Telah dijelaskan sebelumnya, tidak bisa dipungkiri, magnet Habib di tengah masyarakat Banjar sangatlah kuat. Posisi Habib sebagai otoritas agama bersanding dengan para tuan guru, yang telah menjadi pemimpin sebelumnya.
Bahkan, banyak tuan guru yang mengajarkan dan mencontohkan pola interaksi dengan para Habib. Mereka sangat hormat dan melayani para Habib, yang kemudian banyak dicontoh oleh masyarakat Banjar. Fakta ini hanya secuil dari dinamika Habib di tanah Banjar.
Sebelumnya, interaksi masyarakat Banjar dan kelompok etnis Arab sudah berlangsung lama. Alfani Daud menyebutkan kedatangan mereka dan menetap di tanah Banjar adalah sejak abad ke-15 atau 16. Walau Alfani tidak menyebutkan etnis Arab berasal dari wilayah mana, mungkin kita mengambil asumsi bahwa 90% keturunan Arab yang berada di Indonesia berasal dari kota Hadramaut, Yaman Selatan.
Adapun, orang-orang Hadhrami (sebutan untuk penduduk Hadramaut) ini berdatangan ke Nusantara pada sekitar abad 13, dua abad sebelum ke Banjar. Data ini diambil dari laporan LIPI dalam seminar internasional bertema “International Conference on The Dynamics of Hadhramis in Indonesia”.
Bertujuan untuk berdagang dan berdakwah di Nusantara, orang-orang Hadhrami berangsur-angsur menetap dan berkeluarga dengan penduduk setempat. Di tanah Banjar, dalam data penelitian Alfani, ada empat sentral pemukiman kelompok Arab sejak dulu, yakni Banjarmasin, Martapura, Kandangan dan Barabai.
Sayangnya, Alfani mencatat bahwa kelompok Arab tidak begitu diketahui jumlahnya, karena dimasukkan dalam kelompok orang timur asing lainnya, seperti Cina. Namun, jumlahnya memang masih sangat sedikit, tidak sampai 10 ribu orang. Alfani mengambil catatan kolonial hingga bisa mendapatkan jumlah tersebut.
Namun, jika kita membaca laporan Engseng Ho dalam buku The Graves of Tarim:Genealogy and Mobilityacross the Indian Ocean, kelompok Hadrami adalah sebuah masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tersebar (berserakan, tersebar, tersebar, menetap, hilang, ditemukan, tenggelam) di sekitar Samudra Hindia.
Sebuah gambaran puitis dari Engseng Ho tentang kehidupan masyarakat Hadrami yang menjelajahi Samudra Hindia, dan menyinggahi berbagai wilayah. Adapun catatan yang pernah disebar oleh salah satu akun media sosial, sehingga kebenarannya harus dicek ulang, menjelaskan bahwa keluarga dari Leluhur Sayid Hamid bin Sayid Abas yang bernama Sayid Awad diyakini sebagai Bahasyim “pertama” (paling tua) di bumi Kalimantan (Banjar). Saya mengunakan data ini karena tidak mendapati informasi yang jelas terkait kedatangan awal para Hadhrami di tanah Banjar.
Sayid Awad bin Sayid Umar mempunyai seorang saudara lelaki yang menetap dan menurunkan Bahasyim di Bima, NTB. Menurut cerita, Awad masuk ke Banjar dari Sampit, Kalimantan Tengah. Perlu diketahui, Sayid Hamid bin Sayid Abas yang populer di Banjar dengan sebutan Habib Basirih.
Habib Hamid bin Abbas atau Habib Basirih semasa hidupnya dikenal sebagai orang yang taat beragama, bahkan bisa dibilang fanatik. Di masa mudanya, Dia sudah pergi jauh untuk menuntut ilmu agama Islam. Disebutkan dia lama mengenyam pendidikan di Mekkah al-Mukarramah, Saudi Arabia. Beliau berguru dengan ulama terkenal dan senior, walah tidak dijelaskan siapa saja gurunya selam di tanah suci. Dus, kelompok Hadhrami dan para Habib bermukim di tanah Banjar hingga sekarang.
Di sisi lain, kebanyakan masyarakat Banjar memuliakan Habib sebagaimana dicontohkan dan diajarkan oleh tuan guru, sebagaimana dijelaskan di atas. Mereka sering banyak dalil agama yang melegitimasi komplimen atau penghormatan pada kalangan Habib.
Seperti yang pernah saya dengar:
“Membenci Bani Hasyim dan Ansar adalah kufur dan membenci orang Arab adalah Nifaq.”
Setelah melakukan penelusuran lewat peramban, saya mendapati petunjuk itu berasal dari Seggaff bin Ali Al-Kaff (1992: 37) dalam bukunya Diraasat fi Nasab as-Saadat banii ‘Alawii, bahkan mengutip hadis dari At-Tabarani dalam kitab al-Kabir. Sepertinya, masih banyak dalil agama yang mendorong umat Islam memuliakan kalangan Habib.
Selain dalil agama, penghormatan terhadap kelompok Sayyid atau Habib juga ditengarai sebagai warisan kolonial. Pada masa kolonial Belanda, gelar Sayyid merupakan gelar yang sangat disegani di masyarakat di Indonesia.
