Sedang Membaca
Menyoal Pseudo-Moral dan Pseudo-Relijiusitas Fotografi Indonesia

Sastrawan dan street photographer

Menyoal Pseudo-Moral dan Pseudo-Relijiusitas Fotografi Indonesia

Fb Img 1578016387679

To me, photography is an art of observation. It’s about finding something interesting in an ordinary place… I’ve found it has little to do with the things you see and everything to do with the way you see them.” ~ Elliott Erwitt

Kemarin malam,  2 Januari 2020, saya mempublikasikan tiga buah karya fotografi saya di grup Fotografi Ponsel Indonesia. Dua dari karya foto tersebut adalah foto-foto genre “Street View Photography” yang saya jepret di Alun-alun Utara, Yogyakarta pada Malam Tahun Baru.

Kedua foto tersebut (beserta foto-foto serupa lainnya dengan objek, lokasi, dan momen yang sama) sebelum saya unggah ke grup Fotografi Ponsel Indonesia, telah saya unggah ke beberapa grup fotografi internasional.

Fb Img 1578016383346
Foto: Sunlie Thomas Alexander

Grup-grup itu seperti Mobile Photography Sharing, Mobile Phone Photography International, Mobile Phone Creative Photography, MobCam Photography, Inspiration Through Photography. Saya juga unggah ke Mobile Photography Arena (Int), grup yang di dalamnya saya juga menjadi admin.

Dua dari rangkaian foto itu bahkan telah mendapatkan penghargaan sebagai karya foto terbaik dari Mobile Phone Photography International dan Mobile Photography Sharing. Tanggapan admin maupun anggota di semua grup fotografi internasional tempat saya mempublikasikan foto-foto tersebut pun biasa saja.

Ada foto yang mendapat banyak like dan yang hanya mendapatkan sedikit perhatian. Dan saya kira ini juga merupakan hal yang biasa bagi saya sebagai kreator.

Namun tidak demikian, ketika saya mengunggah dua dari rangkaian foto Street Photography itu ke grup Fotografi Ponsel Indonesia.

Baca juga:  Gus Mus dan Umi Kultsum: Tentang Kultur Musik Kaum Santri

Pertama, yang membuat saya langsung kaget adalah jumlah like dan komentar yang langsung mencapai ratusan dalam waktu singkat, kemudian isi dari komentar-komentar tersebut.

Awalnya komentar-komentar yang masuk untuk foto pertama yang saya beri judul “Menunggu Pukul 00:00” kebanyakan berasal dari anak-anak muda laki-laki. Dan itu adalah komentar-komentar setengah histeris yang hanya terfokus pada “bokong” objek (perempuan) dalam karya foto saya sehingga aspek-aspek lain dari foto saya sebagai sebuah karya seni nyaris terabaikan.

Saya sedikit banyak sudah menduga bakal mendapatkan respon demikian, namun tidak menyangka akan seramai dan sehisteris itu. Padahal bagi saya dan banyak fotografer, foto itu teramat biasa.

Karena merasa tertarik pada respon yang begitu dramatis tersebut akhirnya saya iseng mengunggah foto kedua dan sengaja menggunakan judul agak memancing yakni “Jangan Salah Fokus”. Bagaimana respon para member? Ternyata sungguh luar biasa. Kini bukan saja komentar histeria “bernafsu birahi” yang muncul, tetapi juga komentar-komentar berbau pseudo-moral dan pseudo-religius!

Selain ada menyebut foto-foto saya tersebut tidak bernilai fotografi dan unfaedah (ini istilah gado-gado keminggris akut), saya juga dituduh melecehkan perempuan dan menyebarkan secara sengaja objek yang tanpa persetujuan pemiliknya. Tentu saja komentar-komentar ini sudah bisa diduga merupakan komentar-komentar dari mereka yang di negeri ini sedikit-sedikit membawa agama (dalam hal ini Islam), lelaki maupun perempuan.

