Sedang Membaca
Sekolah, Kenakalan dan Memanusiakan Manusia
Supriansyah
Penulis Kolom

Penggiat isu-isu kedamaian dan sosial di Kindai Institute Banjarmasin

Sekolah, Kenakalan dan Memanusiakan Manusia

353b3360 C303 4c21 9be4 48971cba25b2

Isu penghapusan Ujian Nasional (UN) sedang ramai diperbincangkan dari media arus utama hingga media sosial. Perdebatan dari menyoal urgensi hingga konsekuensi dihapuskan UN dari sistem pendidikan nasional Indonesia. Di saat yang hampir bersamaan, ada satu film India yang naik layar tahun ini bagus ditonton oleh seluruh stakeholder dunia pendidikan, seperti sekolah, guru, murid hingga orang tua, “Chhichhore” adalah judul dari film tersebut. Hikayat yang diangkat film ini berisikan kritik, renungan hingga dekonstruksi terhadap diksi paling kerap didengar setiap ujian, yaitu kesuksesan atau kegagalan.

Film yang berdurasi 143 menit menampilkan mayoritas masa kuliah seorang ayah bernama Aniruddh Pathak, yang dipanggil Anni, di kampus National College of Technology, Bombay. Tidak seperti film soal sekolah atau kuliah lain, film ini mengambil sudut yang jarang diekplorasi semasa sekolah atau kuliah. Yaitu, fabel tentang kejailan, kebandelan hingga keusilan masa kuliah, terutama cerita Anni dan persahabatannya dengan beberapa orang yang mendiami asrama paling terbelakang hingga dijuluki sebagai sarang “Pecundang”.

Anni adalah seorang pengusaha sukses dan mantan istrinya, Maya, sama-sama lulusan berprestasi dari kampus terkenal. Fakta tersebut yang kemudian menempatkan anak mereka, Raghav, merasa tertekan dan ketakutan saat melihat hasil pengumuman ujian masuk kampus, kemudian dia mencoba bunuh diri karena takut disebut “pecundang”. Dinamika film Chhichhore dimulai sejak  masuk rumah sakit, Anni menceritakan berapa “pecundang” dirinya pada masa awal di kampus karena masuk asrama sarang tersebut.

Film ini menghadirkan lima tokoh selain Anni sekeluarga, yaitu Sexa, Acid, Mummy, Bevda dan Derek. Mereka berkumpul karena sebuah peristiwa yang menyakitkan bagi Anni dan Maya, yaitu Raghav, anak mereka berdua, loncat dari apartemen mereka setelah tidak bisa menerima kabar kegagalannya masuk di kampus ternama di India, di sinilah film bermula.

Baca juga:  Pedro Paramo, Realisme Magis, dan Soal Agama Amerika Latin

Ikatan dan kedekatan yang kuat bukan dibangun atas kesamaan hobi atau level sosial dan kecerdasan, tapi rasa kekeluargaan tersebut dibangun dari rasa kesamaan nasib dianggap lemah dan pecundang. Titik balik kelompok Anni bukan saat mencoba melawan stigma tersebut, tapi upaya mereka membuktikan keinginan mereka melakukan yang terbaik lewat perjuangan di sebuah event olahraga antar asrama dengan segala daya upaya, termasuk kelicikan dan kejailan mereka.

Walau banyak halangan dan kesusahan sepanjang mengejar target juara, mereka belajar bahwa perjalanan tersebut telah dijalani bersama dalam kebahagian. Arkian, mereka sadar bahwa bukan soal sukses atau tidak, menang atau kalah, tapi bagaimana menjalani hidup dengan kebahagian atas apa yang ada di depan kehidupan mereka.

Sekolah = Masa Depan

Kritik paling dominan dalam kisah Raghav, Anni, Maya dan seluruh teman “pecundang” lainnya sebagai sebuah keluarga, terkonsentrasi pada tiga diksi, yaitu masa depan, kerja dan kesuksesan. Asumsi tentang sekolah atau kampus sebagai penentu kesuksesan atau masa depan yang berkembang di masyarakat dunia seakan coba dinegosiasikan ulang atau malah didekonstruksi. Sebab, asumsi tersebut yang dibangun lewat imajinasi dan disokong lewat data-data yang ditampilkan dalam brosur atau iklan kampus.

