Telah dipaparkan dalam esai sebelumnya, pergumulan Kaum Tua-Kaum Muda di tanah Banjar sepertinya bermula dari polemik di kalangan elit. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana persoalan itu bisa terjadi?
Pertarungan otoritas tersebut dimulai sejak sebagian tuan guru yang belajar di Mekah, menuntut ilmu pada beberapa ulama yang menganut paham pembaharuan Islam. Tidak ada data detail terkait genealogi para tuan guru tersebut menuntut ilmu. Namun ideologi pembaharuan Islam tersebut sudah mulai beredar di tanah Banjar sejak tahun 1920-an.
Walau Fedyani menyebutkan dalam buku Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam, bahwa di antara paham yang sedang berkembang pesat adalah Wahabiyah, yang disebut Fedyani mempengaruhi para ulama Muhammadiyah di Indonesia. Dia mendapatkan data tersebut dengan mengutip buku Buku Peringatan Muhammadiyah Setengah Abad: 1912-1962.
Adapun di antara tuan guru yang belajar dan menyebarkan paham pembaruan Islam adalah Haji Japeri atau Haji M. Japeri. Dialah yang nanti akan menjadi anggota pertama Muhammadiyah di tanah Banjar. Diceritakan bahwa dia berangkat ke tanah suci saat berumur 15 tahun dan belajar di tanah suci selama 5 tahun.
Dalam umur yang sangat muda itulah, dia mulai kegiatan keagamaan dengan membangun sebuah balai, yaitu untuk langgar/mushalla, yang di Alabio, Kalimantan Selatan lazim dinamakan “madrasah”. Selain untuk tempat shalat jamaah lima waktu, juga untuk tempat memberikan pengajian agama sebelum dan sesudah shalat.
“KH. Jaferi mulai mengajarkan kepada para jemaah bahwa selama ini di Alabio dipraktikkan ajaran agama Islam yang tidak sesuai dengan ajaran yang sesungguhnya dari Nabi Muhammad dan para sahabatnya..” ujar salah satu informan Fedyani.
Diksi bid’ah-pun mulai disuarakan oleh beliau untuk menyebut beberapa ritual yang dianggap bertentangan dengan agama Islam, seperti “meminta pada kuburan yang dikeramatkan”, “menyebut Usali”, “melakukan talkin”, “menyelenggara selamatan kematian”, “menyanyikan puji-pujian kepada Nabi Muhammad”, dan “melakukan Hilah”. Berangkat dari kritik inilah yang menjadikan polemik dari kedua kubu antara Kaum Tua-Kaum Muda, sebagaimana dijelaskan di esai sebelumnya.
Friksi dua kubu tersebut bisa bertahan cukup lama hingga munculnya dua organisasi massa Islam terbesar, yakni Muhammadiyah di sekitar tahun 1923 dan Nahdhatul Ulama (NU) di Kalimantan Selatan, tepatnya di Martapura pada tahun 1928. Dus, Kaum Muda memilih bergabung dengan Muhammadiyah.
Adapun kelompok Kaum Tua atau Kaum Tuha dalam bahasa Banjar bergabung ke NU. Walau popularitas NU di tanah Banjar cukup besar, namun masyarakat Banjar yang menjalankan Islam tradisionalis masih lebih sering mengidentifikasi diri sebagai Kaum Tua, ketimbang menggunakan diksi “NU Kultural” yang lebih populer di Indonesia hingga sekarang.
Dari pertentangan di kalangan elit agama yang semakin mengeraskan batas-batas identitas kelompok pendukung masing-masing elit tersebut. Identitas kelompok tersebut semakin mengeras di masyarakat Banjar hingga muncul istilah urang sabalah atau buhan sabalah, yakni istilah lokal yang bertahan hingga sekarang untuk menunjuk orang yang berada di pihak lain.
Segregasi masyarakat tersebut akhirnya harus kembali bernegosiasi dan berkontestasi dengan paham keagamaan baru. Mereka hadir dengan pola yang hampir mirip yaitu pendidikan ditambah seiring kemajuan teknologi, media dan internet.
