Sedang Membaca
Islam di Banjar (5): Baju Koko dan Komodifikasi Islam Lainnya
Supriansyah
Penulis Kolom

Penggiat isu-isu kedamaian dan sosial di Kindai Institute Banjarmasin

Islam di Banjar (5): Baju Koko dan Komodifikasi Islam Lainnya

Img 20200430 Wa0001

Sebuah papan toko di bilangan kota Banjarmasin pernah menyentak perhatian saya. Plang toko tersebut bertuliskan toko menjual pakaian muslim laki-laki namun dalam bahasa Inggris. Dari luar saya melihat toko tersebut memajang di etalase depan beberapa potong baju koko, sebutan populer untuk pakaian laki-laki muslim. Tidak saja menjual baju, toko tersebut juga menjajakan beberapa produk pakaian muslim lainnya namun tetap mempertahankan atau mengadaptasi model keren, seperti celana cingkrang, sweeter, kaos dan lain-lain.

Kondisi di atas tidak lagi garib di Banjarmasin dan sekitarnya, saya dengan mudah menemukan sekian banyak toko dan pedagang daring berjualan produk pakaian muslim. Media sosial turut meramaikan dinamika pakaian muslim ini, dengan berbagai penawaran yang berseliweran di linimasa untuk menarik orang untuk membeli dan memakainya. Model berpakaian muslim di masyarakat Banjar disebutkan dipengaruhi oleh kehadiran komunitas Sekumpul. “Peran Sekumpul sebagai trendsetter gaya hidup bagi kota-kota menengah di Kalimantan Selatan telah berkembang secara alami” tulis Noorhaidi Hasan.

Noorhaidi Hasan menuliskan tentang pola diferensiasi sosial di kalangan kelas menengah di Martapura, di mana ketertarikan terhadap Guru Muhammad Zaini Ghani, atau lebih populer di Kalimantan Selatan dengan sebutan Guru Ijai atau Guru Sekumpul, dan kompleks pengajaran Sekumpul menggerakkan banyak dari kalangan kelas menengah dari Martapura dan kota-kota lain di Kalimantan Selatan untuk bermigrasi ke wilayah Sekumpul.

Baca juga:  Pela dan Sasi: Penjaga Kerukunan Masyarakat Maluku

Kehidupan di komplek Sekumpul tersebut yang menginspirasi masyarakat Martapura dalam melakukan penggalian budaya dan perbaikan penataan sosial. Di antaranya kecenderungan pria untuk memakai baju koko dan kopiah putih, dan bagi perempuan untuk memakai gaun panjang dan jilbab berwarna-warni, arkian cara dan model berpakaian seperti itu menjadi sangat populer di Kalimantan Selatan.

Al-Zahra milik Guru Sekumpul mungkin bisnis lokal yang memiliki sayap usaha penjualan pakaian muslim pertama di Kalimantan Selatan, yang sekarang diikuti oleh cukup banyak banyak merek dan toko yang menjual pakaian Islami. Bisnis busana keislaman yang berkembang pesat hingga sekarang di Kalimantan Selatan sekarang membuat pakaian muslim memunculkan dinamika yang beragam.

Banner Aloya Ramadan

Pakaian seperti baju koko, gaun panjang dan jilbab warna-warni yang awalnya sebagai gaya berpakaian yang populer di Kalimantan Selatan, kemudian cara dan model berpakaian tersebut juga mengalami proses adaptasi dan apropriasi sesuai lingkungan barunya. Bagaimana tidak, model pakaian Islami di masyarakat Banjar yang memasuki ruang-ruang baru yang dinamis dan beragam, sehingga banyak sekali sekarang ditemukan gaya berpakaian Islami yang lebih beragam seperti Cadar, Niqob dan Jilbab panjang bagi perempuan atau Gamis modis ala anak muda, di mana kesemuanya dianggap bagian dari model yang sesuai dengan moral dan ajaran Islam.

Baca juga:  Obituari: Hamsad Rangkuti, Kebohongan yang Indah

Respon pasar yang cukup tinggi juga memunculkan berbagai agen kultural, seperti influencer yang mengendorse model pakaian tertentu, dan kios yang melayani penjualan baik secara daring atau luring. Kondisi ini juga membuat persebaran model pakaian semakin massif di kalangan muslim Banjar. Simbol pakaian inilah yang juga diadaptasi masyarakat Banjar sebagai bagian identitas keislaman mereka di semua lapisan kelas sosial.

Elizabeth Bucar mengisahkan bahwa pakaian muslim yang sebelumnya lebih dicurigai sebagai bagian ekspresi dari bentuk kesalehan yang terlalu bersemangat. Sebagai fenomena global, ini dianggap sebagai tanda merayapnya Islam yang mengkhawatirkan ke arah pada ekstrimisme.

Dalam penelitiannya, Bucar memang lebih memfokuskan pada model berpakaian perempuan. Namun, sebelumnya dia melihat pakaian muslim yang sopan memang dapat digunakan sebagai bentuk kontrol sosial atau sebagai tampilan ortodoksi keagamaan, terutama bagi perempuan.

Terlebih lagi, bagi banyak wanita Muslim, pakaian yang sopan tidak saja bermakna apa yang mereka kenakan dan perlukan. Namun lebih dari itu, karena seperti semua pakaian, pakaian wanita Muslim jauh lebih beragam, baik secara historis maupun geografis, dan terhubung dengan sistem budaya yang jauh lebih luas.

“Keputusan untuk mengenakan pakaian yang sopan tersebut biasanya dimotivasi alasan sosial, politik serta agama” sebut Bucar.

Baca juga:  Opor Ayam, Persembahan Kuliner Istimewa di Hari Agung

Islam mungkin merupakan faktor penting dalam pakaian wanita Muslim, tetapi itu bukan satu-satunya. Pakaian muslim juga mencerminkan dan menciptakan norma dan ide yang berkaitan dengan identitas diri, otoritas moral, dan konsumsi. Kondisi ini memaksa masyarakat Banjar untuk terus berpenampilan dengan pakaian Islami, sebagai bagian dari identitas dan ukuran moralitas.

Namun tak hanya berhenti di sana, kesalehan masyarakat kelas menengah tersebut menjadi ukuran “Islam yang sebenarnya” yang menjadi ukuran atau penanda keimanan, walau aneka inovasi dan kreasi yang kreatif terus mewarnai dan bernegosiasi antara nilai dan model lama dengan model-model baru, yang muncul dari berbagai sumber. Pola keberagamaan seperti ini telah menjadi wahana bagi konsumen kelas menegah religius di berbagai kota di Kalimantan Selatan untuk mencari identitas dan makna kedirian yang baru melalui pola konsumsi. Arkian, baju koko tidak lagi memiliki makna sehelai pakaian yang bisa dipakai kapan saja, namun memiliki makna lain yang terus bergerak secara dinamis tergantung pada ruang-ruang dan pemaknaan baru.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top