Sedang Membaca
Pandemi dan Campur Tangan Manusia
Avatar
Penulis Kolom

Esais dan Cerpenis generasi milenial, menjadi guru sastra di pedalaman Banten Selatan

Pandemi dan Campur Tangan Manusia

Walaupun tidak secara eksplisit, pada dasarnya naskah Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer, yang di antaranya adalah “Rumah Kaca” sudah menyinggung perihal rusaknya tatanan ekosistem akibat ulah tangan-tangan manusia, terutama negeri-negeri industri maju. Naskah yang diketik dengan mesin ketik tua itu, diterbitkan secara masif oleh Penerbit Hasta Mitra (Jakarta), kemudian menyebar luas dan dibaca oleh kalangan pemuda dan mahasiswa sejak awal tahun 1990-an.

Memang tidak mudah bagi generasi milenial untuk memahami kandungan maknanya, dan tentu membutuhkan jeda waktu yang panjang untuk menyerap moral massage pada novel tersebut. Apalagi Pramoedya cenderung menggunakan bahasa Melayu Tinggi yang berkembang di era 1940 hingga 1950-an. Tetapi pada prinsipnya, satu-satunya penulis Indonesia yang beberapa kali masuk jajaran nominasi nobel itu, sudah mampu menangkap gejala-gejala alam, seakan membaca nasib samudera kita yang kian tercemar limbah mikroplastik saat ini.

Biota laut yang punah, dengan sendirinya turut memengaruhi rantai ekosistem makhluk hidup yang tak terkendali. Oksigen yang kita hirup, tanah yang menghidupi kita, juga tak jauh berbeda. Dua tahun terakhir di masa pandemii ini, banyak orang yang masih belum bisa membuka mata-hatinya, termasuk para seniman dan sastrawan yang dulunya pernah menjadi anak-anak emas kemenangan rezim Orde Baru.

Akhirnya, kita semua harus membayar utang-utang tersebut. Kita semua memetik hasil dari kebodohan kita, dan keengganan mempelajari hal-hal yang penting daripada sampingan, bahkan yang terpenting dari yang penting. Dalam beberapa bulan ini, kita disodorkan fakta yang terjadi di lapangan (bukan lagi sekadar karya sastra), bahwa ribuan manusia Indonesia berjubel dan berebut oksigen di mana-mana, bahkan tidak sedikit yang mati karena menghirup oksigen yang buruk dan tercemar.

Di sisi lain, ada segelintir orang kaya di muka bumi ini yang berperilaku aneh dan menggelikan. Mereka merancang program penjelajahan antariksa, bahkan bermimpi tinggal di panet luar angkasa, karena permukaan bumi seakan tidak layak huni. Ada juga beberapa penulis dan seniman kita yang ikut-ikutan latah dan genit, berkarya tentang fiksi ilmiah mengenai kehebatan teknologi antariksa. Mereka mendukung program yang gak jelas, tetapi berdecak-kagum pada ide dan gagasan segelintir orang yang hendak membangun koloni di planet Mars. Bahkan, ada yang berambisi menjadikan planet Venus sebagai tempat hunian baru. Mau ngapain, Bung?

Baca juga:  Sebuah Refleksi: Dimensi Mistik Urang Banjar

Apakah mereka tidak menyadari, bahwa eksplorasi ruang angkasa yang dimulai sejak era 1960-an itu, telah menyisakan sampah-sampah di lapisan ozon bumi, yang kemudian terjun bebas ke laut lepas di bawahnya. Lalu, apa yang hendak mereka cari di atas sana? “Apakah manusia tidak menyadari dirinya yang ada dari tiada, lalu Kami ciptakan hanya dari setetes air mani, tapi mengapa tiba-tiba menjadi pongah dan menantang Sang Pencipta?” (Yasin: 77).

Mereka barangkali beralasan, karena rasa bosan dan sumpek pada kehidupan dunia ini. Tetapi, bukankah rasa sumpek di permukaan bumi, dengan kualitas oksigen yang semakin hari semakin buruk, tak lain akibat ulah perbuatan kita semua, di mana mereka justru mengambil andil terbesar hingga menimbulkan kerusakan tatanan ekosistem ini?

Mari kita renungkan bersama, mengapa di republik religius ini, masih saja ada segerombolan orang yang “menyerang” karya monumental dari seorang anak-banga, tanpa lebih dulu mempelajari dan mendalami isinya, tetapi justru bersikap sentimen dan irihati kepada figur penulisnya?

Bukankah karya Pramoedya memberikan gambaran dan pendidikan bagi anak-anak bangsa, hingga menerbitkan pertanyaan esensial yang telah lama terpendam dalam sanubari umat manusia. Apa yang hendak dicapai oleh orang-orang Barat (Belanda) dengan menjejakkan kaki mereka di bumi Nusantara ini? Apa yang mereka butuhkan dengan menginvasi dan mengeksplorasi wilayah pendudukan yang sebenarnya bukanlah hak mereka? Apa yang hendak mereka tuju dengan menggalakkan penjelajahan, penjajahan, dan perampasan terhadap hak penduduk asing? Apa sejatinya tujuan hidup mereka?

Secara garis besar, Pramoedya menandaskan dalam karyanya “Anak Semua Bangsa” yang kemudian diperkuat oleh penulis Banten dalam karya “Pikiran Orang Indonesia”. Kedua novel itu, dengan gaya penarasian yang berbeda (zaman), seakan serempak menyoal apa-apa yang kita lakukan saat ini, akan menjadi benih kejadian pada masa yang akan datang. Segala sesuatu yang terjadi pada masa lalu, menjadi benih juga yang kita ulang kembali pada saat ini. Mengapa sejarah peradaban manusia masih saja tergenangi oleh permasalahan tuan dan budak, eksploitasi manusia-manusia lapisan bawah, oleh beberapa gelintir manusia di lapisan atas?