Kelompok Salafi, Wahabi, Tahriri dan Tarbawi yang hadir di tanah Banjar dengan model dakwah yang lebih fresh dan mengakomodir kemajuan teknologi, mulai memikat sebagian masyarakat Banjar. Lihat sekolah-sekolah yang mulai diminati masyarakat, terutama kelompok kelas menengah.
Di sisi lain, Langgar dan Masjid yang sebelumnya digunakan sebagai sarana belajar masyarakat Banjar yang dibimbing oleh seorang imam atau tuan guru, sebagian mulai dikuasai oleh anak-anak muda yang tertarik dengan Islam ala ideologi tahriri atau tarbawi.
Selain itu, mereka juga mengisi sebagian besar masjid atau langgar yang dibangun di lokasi baru, seperti sekolah, perumahan atau perkantoran. Anak muda biasanya mengadakan kajian keagamaan yang diisi oleh sesama anggota kelompok mereka yang lebih senior, walau sesekali mengundang ustaz dari luar lingkaran mereka.
Sekelompok anak muda tersebut juga lebih terkoneksi dengan beberapa Influencer (baca: pendakwah dunia maya) sebagai otoritas atau elit. Ada beberapa nama pendakwah yang cukup populer di kalangan anak muda ini, seperti @fuadbakh dan @shifruun.
Mereka dengan gerakan yuk ngaji! cukup bisa menarik atensi dari anak muda di tanah Banjar. Para mahasiswa dan siswa sekolah biasanya menjadi kelompok paling aktif di dalam gerakan tersebut. Masjid kampus dan sekolah biasanya menjadi pusat kajian mereka, namun beberapa waktu terakhir ini mereka mengadakan di masjid-masjid di luar kampus dan ruang pertemuan umum.
Memang, sekilas posisi elit atau otoritas di kelompok ini lebih cair dan tidak berpusat pada patron tuan guru sebelumnya, namun lebih banyak berfokus pada diskursus yang disebarluaskan. Namun, temuan dari penelitian dari Ahmad Rafiq dkk di tahun 2017 kemarin, malah membantah itu semua. Mereka menyebut fungsi mneomonic berupa ingatan audiens tentang pendakwah dan karakter personalnya lebih dominan menstruktur ingatan anak muda tentang diskursus yang disebar.
Selain itu, kohesi sosial di kalangan anak muda Banjar saat ini juga tidak lagi dibangun lewat indoktrinasi ideologi atau ajaran yang dianut kelompok tertentu. Mereka bisa saja berjumpa, tukar informasi, mewarnai namun sesekali juga bisa berkontestasi dengan kelompok islamis yang lain.
Adapun, kelompok Salafi dan Wahabi biasanya juga langsung membangun masjid di sebuah wilayah baru dan mengadakan pengajian-pengajian rutin. Pendarasan agama tersebut biasanya diisi para ustaz yang memang disesuaikan kualifikasinya dengan ajaran tersebut. Agenda purifikasi masih saka guru dari kelompok ini di tanah Banjar.
Akibatnya, beberapa kali terjadi ketegangan di tengah masyarakat Banjar, seperti pada kasus Firanda Andirja dan Subhan Bawazier. Mereka dianggap telah menyepelekan atau menghina tradisi dan kultur keberagamaan masyarakat Banjar (baca: tradisionalis), seperti menyerang sosok ulama besar di Kalimantan Selatan dan peringatan Haulnya.
Ceramah-ceramah para ustaz dari kelompok ini biasanya juga disebarluaskan lewat berbagai media, termasuk media sosial. Peminatnya memang belum begitu besar, namun animo dari jemaah mereka cukup besar. Buktinya,setiap kali acara besar yang mendatangkan ustaz dari luar Kalsel selalu disambut dengan animo besar dan antusiasme tinggi di kalangan sendiri, sehingga selalu diadakan secara massif dan maraton di beberapa tempat dalam waktu yang singkat namun tetap dihadiri oleh banyak jemaah.