Dalam tradisi masyarakat Banjar, diksi guru tidak saja digunakan untuk menunjuk orang yang mentransmisi pengetahuan di dalam kelas. Namun juga digunakan untuk menunjuk otoritas yang mengajar sekaligus membimbing masyarakat dalam hal keagamaan (dalam hal ini Islam). Bahkan lebih dari itu, mereka juga memiliki peran yang besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar.
Sejak kecil kala masih kami sekeluarga mengontrak sebuah rumah kecil di tengah kota Banjarmasin, ayah saya sering berpesan bahwa setiap memulai hal baru jangan sampai lupa untuk bertanya pada “Guru”. Dari penentuan tanggal mendirikan rumah, membuka usaha baru hingga menjodohkan anak, ayah saya selalu berkonsultasi dengan para guru tersebut. Pernah sekali ayah saya bercerita tentang temannya yang meminta rajah untuk kelancaran anaknya mengikuti tes ASN.
Tuan guru atau hanya guru adalah sebutan akrab masyarakat Banjar untuk mereka. Sebagian mereka bekerja sebagai guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan di dalam kelas atau guru agama, tapi ada juga yang berkerja sebagai petani, pedagang dan lain-lain.
Selain itu, mereka juga bekerja seperti masyarakat, demi mencari uang menyambung hidup. Ada yang memang menjadi guru agama, namun ada juga yang menjadi petani atau buruh kasar di sebuah wadah pemotongan kayu. Memang, ada juga guru yang mengkhususkan diri untuk menjadi “otoritas” liyan selain dari Negara.
Mereka adalah tempat kami meminta air doa atau sekadar doa selamat untuk memperlancar segala urusan kami. Mereka adalah jalan keluar dan tempat berkonsultasi, berunding hingga menjadi hakim atas segala masalah yang dihadapi masyarakat. Dulu, mereka hidup dekat dengan masyarakat, hampir setiap wilayah memiliki Tuan Guru masing-masing. Begitulah gambaran kedekatan antara para Tuan Guru atau guru tersebut dengan masyarakatnya.
Hidup membaur dan terhubung dengan banyak orang, mengharuskan mereka mampu memahami berbagai peran di masyarakat serta berbagai dinamika di dalamnya. Oleh sebab itu, tidak jarang mereka harus membuka pintu rumah karena masyarakat di daerahnya meminta pertolongan. Namun, kondisi itu pula yang menjadikannya sangat dihormati, walau tidak sedikit dari mereka hanya menempuh pendidikan tradisional atau pesantren.
Sayangnya, para Tuan Guru seperti ini semakin jarang ditemui. Di daerah perkotaan tidak banyak lagi semakin sulit menemukan para tuan guru ini, terlebih di daerah perumahan baru. Biasanya, yang tersisa hanya para imam atau muazin yang dekat dengan masyarakat. Di daerah pinggir kota hingga desa mungkin masih bisa ditemui satu atau dua orang yang memiliki kemampuan “khusus” itu.
Sekitar sebulan lalu, saya mendengar cerita bahwa sebuah keluarga berlatarbelakang kelas menengah harus menjemput anggotanya, dari sebuah pesantren Tahfiz al-Quran karena sang anak tersebut dianggap tidak mampu mengikuti jadwal asrama yang ketat. Baru diketahui setelah dijemput, sang anak rupanya sering murung dan menyendiri sehingga sering telat menyetorkan hapalannya.
Banyak spekulasi di keluarga tersebut terkait penyebab sang anak bisa mengalami kondisi seperti itu, dadi depresi, stress hingga dirasuki makhluk lain. Akhirnya, ada salah seorang mengusulkan untuk membawa anak tersebut ke salah seorang “guru”, yang dianggap tahu atau bisa mengatasi permasalahan seperti yang dialami oleh anak tersebut. Menariknya, tempat tinggal dari guru tersebut jauh dari rumah keluarga tersebut.