Klasifikasi warisan kolonial ini masih tertanam dengan artikulasi yang berbeda di masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Banjar. Dari fondasi feodalisme yang sangat kuat tersebut, dimana status sosial seseorang lebih banyak dinilai dari status terberi, seperti Raden, Gusti dan Sayyid/Habib.
Kelompok Sayyid/Alawiyyin dikenal sebagai kelompok yang paling elit di tengah masyarakat Yaman, maka mereka menduduki posisi terpenting setelah warga Eropa dalam struktur sosial modern yang dibuat dan diterapkan pemerintahan kolonial di Yaman, yakni Inggris.
Pada awal abad ke-19, Hadramaut sebagai bagian dari Yaman dijajah oleh Imperium Inggris. Kita tahu bahwa Inggris adalah salah satu imperium Eropa yang sangat rasis. Efeknya dalam hubungan sosial di masyarakat, perlakuan Negara terhadap warga negaranya didasarkan pada kelas sosial yang dimilikinya, atau lebih tepatnya “dibuat”.
Dan tradisi kolonial yang rasis ini tentunya mempengaruhi orang-orang Arab yang melakukan diaspora para pengikutnya ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Asia Tenggara, khususnya Nusantara. Tradisi ini kemudian di(ter)sakralkan dan wajib ditaati oleh kaum Sayyid/Alawiyyin.
Di pihak lain, politik kolonial Belanda yang mengenal penggolongan terhadap penduduk tanah jajahan Hindia Belanda. Mereka memberlakukan hukum yang didasarkan pada segregasi latar belakang ras penduduknya.
Adapun di masa itu dikenal tiga kelompok, yaitu kelompok Eropa sebagai kelompok tertinggi, Timur Asing, diantaranya Cina, Arab, dan India sebagai kelompok tertinggi kedua, dan yang terendah kelompok pribumi.
Dalam penghormatan para Habib memang terlalu keras jika hanya disandarkan pada dalil warisan segregasi kolonial. Adapun dalil agama bisa menjadi stimulus yang paling bisa diterima di masyarakat Banjar. Namun, imaji segregasi dari kolonial tidak bisa dipinggirkan begitu saja.
Mungkin penghormatan masyarakat Banjar disandarkan sekaligus pada imaji tentang status sosial dan agama dari seorang Habib/ Sayyid. Sebab, dianggap memiliki garis keturunan dari Nabi Muhammad dan memori akan segregasi kolonial yang saling berkelindan, ditambah dalil-dalil agama yang semakin meneguhkan sikap tersebut.
Sumit Mandal dalam buku Becoming Arab: Creole Histories and Modern Identity in the Malay World, menjelaskan bahwa kehormatan yang dihasilkan mengakui status sosial yang tinggi yang berasal dari garis keturunan spiritual yang dihormati dan kedekatan dengan para penguasa lokal atau kolonial.
“Pada saat yang sama, kehadiran para sayyid mewujudkan hubungan antara dunia Melayu dan tempat kelahiran Islam di semenanjung Arab” tulis Sumit Mandal.
Poin penting dalam pernyataan Mandal di atas mungkin bisa menjelaskan bagaimana dinamika posisi Habib di tanah Banjar. Mereka tidak saja simbol spiritualitas karena memiliki garis keturunan dan posisi yang dimuliakan karena warisan kolonial, namun mereka juga menjadi penghubung masyarakat Banjar dengan pusat ortodoksi, dalam hal ini timur tengah.
Dinamika tersebut lebih dikenal dalam antropologi agama dengan teori Great-Little Tradition. Tradisi besar (great tradition) merupakan bentuk ortodoksi dari ekspresi agama/budaya yang berada di pusat, ia seringkali berbentuk tradisi tekstual, biasa juga disebut tradisi tinggi dan tradisi universal.
Adapun tradisi kecil (little tradition) adalah bentuk heterodoksi dari budaya/agama pinggiran (periphery), sifatnya memasukkan banyak elemen dan praktik dari tradisi lokal ke dalam agama, ia disebut juga tradisi lokal, tradisi rendahan, dan ada juga yang menyebutnya sebagai agama populer. Tradisi kecil dipraktikkan oleh orang awam/biasa pada keseharian.
Islam Banjar bisa dibilang sebagai tradisi kecil karena dimasuki banyak elemen dan praktik dari tradisi lokal. Adapun Timur Tengah, dalam hal ini Yaman, Hadhramaut, dipandang sebagai pusat ortodoksi yang kuat dalam tradisi literasi dan bersifat universal. Habib adalah penghubung paling dekat yang bisa dijangkau oleh masyarakat Banjar untuk mendekatkan tradisi keagamaan mereka dengan pusat ortodoksi.
Tentu, penghormatan kepada kalangan Habib hanya salah satu artikulasi masyarakat Banjar dalam mengekspresikan pendekatan pada pusat ortodoksi. Masih banyak lagi dinamika lainnya yang menjadi contoh dari ekspresi tersebut, seperti pilihan banyak kalangan santri pada kota Tarim sebagai tempat studi.
Arkian, relasi dengan Hadhramaut atau Yaman pada umumnya bukan lagi pilihan acak dari masyarakat Banjar. Ia adalah pilihan sadar dari imaji tentang Islam Banjar yang dianggap sebagai pinggiran dari pusat Islam, yakni Timur Tengah.