Kalau ada yang menghegemoni wawasan eskatologi kita hari ini, nampaknya, bukan Socrates, Nietzsche, ataupun Ghazali, melainkan televisi. Coba perhatikan bagaimana televisi secara rutin dan monoton menayangkan kisah dengan tokoh antagonis yang nyaris seratus persen jahat. Dan ending-nya, sebelum tokoh itu benar-benar dibunuh oleh pengarang cerita, ia akan diazab sebagai ganjaran atas dosa-dosa semasa hidupnya.
Demikianlah, dosa, azab, dan maut, oleh makhluk bernama televisi kerap ditampilkan dalam satu segmentasi secara bergandengan. Saking seringnya, seolah ketiganya adalah kembar siam yang mustahil dipisahkan. Pun ketiganya cenderung saling diidentikan. Spontan, ketika berbicara soal kematian yang muncul di benak kita hanya dua “saudara”-nya yang sama-sama mengerikan, yaitu dosa dan azab. Benarkah kematian hanya tentang hal yang mengerikan sebagaimana divisualkan oleh jagat industri pertelevisian?
Salah satu ayat yang populer mengenai kematian dan agaknya cukup sering disalahpahami adalah Qs. Ali-Imran [3]: 185, “Setiap yang makhluk yang bernafas akan merasakan kematian.” Menyimak penggalan ayat ini kebanyakan orang akan bergidik ngeri, sebab secara terang menginformasikan bahwa segala yang bernafas akan mati. Namun, pernahkah terbayang bahwa informasi yang kita anggap mengerikan ini justru turun untuk menghibur Nabi Muhammad Saw.?
Kala Rasulullah sering didustakan, ditentang, dan didurhakai oleh sementara orang yang tidak beriman, sewajarnya manusia hati beliau juga dihinggapi rasa sedih. Allah menghibur hati beliau pertama dengan informasi berisi fakta sejarah bahwa para nabi terdahulu juga mendapat perlakuan yang sama, sebagaimana ditegaskan dalam Qs. Ali-Imran [3]: 184. Kedua, dengan ayat di atas tadi, bahwa semua makhluk yang bernafas, termasuk para pendusta Nabi, akan mati dan menerima balasan yang setimpal dengan amalnya.
Menurut al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, aksentuasi ayat ini dalam menghibur Nabi terletak pada dua aspek. Pertama, bahwa kematian adalah ending segala kesengsaraan dunaiwi. Kesengsaraan dan kesedihan akan sirna. Kedua, bahwa setelah negeri ini, akan ada negeri lain di mana akan tampak bedanya orang baik dengan orang jahat. Di sana pula setiap orang akan mendapat ganjaran setimpal. Dua aspek ini, terang al-Razi, sangat efektif menghilang kesedihan dan kesusahan dari hati orang-orang berakal.
Memang benar dalam QS. al-Maidah [5]: 106, misalnya, kematian disebut sebagai musibah. Namun, mengutip M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qu’ran, agaknya istilah ini lebih sering ditujukan kepada manusia yang durhaka, atau kepada mereka yang ditinggal mati, dan bukan kepada orang yang meninggal itu sendiri. Sementara bagi manusia yang beriman dan beramal saleh, kematian justru menjanjikan banyak kenikmatan. Tak heran bila banyak ulama tak sepakat jika kematian dikategorikan sebagai mudarat (dlarar).
Al-Razi termasuk yang tak sepakat jika kematian disebut sebagai mudarat. Salah satu hujahnya, karena bagi jiwa-jiwa yang telah purna ilmu dan akhlaknya, menyatu dengan jasad adalah penderitan semata. Sedangkan berpisah dari dunia, yang itu berarti mati, adalah sumber kebahagiaan.
Dalam hadis riwayat ‘Abdullah bin ‘Amr kematian disebut tuhfat al-mukmin, anugerah atau sesuatu yang bernilai bagi Mukmin.
تُحْفَةُ الْمُؤْمِنِ الْمَوْتُ
“Anugerah berharga bagi seorang Mukmin adalah kematian.” (HR. al-Baihaqi)
Maklum bahwa dunia adalah tempat berjuang melawan godaan, tempat bersabar menghadapi cobaan dan ujian yang datang silih berganti. Dengan kematian, perjuangan dengan segala bentuk kepayahan itu berakhir. Sehingga sangat tepat kematian dibilang suatu anugerah, hadiah, bagi seorang Mukmin. Dengan demikian, tak salah jika ada pendapat yang menyatakan bahwa kematian adalah pembebasan yang hakiki.
Mengomentari hadis ini, al-Thayyibi dalam al-Kasyif ‘an Haqaiq al-Sunan, menyebut banyak hal menggembirakan tentang kematian. Ia menyebut kematian sebagai perantara menuju kebahagian agung, wasilah untuk beroleh derajat luhur, sebab yang mengantarkan manusia meraih kenikmatan abadi. Seperti juga kata Hayyan bin al-Aswad, “Kematian adalah jembatan penghubung antara pecinta dengan Sang Kekasih.”
Selanjutnya, bagi al-Thayyibi kematian tak lain adalah migrasi lintas alam. Dalam hadis yang dikutip al-Razi ketika menafsiri Qs. al-‘Ankabut [29]: 57, “Orang-orang Mukmin tidak mati. Tetapi mereka hanya dipindahkan dari satu negeri ke negeri yang lain.” Sebagian ulama, termasuk al-Ghazali dan al-Thayyibi bahkan menyatakan, bahwa sejatinya kematian adalah kelahiran kedua. Dengan demikian kematian bukanlah berarti kebinasaan. Kematian juga merupakan salah satu gerbang menuju surga. “Tanpa kematian,”, kata al-Thayyibi, “tak akan ada surga.”
Dalam hadis lain riwayat Jabir yang dikutip al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman, disebutkan, “Tidur adalah saudaranya kematian.” Hal ini cukup beralasan. Pasalnya, ketika tidur jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah) lepas atau terputus dari keterikatannya dengan badan kasar (dzahir al-badan). Sementara dalam kematian, jiwa itu terputus sama sekali baik dengan keterkaitannya dengan badan kasar (dzahir al-badan) maupun badan halus (batihin al-badan). Dengan demikian, al-Razi ketika mengulas Qs. Al-Zumar [39]: 42, berkesimpulan, bahwa kematian dan tidur adalah satu jenis. Namun yang terjadi dalam kematian adalah keterputusan jiwa secara sempurna. Sedangkan dalam tidur keterputusan antara jiwa dan badan bersifat tak sempurna.
Dari sekian pandangan di atas, kita tahu bahwa maut tak seseram yang dibayangkan. Ia tak sesempit yang ditayangkan oleh industri pertelivisian. Kalaupun ada yang mengerikan dari kematian, sebetulnya bukanlah kematian itu sendiri, melainkan ketidaksiapan menghadapinya. Sementara bagi yang jiwanya sudah siap, sambil tersenyum ia berucap seperti penyair yang dinukil oleh al-Qusyairi dalam Lathaif al-Isyarat, “Kalaulah aku diseru untuk mati, aku ‘kan mati dengan penuh ketaatan. Kepada Sang Penyeru ‘kan kuucap: Selamat datang!”