Adapun kisah keluarga lain yang mengalami kondisi serupa dengan cerita di atas, berakhir dengan hasil yang berbeda, yakni keluarga tersebut berakhir pada solusi Rukyah. Sebuah kultur baru yang hadir dalam satu atau dua dekade terakhir di masyarakat kita, terutama di perkotaan. Tawaran pengobatan ini sangat menggoda bagi mereka yang sudah terpapar dengan narasi purifikasi atau permurnian Islam. Sebab, kelompok ini biasanya menghadirkan kultur baru yang melekat dengan rukyah, yakni pengobatan dengan berbagai rempah yag dihadirkan dari luar negeri, Timur Tengah lebih tepatnya.
Dalam irisan dengan dunia politik, peran tuan guru tak kalah menarik bahkan makin rumit. Jika cerita di atas berlatar kisah dari keluarga kelas menengah urban di tanah Banjar, maka dalam dinamika politik juga dapat dijumpai cerita-cerita serupa di mana menyiratkan bagaimana kondisi masyarakat Banjar yang akrab dengan narasi tradisi lokal.
Kalkulasi politik hanya sebagian dari dinamika politik lokal di tanah Banjar. Ada seorang politisi pernah bercerita kepada saya bahwa kedatangannya kepada ulama tidak hanya dimaksudkan untuk mohon didoakan atau restu, tapi juga terkait dengan kearifan lokal di tanah Banjar, seperti ada politisi yang meminta dimandikan atau dirajah (praktik menuliskan sesuatu di tubuh seseorang) agar dapat mendapatkan “ketenangan”.
Kondisi tersebut masih terjadi hingga sekarang, walau tidak mayoritas politisi melakukannya. Relasi antara tuan guru dan dunia politik tidak hanya soal pencitraan atau sekedar karisma belaka, namun naras kearifan lokal yang kental masih turut mewarnai. Walau sekarang politik kesalehan menjadi favorit para politisi untuk meraup dukungan atau menggiring opini publik.
Arkian, posisi tuan guru dalam gelombang pasang politik kesalehan di tanah Banjar lebih terjebak pada pencitraan, ketimbang pembimbing “spiritual” para politisi. Sebab, kesalehan yang cukup “ampuh” menyedot perhatian publik ketika beririsan dengan pencitraan. Hal ini disebabkan masyarakat kita sekarang lebih tertarik sesuatu yang berbau visual dan citra.
Kondisi masyarakat tersebut dikenal dalam kajian sosial dengan masyarakat tontonan. Sebuah gagasan yang diusung oleh seorang filsuf Prancis, Guy Debord. Para politisi yang memanfaatkan kesalehan sebagai tontonan tidak saja mendapatkan pleasure (kesenangan) dari mempertontonkan pengalaman atau keberagamaan mereka yang berfungsi sebagai pembentuk identitas dan citra diri yang saat ini difasilitasi dan disemai oleh media sosial.
Debord menyatakan bahwa poin penting dalam masyarakat tontonan adalah citra yang melekat pada seseorang, the spectacle is not a collection of images; it is a social relation between people that is mediated by images. Di mana seorang politisi akan diidentifikasi melalui citra-citra yang melekat pada dirinya, yang kemudian akan mempengaruhi relasinya dengan konstituennya.
Debord juga berargumentasi bahwa saat ini terjadi degradasi di tengah masyarakat, di mana nilai-nilai yang dianut masyarakat lebih dipengaruhi dari apa yang bisa ditampilkan. Konsumsi yang dilakukan masyarakat kontemporer adalah untuk memenuhi pemuasan mata melalui citra-citra yang ditampilkan.
Sayangnya, tidak sedikit para tuan guru yang kemudian terjebak dalam politisasi kesalehan secara visual ini. Foto atau video para politisi bersama tuan guru beredar luas lewat media sosial dan spanduk. Mereka, para tuan guru, tidak lagi didatangi hanya diminta doa atau dirajah, tapi kebanyakan kedatangan politisi difoto, bahkan direkam untuk kemudian diunggah di media sosial agar bisa disemai opini publik buat kepentingan elektoral sesaat.
Bagaimana nasib politik dan agama kita di masa akan datang? Entahlah.