“Art will go on. It always has. All we know is that everything is different; we don’t know how, only that it is. The unimaginable is now reality,” merupakan kutipan dari Jerry Saltz, kritikus dan kolumnis seni untuk majalah New York. Ia menulis mengenai posisi dunia seni di tengah pandemi ini, yang tidak menentu. Padahal seni memilik peran besar untuk membantu kita semua bertahan di masa pandemi.
Data Koalisi Seni Indonesia menyebutkan, sejak Covid-19 mewabah di Indonesia, sekitar 104 kegiatan para pekerja seni batal digelar. Kegiatan seni yang ditunda penayangan atau pertunjukannya tersebut di antaranya 13 film, 44 jadwal konser, tur, maupun festival musik, 13 agenda pameran seni rupa, 8 kegiatan pertunjukan tari, serta 25 pentas teater, pantomim, wayang, serta dongeng.
Bagi sebagian seniman yang telah memiliki akses ke media-media, mungkin hal tersebut tidak terlalu terasa. Namun bagaimana dengan pelaku seni dan industri seni kecil, pekerja seni, kru panggung, dan event. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang dikomandani Wishnutama sudah sepatutnya memberikan perhatian lebih kepada mereka. Terlebih di Indonesia saat ini belum ada jaring pengaman sosial untuk pelaku seni.
Sejak diberlakukan social distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), para seniman dan pekerja seni praktis tak lagi bekerja. Selama ini kita tahu aktivitas kesenian sangat bergantung pada patron/pendanaan privat, sponsorship, dan mekanisme pasar.
Mereka yang terdampak langsung Covid-19 sangatlah banyak. Dalam bidang jasa dekorasi saja, jika ada lebih dari 50 orang yang bergerak dalam jasa sound system, kru panggung, dan event.
Dari 50 orang tersebut dalam satu event saja, bisa ratusan orang. Nah, saat ini mereka tak bekerja lagi. Itu terjadi sejak adanya larangan aktivitas yang melibatkan kerumunan masa. Aktivitas ini termasuk pameran, konser, syukuran, resepsi perkawinan dan event lainnya.
Saya mendukung langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Tidak masalah jika penanganan corona Covid-19 memakan waktu hingga enam bulan. Tapi pemerintah juga harus mempertimbangkan nasib para pekerja seni, kru panggung, dan event.
Hajatan Kemenparekraf berupa konser solidaritas “Bersama Jaga Indonesia” yang akan tayang live pada Hari Sabtu, 16 Mei 2020, pukul 20.00 WIB di beberapa TV Nasional yaitu Kompas TV, RCTI, SCTV, Trans 7, NET, dan ANTV saya kira menjadi inisiatif yang bagus dari Menparekraf Wishnutama. Semoga menjadi solusi jangka pendek yang tepat.
Kendati demikian, konser yang sejatinya digelar dengan tujuan menggalang dana bagi teman-teman yang terdampak COVID-19 ini, benar-benar dilakukan tanpa mengganggu anggaran Kemenparekraf. Jika konser yang dilakukan atas kerjasama Kemenparekraf dengan rekan-rekan seniman kelas atas, selebritis, dan juga beberapa stasiun televisi swasta tersebut menguras anggaran Kemenparekraf, hal itu tidak dapat ditolerir.
Saya memberikan apresiasi yang sangat tinggi jika kegiatan itu dilakukan melalui mekanisme CSR stasiun televisi dan kerelaan dari para pengisi acara untuk tidak dibayar. Kita tahu untuk membayar airtime TV itu berapa duit, belum dana untuk membayar seniman dan selebritis papan atas yang akan tampil. Saya sangat mengapresiasi jika konser tersebut dilakukan tanpa membebani kas negara.
Namun jika yang terjadi adalah para pengisi acara dan stasiun TV tersebut malahan dibayar mahal oleh Kemenparekraf , maka itu akan mencederai semangat seniman lainnya untuk terus bangkit di masa sulit sekarang ini.
Mengapa demikian? Dalam juknis program pentas di rumah yang dikeluarkan oleh Kemenparekraf disebutkan, seniman diminta mendaftar. Seniman perorangan diberikan apresiasi sebesar Rp. 500.000, sedangkan kelompok akan mendapatkan apresiasi Rp 1.000.000, serta hanya dibatasi untuk 100 penampil saja. Tentu sangat tidak layak jika dihitung biaya untuk pementasan dan kebutuhan pribadi para seniman.
Semua orang membutuhkan dana bantuan langsung tunai untuk pengganti pendapatan yang hilang selama masa pandemi Covid-19 ini. Untuk itu jika konser tersebut menggunakan anggaran Kemenparekraf, maka lebih baik anggarannya digunakan untuk kesejahteraan pelaku seni dan pelaku industri kreatif kecil lainnya yang sangat terdampak wabah.
Banyak pelaku industri seni dan kreatif yang tidak termasuk ke dalam golongan masyarakat yang berhak menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah. Mereka bukan pula pekerja formal yang terdata baik oleh pemerintah, atau menjadi bagian suatu lembaga atau institusi yang pegawainya digaji tetap.
Para pelaku industri kreatif banyak hidup dari satu proyek ke proyek lain, tak sedikit mengandalkan kerumunan serta interaksi masyarakat untuk menjual karya. Pak Menparekraf Wishnutama pasti paham ini, saya tahu karena pernah kerja bareng di kepanitiaan Visi Indonesia.
Contohnya, orang yang bergerak dalam jasa sound system, kru panggung, event, juga pemusik di café, hingga pengamen. Mereka sangat membutuhkan bantuan. (SI)