Setiap menjelang atau sudah memasuki bulan Ramadan, ada beberapa dialog atau mema bernada lucu sekaligus meledek tentang berbuka puasa bersama. Satu dialog lucu yang paling saya ingat: “Jika merencanakan buka puasa pertama, ramai di awal terus semakin alot dan diakhiri dengan kegagalan.”
Mungkin tidak saja bulan Ramadan yang cukup menyedot perhatian dan respon warganet. Tidak hanya soal berbuka, sebagaimana cerita di atas, namun beragam hal turut meramaikan linimasa, caption, cuitan hingga kolom komentar. Kita mungkin salah satu pelakunya yang menjejali akun media sosial dengan beragam konten terkait Ramadan.
Sebelum masuk bulan Ramadan saja, saya sudah mendapatkan berbagai pesan lewat Whatsapp group terkait bulan Puasa, dari niat Puasa, doa Berbuka, jadwal Imsakiyyah hingga permohonan maaf. Jelas hal ini sudah lumrah dan mungkin tidak saja sekali bahkan bisa berkali-kali mendapatkan pesan yang sama, terutama bagi warganet yang memiliki banyak lingkaran pertemanan.
Dinamika media sosial dan bulan Ramadan terus semakin berkembang dalam setiap tahunnya. Serasa baru kemarin, ayah atau kakak kita yang menggunakan media pesan teks singkat atau SMS untuk mengirim pesan hari raya Idul Fitri. Gen-Z dan sedikit kalangan Milenial yang masih sempat merasakan suasana tersebut.
Jelas bagi kita yang sekarang cukup aktif memakai media sosial tentu menghasilkan artikulasi berbeda, lebih dari sekedar berkirim pesan bahkan layanan jejaring sosial memiliki interaksi tersendiri terhadap bulan Ramadan, dari berbagi jadwal imsakiyah, resep menu berbuka, undangan berbuka puasa hingga aneka ucapan terkait Ramadan.
Sebagimana kita sudah mafhum bersama, sekarang media sosial tidak lagi digunakan sebagai media informasi, namun di saat yang bersamaan kita juga menggunakannya untuk sekedar hiburan, seperti bermain Tik Tok atau hanya sekedar membuka Youtube. Tentu menarik ditelisik bagaimana interaksi masyarakat Banjar, terutama kelas menengah, gen-Z dan milenial, dalam merapal berbagai dinamika bulan suci bagi umat Islam ini di media sosial.
Sebelum ke sana, kita menelisik perbedaan tipe pemakaian media sosial di setiap tingkat generasi, dalam penelitian yang dilakukan oleh Alvara Institute.
Masyarakat dari tiga kelas sosial tersebut di masyarakat Banjar tidak sedikitpun ragu untuk menampilkan simbol-simbol Islam, termasuk dalam dinamika bulan Ramadan. Media sosial adalah corong yang dianggap paling tepat untuk menampilkan model keberislaman mereka. Noorhaidi Hasan menyebut kondisi ini sebagai gentrifikasi atau kenaikan status dari kalangan kelas menengah. Namun, model keberislaman yang ditampilkan masyarakat Banjar di media sosial lebih banyak duplikasi dari berbagai model-model keislaman yang sudah ada sebelumnya di tanah Jawa, atau sudah lebih populer di media sosial, seperti gerakan One Day One Juz, Karantina Menghapal Al-Qur’an hingga mendengarkan ceramah moral ala Hijrah.
Tadarusan Al-Qur’an tidak lagi begitu ramai di masjid atau langgar seperti dulu hingga akhir 2000an, sekarang sudah tergantikan dengan setoran mengaji Al-Qur’an via grup-grup Whatsapp yang menduplikasi dari model gerakan One Day One Juz. Pesantren Ramadan yang sering diadakan kelompok muda masjid juga mulai tersaingi dengan model Karantina Hafiz Al-Qur’an.
Kehadiran media sosial sebagai lahan pendedahan informasi keagamaan berefek pada model transmisi pengetahuan tradisional, yang masih rigid dan kaku akan cenderung lebih ditinggalkan atau minimal dimodifikasi
Mungkin hanya tradisi Bagarakan Sahur yang masih bisa bertahan walau mungkin sedikit tersaingi oleh Tahajjud Reminder ala kalangan Hijrah sekarang. Mungkin disebabkan anak-anak diperbolehkan mengganggu tidur orang dewasa selama satu bulan, sebuah perilaku yang bisa dikatakan jahat jika dilakukan di luar bulan Ramadan. Bagarakan Sahur biasanya dilakukan oleh sekelompok anak-anak umuran sekolah dasar hingga menengah, dan biasanya diketuai oleh satu atau beberapa orang dewasa. Mereka hanya berkeliling kampung atau gang sekitar RT atau RW mereka untuk membangunkan masyarakat untuk bersantap sahur, sembari memukul-mukul botol kaca, kaleng bekas atau benda apapun yang bisa mengeluarkan suara yang keras.
Bagi sebagian orang mungkin ini sangatlah menganggu terutama bagi mereka yang memiliki anak kecil atau bayi, namun bagi mereka yang melakukannya seringkali memunculkan kebahagiaan tersendiri karena bisa melakukan keributan yang selama ini dianggap tabu di mana mereka tinggal.
Di tengah era media sosial, tradisi ini masih cukup bertahan hingga sekarang karena masih dianggap berguna menjaga masyarakat tidak terlalu terlelap dalam tidur. Tradisi ini sempat diperlombakan dulu hingga beberapa tahun lalu, namun masih bisa bertahan di gang-gang sempit di perkotaan hingga kampung-kampung hingga sekarang.
Beberapa ritual keagamaan dalam Ramadan mungkin banyak yang bergeser dengan kehadiran media sosial, namun tradisi seperti Bagarakan Sahur masih bisa bertahan hingga sekarang walau mungkin di perumahan elit sudah mulai dihilangkan atau tergantikan dengan reminder-reminder yang kembali menggunakan aplikasi pesan singkat, seperti Whatsapp.
Ramadan bagi masyarakat Banjar tidaklah sama dari tahun ke tahun, tidak saja tradisi yang berubah namun juga ritual-ritual lainnya juga sering bergeser dari model yang lalu. Kelas menengah cukup banyak berperan dalam penataan ulang terhadap ritual dan tradisi dalam Ramadan. Bagai berbuka puasa tidak lagi hadir dalam perjumpaan belaka, namun juga muncul dalam berbagai laman media sosial sebagai bagian dari eksistensi atau endorse tempat makan yang elit. Begitulah Ramadan sekarang termasuk di masyarakat Banjar.