Menjadi Muslim berarti memilih jalan selamat. Tidak hanya bagi diri sendiri, melainkan juga bagi sesama. Itulah mengapa misalnya, bahkan salat jamaah yang kebaikannya sudah tak diragukan, tidak dianjurkan untuk digelar di tengah jalan raya sebab dapat mengganggu hak pengguna jalan.
Pun tawakal yang menurut Habib ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad dalam al-Nashaih al Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah termasuk “asyraf al-maqam al-muqinin”, paling mulianya derajat orang-orang yang teguh keyakinan, tak bisa dijalankan secara sembrono tanpa menengok kanan-kiri. Di sinilah, pembagian tawakal ke dalam beberapa mode menemukan signifikansinya.
Al-Ghazali, dalam Ihya ‘Ulum al-Din membagi tawakal menjadi tiga mode. Mode pertama untuk kalangan khawas, jajaran para ‘eksekutif’. Satu contoh klasik orang yang tawakal dengan mode ini adalah ia yang mengembara ke gurun sahara tanpa bekal, kecuali kepercayaan total atas karunia Allah. Toh, misalkan ia mati kelaparan, ia akan terima takdir itu dengan gagah dan penuh kerelaan.
Mode kedua adalah tawakalnya orang yang tidak sampai mengembara, melainkan hanya duduk manis di rumah atau di masjid. Secara kasat mata, kalangan ini memang tidak bekerja, tetapi jika dicermati ulang, sejatinya ia juga bekerja. Dengan masih menetap di wilayahnya saja, sejatinya ia sedang mengunduh pintu rezeki, walaupun secara tidak langsung. Barangkali akan ada penduduk setempat yang peduli, kemudian menjadi penyambung Kuasa Tuhan untuk menyampaikan rezeki kepadanya.
Mode ketiga adalah tawakkul al-muktasib, tawakalnya cah kerjo. Tawakalnya orang yang giat bekerja mencari nafkah. Orang yang memilih mode ini disebut tawakal bukan lantaran ia tak bekerja atau meninggalkan kausa-kausa, melainkan karena ia sudah tak lagi bersandar pada kekuatannya atau berbangga atas pencapaian dirinya. Ia pun yakin bahwa Allah-lah yang memudahkannya dalam mencari penghidupan, Allah juga yang mengatur efektivitas upaya-upayanya. Selain itu, karena kesetiannya mencari nafkah sesuai koridor syar’i. Dengan demikian, usahanya itu tidak sedikitpun menciderai tawakalnya.
Dari tiga mode tawakal di atas, mode ketiga jelas lebih kompatibel bagi orang yang mempunyai tanggungan keluarga. Sebagaimana maklum bahwa seorang kepala keluarga bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan keluarganya baik di dunia maupun di akhirat. Bagi yang tidak bertanggung jawab tentu akan berdosa. Sebagaimana keterangan dalam hadis,
“Cukuplah berdosa bagi orang yang menelantarkan keluarganya.”
Nah, tawakal mode ini dapat menyelamatkan seseorang dari ancaman semacam itu. Oleh sebab itu, al-Ghazali menarik garis tegas antara tawakalnya orang yang berkeluarga (al-mu’il) dengan orang yang tak berkeluarga (al–munfarid). Ia menyatakan, “Tidak mungkin bagi orang yang punya kewajiban menunaikan hak-hak anggota keluarganya kecuali tawakal [mode] pekerja, yakni tawakal mode ketiga, sebagaimana tawakalnya Abu Bakar al-Shiddiq Ra.”
Lebih lanjut, al-Ghazali menegaskan, “… Sedangkan memasuki sahara dan meninggalkan keluarga atau lepas tangan dari urusan mereka dengan alasan tawakal hukumnya haram. Sebab hal itu dapat menghantarkan mereka pada kebinasaan. Ia pun kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya.”
Senada dengan al-Ghazali, Habib ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad dalam al-Nashaih al Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah juga telah memberi warning. “Adalah haram bagi seseorang berpangku tangan atas pekerjaan yang ia mampui dan ia butuhkan, membiarkan diri dan keluarganya terlantar dan meminta-minta.”
Al-Ghazali menambahkan bahwa orang yang tawakal dengan mode ketiga demi menafkahi keluarga, atau untuk menyedekahkan hasil usahanya kepada fakir miskin, sejatinya ia hanya bekerja secara fisik. Sedang hatinya sudah tak lagi mengandalkan pekerjaan itu. Pada kondisi ini, ia menjadi lebih mulia daripada mutawakkil mode kedua yang hanya duduk manis di rumah.
Tawakal dalam konteks kesehatan antara orang yang berkeluarga dan yang tidak berkeluarga pun tak bisa disamakan. Apalagi kesehatan adalah modalitas utama seseorang dalam beraktivitas. Logika sederhananya, bagaimana mungkin seseorang dapat mencari nafkah secara optimal sedang kesehatannya sendiri bermasalah? Alih-alih mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, bukan mustahil ia justru menambah beban bagi keluarganya.
Jika kita elaborasi lebih jauh, mode-mode tawakal yang sedari tadi kita bicarakan dalam ranah domestik dapat pula ditarik ke ranah publik. Seorang pejabat negara yang punya tanggung jawab atas rakyat umpama, tentu berbeda mode tawakalnya dengan tukang becak yang sekadar bertanggung jawab atas anak istrinya. Adalah masalah jika sorang presiden tiba-tiba lari dari istana, lalu masuk ke hutan tanpa bekal apapun dengan alasan sedang memempuh tawakal mode khawas.
Dengan demikian pula, poin utama pembagian tawakal ke dalam tiga mode secara hierarkis tadi bukan semata menunjukkan mode mana yang lebih utama, melainkan lebih kepada memberi keluasan. Dengan alternatif yang ada, seseorang bisa memilih mode mana yang kompatibel dengan peran dan tanggung jawabnya. Pada intinya, seseorang mesti memilih mode tawakal yang paling sesuai dengan posisi atau perannya.
Tanggung jawab apapun bukanlah mani’ atau penghalang bagi seseorang untuk bertawakal. Pun tawakal bukan alasan menanggalkan tanggung jawab. Sebab tawakal bersifat distributif. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pribadi mutawakkil secara kafah dengan modenya masing-masing. Jadi, sebelum tawakal, kalau Anda adalah orang tua, pikirkanlah anak istri. Kalau Anda kepala desa, pikirkanlah masyarakat. Kalau Anda bos, pikirkan karyawan. Kalau Anda Kiai, pikirkanlah santri.