Baca juga:  Asisten Rumah Tangga sebagai Agen Budaya dan Stigma Tentangnya

Orang-orang berduit yang terobsesi dengan keabadian hidup, sebenarnya adalah orang-orang yang takut dan menolak kematian, karena ulah perbuatan dan pikiran mereka sendiri. Mereka masih saja merancang berbagai siasat – dengan kekayaannya – untuk menghindari kematian yang mereka takuti sendiri. Bukankah manusia hanya segumpal daging dari tanah, yang setelah wafat dikebumikan, kemudian makhluk-makhluk renik akan bekerja untuk mengurainya? Lalu, tubuh kita yang sudah berubah bangkai itu, pelan tapi pasti, akan kembali ke anasir pembentuknya. “Maka, jadilah kamu sekalian batu atau besi.” (Al-Isra: 50).

Namun demikian, kita bertugas selaku khalifah di muka bumi, yang harus berani berhadapan dengan kelaliman, demi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam konteks menegakkan keadilan ini, maka figur yang layak menjadi teladan bukanlah sang guru Khidir, melainkan sang revolusioner Musa yang berani menghadapi keganasan dan kelaliman Firaun. “Untuk apa diadakan agama dan diturunkan Rasul, jika kita hanya berpangku tangan saja menyaksikan kelaliman Orde Baru?” demikian gugatan Pramoedya Ananta Toer, yang disampaikan dalam orasi peluncuran buku Liber Amicorum 100 Tahun Bung Karno di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (2001).

Karya-karya Pramoedya pada prinsipnya mengetuk hati kita agar turut berperan dalam tugas kekhalifahan di permukaan bumi. Tetapi, untuk apa Tuhan menugaskan makhluk manusia selaku khalifah yang nantinya akan saling bertikai dan menumpahkan darah satu sama lain? Dalam hal ini, Tuhan masih menyimpan rahasianya, karena hanya Dialah Yang Maha Tahu keadaan seluruh makhluk dan ciptaan-Nya. (Al-Baqarah: 30).

Ia sudah mencatat nasib hidup kita sebelum dan sesudah berada di permukaan bumi saat ini, bahkan setelah hengkang dari permukaan bumi nanti. Ia bahkan sudah mencatat nasib setiap makhluk kasatmata dan tak kasatmata, termasuk virus Corona dan varian-varian terbarunya. Ia bahkan memenej dan mengendalikan satu helai daun kering yang jatuh di siang hari maupun di kegelapan malam, pada saat kita sedang tidur pulas.

Jadi, mau ke mana kita? Dan apa yang terjadi dengan makhluk bernama manusia setelah masa pandemi nanti? Ataukah kita akan tenggelam oleh munculnya varian-varian baru, sehingga penghuni planet bumi ini akan berganti dengan makhluk baru bernama Delta dan konco-konconya? Lalu, Tuhan membenarkan protes para malaikat sebelum penciptaan Adam, kemudian berganti memerintahkan Sang Delta selaku khalifah terbaru?

Baca juga:  Tahun Politik: Bagaimana Cara Mengasah Nalar Keislaman Kita

Tidak ada jawaban pasti, selain tugas kita hanya berdoa dan berusaha secara optimal, kemudian berpasrah dan bertawakkal pada Allah Swt. Tetapi, jika manusia tidak becus menjalankan fungsinya untuk mengelola bumi (selaku khalifah), bukankah sangat mudah bagi Allah untuk menggantikan posisi manusia dengan spesies dari mikrobiologis lain?

Lalu, apa tugas manusia yang terbaik dalam kehidupan dunia ini? Jelas bukan berlomba-lomba menumpuk harta, lalu pamer kemewahan yang memalukan, dengan merancang program penjelajahan antariksa, bahkan berlomba-lomba ingin tinggal di planet asing. Siapakah engkau, wahai manusia yang maha lemah dan maha binasa?

Bukankah tugas kita, sebagaimana tugas pengutusan para rasul dengan diadakannya agama-agama (dan kitab suci) adalah berlomba-lomba dalam kebaikan, dan pemenangnya tiada lain adalah mereka yang paling bertakwa (Al-Hujurat: 13). Sedangkan takwa itu identik dengan penegakan keadilan dan kebenaran.

Tentu saja kita menghargai Khidir, sebagaimana kita menghargai para penghuni gua (ashabul kahfi) yang memilih tidur panjang laiknya hibernasi, lalu menunggu momentum perubahan dari ganasnya para penguasa korup dan totaliter. Tetapi, bukankah kita diperintahkan untuk meneladani figur terbaik di antara yang baik.

Allahumma shalli ala Muhammad, bahkan Tuhan dan para malaikat pun memuji kebesaran Muhammad. Kita semua diperintahkan meneledani sejarah hidup beliau, walaupun semua makhluk istimewa lantaran tercipta dari keagungan-Nya. Tetapi, sebagai sosok yang paling adil dan paling bertakwa di dunia ini, kita semua disuruh meneladani jejak-langkah hidup beliau.

Lalu, untuk apa kita berbuat yang terbaik, karena toh pada akhirnya makhluk-makhluk renik tetap bekerja mengurai tubuh-tubuh kita yang menjadi bangkai? Pertanyaan ini akan kembali pada gugatan Pramoedya sang penulis Rumah Kaca yang tetap valid hingga saat ini: “Untuk apa Anda mengaku sebagai umat beragama, kalau Anda tidak punya keberanian menegakkan kebenaran dan keadilan?”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top