Machunian, sebutan untuk fans Manchester United (MU), adalah istilah yang saya baru kenal pasca lulus kuliah. Telat sekali jika saya dinilai sebagai fans sepakbola garis keras. Gol Heroik dari Ole Gunnar Solksjaer (1997/1998) saya tonton lewat lobang di balik tembok papan di ruang televisi, karena waktu itu menonton TV adalah sesuatu haram bagi seorang santri kalau di luar waktu yang ditentukan.
Mengapa saya melakukan hal itu? Sejak kelas dua sekolah menengah pertama (SMP), saya telah mendaulat sebagai fans MU, karena dua alasan yaitu kaos jersey MU dipakai sebagai seragam buat kontingen kelas kami dalam mengikuti Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI) di Pondok Pesantren, juga karena setiap menonton MU bermain setiap pulang ke rumah, maka sosok Peter Schemichel, Kiper MU asal Denmark, adalah sosok yang selalu saya perhatikan permainannya.
Satu hal yang saya tidak ketahui kala Peter Schmicheal menjadi sosok sentral di bawah mistar gawang MU adalah deputinya, Les Sealey. Figur yang satu ini rupanya pernah menjadi pahlawan bagi MU di awal 90an. Tepatnya di final Piala Liga tahun 1991, Sealey menderita cedera lutut yang parah karena bertabrakan Paul Williams, salah satu punggawa Sheffield Wednesday, yang menjadi lawan MU di laga puncak tersebut.
Dalam laga yang tersisa 12 menit tersebut, Sealey memaksakan untuk tidak diganti oleh Sir Alex Ferguson, pelatih MU kala itu, yang mendapatkan masukan dari Jim McGregor, fisioterapis MU, untuk menggantikan kiper 33 tahun tersebut. Sealey menolak karena merasa Sir Alex harusnya menggunakan jatah pergantian tersebut untuk memilih pemain lain, yang bisa mengubah permainan karena MU saat itu masih dalam posisi ketinggalan.
Akhirnya MU memang harus menerima hasil kekalahan tersebut. Sontak, cerita heroik Sealey sebagai tanda kecintaannya pada klub berjulukan Setan Merah tersebut beredar luas. Padahal, Sealey pasca kejadian tersebut hampir saja kehilangan kaki atau nyawanya karena lukanya yang baru dijahit setelah pertandingan mengalami infeksi.
Sealeypun pingsan saat menunggu pesawat di bandara Heathrow. Ahli bedah yang mengurusnya kala itu menyebutkan kalau saja Sealey pingsan kala pesawat sudah tinggal landas, maka potensi ia kehilangan kaki atau nyawanya sangatlah besar. Tekad dan hasrat yang begitu kuat untuk bermain hampir saja merenggut kaki atau nyawa, tentu sekaligus mengakhiri karir sepakbola Sealey seketika.
Antara kecerobohan atau keberuntungan memang tipis dalam kasus Sealey di atas, walau tak sediit menilainya heroik. Kondisi yang sama kita rasakan dan lihat bersama beberapa hari terakhir ini. Diskusi melakoni situasi krisis Korona masih hangat diperbincangkan, terutama dalam bingkai ritual keagamaan. Kasus penurunan spanduk himbauan dari pihak berwenang yang diturunkan paksa oleh beberapa oknum, tentu bukan sesuatu yang bisa kita anggap remeh atau receh.
Lihat saja usaha pemerintah menghadapi kondisi darurat Korona dengan meminta warga untuk mengurangi aktivitas di luar rumah, menghadapi tembok tebal bernama “konservatisme” dalam beragama. Tidak sedikit dalil hingga pendapat ulama berseliweran guna melegitimiasi aksi penolakan terhadap penyesuaian ritual keagamaan dalam kondisi darurat Korona, yang difatwakan oleh MUI beberapa waktu lalu.
Dalam kondisi ketegangan dan kebingungan umat, beberapa oknum politisi mulai mengipasi dengan menyebarkan dukungannya terhadap penolakan di atas dan menganjurkan aksi sebaliknya dilakukan secara massif. Diskursus fatwa MUI telah dimasuki dimensi politik sehingga tak lagi dipandang hanya sebagai panduan bagi masyarakat Muslim.
Kehadiran dimensi politik konservatif dalam fatwa tentu menambah runyam perlawanan terhadap Korona, baik dari sisi Pemerintah juga masyarakat. Dalam kondisi darurat seperti sekarang, masyarakat tidak bisa dibantah akan dihinggapi rasa takut, panik juga curiga, seharusnya kehadiran fatwa MUI bisa meredamnya namun karena politisi tersebut ingin memanfaatkan momentum tersebut.
Padahal yang tidak disadari kebanyakan kita adalah politisi tersebut hadir dari kelas sosial yang berbeda dari masyarakat yang mendukung aksinya tersebut. Bagaimana tidak, kekuatan uang dan kekuasaan yang ia miliki tentu bisa menjangkau fasilitas kesehatan yang lebih baik daripada pendukungnya, yang harus bertaruh keselamatan dari terpapar virus tersebut.
Jika nanti kondisi Korona sudah mereda, kemungkinan politisi hadir ke depan karena telah memimpin perjuangan heroiknya agar bisa dianggap pahlawan oleh pendukungnya. Padahal, di tengah kondisi virus Korona atau Covid-19 sedang melanda di Indonesia ada orang-orang yang benar pahlawan sekaligus korban yang sering terabaikan, yaitu mereka yang berada di lini terdepan melawan virus tersebut seperti seluruh tenaga medis dan penjual jasa untuk menjamin kenyamanan masyarakat di tengah “Social Disctacing”.
Artikulasi himbauan Pemerintah tentang “Social Distancing” memang terus harus dijabarkan secara cukup detail di masyarakat, agar tidak menambah kepanikan dan ketakutan di masyarakat. Kita seharusnya sudah lebih fokus untuk #salingjaga agar seluruh lapisan dan kelas sosial masyarakat, tidak ada yang harus berhadapan dengan bahaya virus tersebut dan mengabaikan himbauan pemerintah tersebut untuk mencari rezeki guna menyambung kehidupan.
Jangan sampai kita alpa memperhatikan dan memperjuangkan mereka guna mendapatkan perlindungan, jika diwajibkan mengikuti himbauan pemerintah tersebut. Bagi mereka, antara kemiskinan dan virus Korona yang sedang melanda Indonesia sama-sama mematikan, tentu ini harus kita kawal pemerintah untuk memayungi mereka selama krisis ini sekaligus mengambil inisiatif untuk saling menjaga agar kita semua bisa keluar dari krisis ini bersama-sama.
Walau terlihat heroik, Les Sealey mungkin masih disayang Tuhan gara-gara kebandelannya kala menolak instruksi pelatihnya, jika tidak dia sudah kehilangan kaki atau nyawanya. Jangan sampai kita hanya berharap pada kasih Tuhan, padahal belum tahu apakah kita sendiri disayang atau tidak olehNya.
Jadi, berdoa dan beribadah sembari saling jaga mengikuti fatwa MUI dalam krisis ini serasa lebih tepat untuk dilakukan, ketimbang beribadah secara heroik karena menganggap telah menantang virus tersebut sembari mengabaikan keselamatan dan kenyamanan bersama. Padahal yang terkena imbasnya bukan saja diri sendiri tapi juga orang lain yang bisa terpapar karena kesembronoan kita dalam beragama. (RM)
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin