Ibn al-Kharrath dalam al-‘Aqibah fi Dzikr al-Maut menukil sebuah riwayat yang disandarkan kepada Kanjeng Nabi. “Seandainya hewan-hewan ternak itu tahu tentang kematian sebagaimana yang kalian ketahui, niscaya kalian tak ‘kan pernah menyantap daging hewan gemuk.” Sedemikian mengerikannya, hingga hewan pun, andai bisa mempersepsinya, jadi tak nyenyak tidur dan tak enak makan. Bagaimana dengan mayoritas manusia yang kadung mempersepsi kematian sebagai petaka?
Namun faktanya, dalam banyak riwayat kita diperintah untuk sering mengingat kematian. Dalam al-Tadzkirah bi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah, al-Qurthubi menyitir Sabda Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah.
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi.”
Dalam banyak keterangan, pemutus segala kesenangan ini (hadim al-ladz-dzat) ditafsiri dengan kematian. Jadi, menurut hadis ini kematian adalah destruktor syahwat. Pertanyaannya, mengapa syahwat harus didestruksi? Mengapa pula harus dengan (mengingat) kematian?
Telah maklum bahwa manusia diuji dengan kecintaan terhadap dunia sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali Imran [3]: 14.
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia, cinta terhadap apa yang diinginkan berupa pasangan-pasangan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, serta sawah dan ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”
Dalam pandangan al-Ghazali, referen-referen yang disebut dalam ayat ini membentuk keterpautan, pertama dengan hati dalam bentuk kecintaan dan orientasi duniawi. Tak pelak, seseorang rentan terjangkit penyakit hati seperti sombong, iri, dengki, riya, dan semacamnya. Kedua, keterpautan dengan fisik dalam bentuk kesibukan bergelut dengan urusan duniawi, sehingga seseorang rentan lupa bahkan terhadap dirinya, lebih-lebih tempat kembalinya kelak. Di sinilah, manusia memerlukan semacam shock therapy, antara lain dengan mengingat kematian.
Signifikansi mengingat kematian juga tersurat dalam hadis riwayat Anas bin Malik, sebagaimana dikutip al-Suyuthi dalam Syarh Shudur bi Syarh Hal al-Maut wa al-Qubur, dari Ibn Abi Dunya berikut.
أَكْثرُوا ذكر الْمَوْت فَإِنَّهُ يمحص الذُّنُوب ويزهد فِي الدُّنْيَا فَإِن ذكرتموه عِنْد الْغنى هَدمه وَإِن ذكرتموه عِنْد الْفقر أرضاكم بعيشكم
“Perbanyaklah mengingat kematian. Sungguh mengingat kematian dapat membersihkan dosa dan mengurangi kesenangan terhadap dunia. Kalau kalian mengingatnya saat kaya, ia akan meruntuhkan kekayaan itu. Kalau kalian mengingatnya kala miskin, itu akan membuat kalian rela dengan kehidupan.”
Kematian seakan pembicara atau lebih tepatnya pemberi nasihat dengan dua kalangan mitra bicara. Kepada audiens pertama, yakni umumnya orang-orang yang dianugerahi kelapangan hidup, khususnya orang-orang kaya, ia berpesan agar mereka tidak tertipu dan merasa damai oleh kenikmatan duniawi. Sebab ada masanya semua itu akan berakhir dan lenyap. Sedang kepada audiens kedua, yakni mereka yang diuji dengan kesempitan hidup semisal kefakiran, kematian berpesan agar mereka rela dengan keadaan. Toh, untuk apa merasa sedih lantaran tak memiliki kekayaan yang sejatinya tak kekal?
Al-Qurthubi, masih dalam al-Tadzkirah bi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah, mengutip pandangan Abu Ali al-Daqqaq, bahwa orang yang banyak mengingat mati akan dimuliakan karena menyegerakan taubat, hatinya qanaah, serta giat beribadah. Sedangkan orang yang alpa terhadap kematian dibuat susah dengan penundaan taubat, tak rela dengan rezeki yang mencukupi kebutuhannya, dan malas beribadah.
Satu lagi manfaat mengingat mati yaitu dapat melunakkan hati. Suatu ketika, seorang perempuan datang mengadu kepada Aisyah Ra. perihal hatinya yang keras. Aisyah pun menyarankan agar perempuan itu banyak mengingat kematian. Sebab dengannya hati akan menjadi lunak. Ia pun melakukan saran Aisyah dan terbukti berhasil. Demikian pula al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din menyatakan, “Hati yang tidak ditempa dengan mengingat kematian dan banyak beribadah akan mengeras dan kasar.”
Sedemikian dahsyat fadilat mengingat mati. Tak heran banyak ulama yang menjadikan dzikr al-maut sebagai bagian dari kurikulum pendidikan spritual. Mulla Ali al-Qari, misalnya, dalam Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih menuturkan kisah Maulana Nur al-Din Ali al-Muttaqi, seorang Wali yang membuat semacam kantong untuk ditulisi kata “maut”. Benda ini lalu dikalungkan kepada para muridnya agar mereka senantiasa sadar bahwa kematian itu dekat, tidaklah jauh. Harapannya, supaya murid-muridnya terdorong untuk memangkas angannya dan memperbanyak amalnya.
Hari ini kita digempur budaya memperturutkan kesenangan. Apa saja dilakukan demi menggapai kesenangan, kendati itu hanya bersifat sementara. Kita juga semakin susah untuk membedakan kebutuhan dan keinginan, antara yang pokok dan yang sekunder, antara fungsi praktis dan nilai estetis. Semuanya tampak kabur, tapi kita asyik saja, mungkin karena kadung kehilangan kepekaan. Kita pun berlomba-lomba mendandani fisik, menumpuk materi, sembari mengabaikan nurani. Namun, jika kita sadar, inilah momentum untuk bersering-sering mengingat kematian.
Secara pragmatis diproyeksikan mengingat kematian diproyeksikan agar manusia sampai pada pemahaman holistik nan membebaskan. Bahwa hakikat dunia fana belaka, sekadar modalitas menuju akhirat baka. Bahwa mengejar kesenangan duniawi tak ubahnya mengejar bayangan sendiri. Ringkasnya, mengingat kematian menjadi semacam kritik terhadap cara hidup masyarakat modern yang cenderung hedonis.
Mari kita renungkan ungkapan Ismail Haqqi bin Mushthafa al-Istanbuli dalam tafsrinya, Ruh al-Bayan. “Ketahuilah bahwa kematian adalah musibah besar, ujian yang dahsyat. Tetapi ada yang lebih besar, yakni lalai, berpaling dari mengingat dan jarang memikirkannya. Serta tidak menyiapkan bekal untuk menghadapinya.”