Karena ada yang berkomentar akan melaporkan foto saya tersebut ke admin grup, dengan senang hati –karena percaya pada kualitas (pengetahuan dunia fotografi) dari para admin– saya pun ikut memohon agar admin grup Fotografi Ponsel Indonesia berkenan turut hadir berkomentar. Untuk menilai kualitas karya foto saya, dan apakah foto saya termasuk mengumbar aurat atau tidak. Akan tetapi tidak seorang admin pun yang tampaknya bersedia hadir.

Baca juga:  Selir dalam Islam (2): Harem dalam Catatan Lady Mary Mortley Montagu

Lantaran komentar-komentar ajaib tidak bertanggungjawab terus-menerus muncul untuk menuduh saya macam-macam, akhirnya saya pun merasa tertarik untuk mengajak mereka diskusi tentang dunia fotografi.

Pertama, untuk menanggapi tuduhan bahwa kedua foto saya melecehkan perempuan (pelecehan seksual) dan mengumbar aurat, saya sengaja memposting di kolom komentar sejumlah foto genre street photography yang menampilkan objek perempuan seksi serta karya fotografi nude art yang saya ambil dari beberapa grup fotografi Facebook yang saya ikut bergabung di dalamnya.

Saya juga memasang karya satu-dua teman fotografi di luar Indonesia, sembari mengajukan sejumlah pertanyaaan, seperti apakah street photografi dan nude art termasuk karya fotografi bernilai tinggi atau bukan.

Kedua, untuk menanggapi tuduhan bahwa saya menyebarkan secara sengaja objek tanpa persetujuan pemiliknya seperti pada komentar Lisa Fitria Syahida dalam screenshot di bawah, saya berusaha mengajak mereka untuk berdiskusi tentang apa itu street photography.

Fb Img 1578016368001

Sejauh mana mereka paham tentang fotografi jalanan yang sebagian nilainya justru terletak pada unsur “candid” alias jepretan secara spontan tanpa sepengetahuan objek, yang dikandungnya. Apakah “candid” dalam fotografi jalanan merupakan sebuah persoalan hukum?

Di sini saya mencoba memancing diskusi lebih lanjut sembari menunjukkan foto-foto street photography yang mementingkan “candid” yang saya miliki (Contoh: Street View Photography Hong Kong), tetapi hal ini hanyalah sia-sia. Meskipun saya banyak dibela oleh mereka yang berpikiran terbuka, tetapi kaum penganut pseudo-moral dan pseudo-religiusitas ini cukup ngotot sebagaimana biasanya.

Baca juga:  Tembang Macapat, Tentang Umur dalam Falsafah Jawa

Admin pun akhirnya turun tangan, tetapi sayang bukan untuk menengahi atau turut berdiskusi, melainkan mematikan kolom komentar untuk saya dan menghapus salah satu foto lainnya tanpa argumentasi sama sekali.

Namun begitu, saya kira, ada dua kemungkinan para admin grup Fotografi Ponsel Indonesia berbuat demikian:

Pertama, untuk menghindari keributan lebih lanjut. Kedua, karena saya memposting sejumlah karya fotografi nude art sebagai contoh di kolom komentar. Atau karena dua-duanya, saya tidak tahu.

Tentu, sebagai pelaku seni, apa yang terjadi ini bagi saya merupakan sebuah ancaman nyata bagi masa depan dunia fotografi Indonesia (termasuk mobile photography) yang sehat. Ini terjadi akibat meningkatnya ekstremisme agama lantaran penggunaan politik identitas secara terus-menerus di tanah air maupun lantaran bangkitnya kelompok-kelompok “Islam garis keras” dalam fenomena perpolitikan global.

Mereka, kaum pseudo-moral dan pseudo-religiusitas ini tentu saja dengan gampangnya bakal melontarkan alibi-alibi di luar esensi seni seperti “tidak Islami”, “mengumbar aurat”, “pelecehan seksual”, “bukan budaya kita, itu budaya Barat atau bahkan budaya kafir” dan sejenisnya. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top