiknya, selain Elik Ragil ada juga Andi Erik dan sejumlah fotografer. Insyallah Alif.Id berkesempatan untuk kembali memotret masjid-masjid dan pesantren-pesantren keren di Indonesia dan berkesempatan pula untuk memamerkannya, baik untuk publik dalam negeri maupun luar negeri. Amin ya Robbal alamin….
Terima kasih. Ini berjasa besar bagi peradaban.