Jualan masa depan seakan telah diterima sebagai sebuah kelaziman yang tak terbantahkan di dunia pendidikan. Kata “terdidik” seakan menjadi mantra ajaib yang mampu mengubah nasib seseorang dari kondisinya sekarang atau mempertahankan kemapanan yang telah dinikmatinya sejak kecil. Imajinasi tersebut terus dipertahankan dengan menciptakan rasa ketidakamanan, yaitu kehilangan kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak, memanusiakan dan membebaskan.

Baca juga:  Sifat Uang dan Kekuasaan

Paulo Freire asal Brasil yang menginginkan pendidikan yang memanusiakan, yaitu pendidikan setara yang mampu menyiapkan manusia tahan terhadap setiap masalah yang dihadapinya. Sekolah atau Kampus tidak boleh “menjual” masa depan dengan memunculkan anggapan “solusi” lewat pendidikan, karena nilai dan kelulusan bukan nilai ukuran kesuksesan sesorang. Sebab, Freire menilai pendidikan seharusnya menawarkan ilmu pengetahuan sebagai upaya mengenali kehidupan dan dikembangkan sebagai penunjang nalar seseorang dalam memahami dan melihat realitas dirinya dan lingkungannya.

Film, India dan Dunia Pendidikan Indonesia

Aktivitas produksi film dari industri film India dalam tema pendidikan di beberapa tahun terakhir, menarik untuk ditelisik. Beberapa judul film yang layak ditonton bercerita tentang dunia pendidikan di India, dari paling sukses yaitu 3 Idiot (2006), Why Cheat India (2016), Hindi Medium (2017) hingga yang terbaru di tahun 2019 ini yaitu Super 30 dan Chhichhore.

Sebenarnya ada beberapa judul lagi selain film di atas yang juga bercerita tentang pendidikan, tapi lima film di atas masih senafas dengan dinamika dan memberikan sudut pandang baru untuk dunia pendidikan di Indonesia. Bersama Super 30 dan Chhichhore di tahun 2019 yang menarasikan kondisi pendidikan di India, judul-judul film diatas juga menohok kondisi pendidikan Indonesia.

Seperti dari Hindi Medium dan Super 30, film ini mengkritik keras bagaimana model “sekolah unggulan” baik swasta dan negeri hanya dikuasai oleh kebanyakan orang yang mampu. Baik yang mampu “membeli” bangku, dengan bisa membayar masuk sekolah mahal, atau yang mampu “membeli usaha masuk” dengan dapat membayar kursus yang terbaik walau harganya melangit.

Baca juga:  Bagaimana Sebaiknya Muslim Kita Membaca Corona, Uighur, dan Xinjiang

Film Chhichhore malah menampilkan sekolah sebagai sebuah tempat dengan segala cerita kebandelan dan kebahagian, bukan wadah untuk mengukur kemampuan otak dengan segala kerumitan ujian belaka. Kondisi tersebut akhirnya menjebak siswa atau mahasiswa hidup dalam perlombaan lari dan ditakuti dengan kegagalan, dan siapa yang menang akan berjaya di hidupnya dan siapa yang gagal maka akan menjadi “pecundang”.

Jika dihubungkan dengan kondisi pendidikan di Indonesia, film Chhichhore membeberakan hal yang paling diagungkan oleh dunia pendidikan yaitu peringkat. Rangking di sekolah masuk dalam pelbagai perbincangan dari pemangku kepentingan, seperti anggota dewan, menteri, kepala hingga orang tua siswa yang sekarang masih berdebat, walau UN sudah diputuskan dihapus, bagaimana pola kelulusan sisiwa yang sesuai.

Terlepas dari perdebatan tersebut masih di lingkaran politik tingkat atas, yang tidak boleh dilupakan adalah peringkat atau rangking yang ada sekarang rentan mencerabut sekolah dari fungsi awalnya, yaitu memanusiakan manusia. Sekolah mulai harus menanamkan model pertemanan yang setara dan bebas dari perundungan antar siswa, diantaranya berbagai pembagian kelas berdasarkan unggulan atau tidak, stigma kelompok siswa non-unggulan dan lain-lain. Jika gagal keluar dari persoalan ini, maka sekolah di Indonesia hanya memproduksi atau memperteguh kesenjangan di masyarakat belaka. (RM)

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin

 

Data Film

Sutradara                : Sitesh Niwari

Produser                 : Sajid Nadiadwala

Pemain                 : Sushant Singh Rajput, Shraddha Kapoor, Varun Sharma, Tahir Raj Bhasin, Tushar Pandey, Naveen Polishetty dan Saharsh Shukla

Bahasa                   : India

Distributor              : Fox Stard Studios

Durasi                    : 143 menit

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top