Di masa darurat seperti sekarang, tidak sedikit orang berpandangan sinis terhadap agama. Agama dinilai sebagai pengetahuan yang pasif, dan jauh berada di bawah sains, terutama dalam menghadapi wabah. Nirwan Ahmad Arsuka, esais asal Barru, Sulawesi Selatan dalam esainya, “Sains di Tengah Wabah Corona”, yang dimuat Harian Kompas 5 Juni 2020 mengatakan, “Ledakan pandemi Corona adalah rapid test yang bagus untuk menguji klaim superioritas beragam jenis pengetahuan.”
Pendiri Pustaka Bergerak itu segera menyimpulkan, “…. Hasil test itu segera menunjukkan bahwa agama yang meletakkan diri paling superior itu ternyata adalah jenis pengetahuan yang paling banyak diam menghadapi Corona. Barangkali sumbangan terbesarnya itu justeru dengan tidak berbuat apa-apa itu. Dengan bersikap patuh pada anjuran sains, agama telah sangat membantu memutus rantai penularan wabah.”.
Terlepas apakah Arsuka menyimpan semacam dendam, kecemburuan, atau kejengkelan terhadap (pengetahuan) agama–yang seperti juga diakuinya–oleh beberapa pihak getol digaungkan, dijunjung, dan diunggulkan daripada pengetahuan sekuler. Nyatanya, pada fase-fase tertentu keraguan macam itu terkadang muncul tak terhindarkan. Bahkan dari kalangan umat beragama sendiri. Keinginan kuat untuk lekas bebas dari cengkeraman wabah pada akhirnya membuat sementara orang tak sabar dan bertanya-tanya semisal, benarkah doa yang diajarkan oleh agama-agama mampu membantu seseorang bertahan melawan serangan virus?
Seorang kardiolog dari Kansas City Heart Rhythm Institute, Dr. Dhanunjaya Lakkireddy, punya harapan besar akan hal itu. Dokter yang mengaku dibesarkan dari keluarga beragama Hindu itu beserta ilmuwan lain di bawah naungan lembaga tersebut, sejak awal Mei lalu tengah meneliti peran doa terhadap hasil klinis pasien infeksi Covid-19. Saat diwawancarai oleh NPR ia menyampaikan, “Kami semua percaya pada ilmu pengetahuan, dan juga percaya pada iman. Jika ada kekuatan supranatural, yang banyak dari kita percaya, akankah kekuatan doa dan intervensi Ilahi merubah hasil dengan cara yang terpadu? Itulah pertanyaan kami.”
Lakkireddy, seperti umumnya umat beriman lainnya, memiliki harapan besar bahwa agama akan membawa keselamatan bagi manusia. “Saya percaya pada kekuatan agama. Saya pikir, jika kita percaya pada keajaiban Tuhan dan kebaikan universal yang dimiliki tiap agama, mestinya kita bisa saling bahu-membahu, menggabungkan kekuatan dari tiap-tiap agama, bersama-sama untuk satu tujuan menyelamatkan umat manusia dari pandemi ini.”, tuturnya kepada NPR, Jumat, 1 Mei 2020.
Mendahului penelitian Lakkireddy yang sedang berlangsung itu, Dr. Brick Johnstone, seorang profesor dari University of Missouri juga pernah melakukan penelitian serupa. Sebagaimana dikutip CNN Indonesia, Johnstone mengatakan kepada Medical Daily, “Penelitian yang telah kami lakukan menunjukkan bahwa jika Anda memiliki keyakinan yang positif, seperti keyakinan beragama kepada Tuhan yang pengasih, dan jika Anda memiliki dukungan dari Jemaat (komunitas doa) Anda, hal-hal itu akan membantu Anda mendapatkan kesehatan yang lebih baik.”
Tetapi, bahkan, dengan atau tanpa adanya penelitian semacam itu, keimanan yang menancap kokoh di dalam hati telah cukup kuat sebagai landasan untuk memercayai keampuhan doa yang dalam banyak teks agama disebut sebagai sebab yang dapat merubah takdir. Namun demikian, fakta bahwa tidak sedikit doa yang tidak secara rill tidak berdampak apa-apa terhadap sesuatu yang kita hajatkan, itulah yang seringkali mengusik keyakinan kita.
Oleh karena itu, patut dicatat bahwa bagaimana pun ampuhnya doa, ia tetap berkelindan dengan faktor-faktor lain yang juga mesti kita insafi. Ibn al-Qayyim al- Jauziyah dalam al-Jawab al-Kafi li Man Saala ‘an al-Dawa’ al-Syafi mendaftar beberapa hal yang dapat memengaruhi efektivitas doa. Adakalanya efektivias doa menjadi berkurang lantaran kelemahan doa itu sendiri. Misalnya karena doa-doa dipanjatkan mengandung sesuatu yang tak disukai Tuhan, seperti permusahan.
Adakalanya juga karena saat berdoa, kita belum menghadap kepada-Nya secara total. Ketika itu, doa ibarat busur panah yang terlalu kendor sehingga tidak mampu melesatkan anak panah tepat mengenai target. Demikian pula doa bisa menjadi tidak efektif lantaran adanya faktor-faktor penghalang. Semisal, karena mengonsumsi barang terlarang, berbuat zalim, kotornya hati oleh dosa-dosa, maupun alpanya hati dari mengingat Allah.
Sebagaimana judulnya yang jika diterjemah kurang lebih menjadi “Jawaban Purna Bagi Orang yang Bertanya Tentang Doa Penyembuh”, dalam bukunya itu Ibn al-Qayyim al- Jauziyah mengupas serba-serbi doa. Termasuk kaitannya dengan bala ataupun penyakit. Yang menarik, ulama mazhab Hanbali yang juga seperguruan dengan interpretator besar Ibn Katsir ini pun mengurai dialektika antara doa dan bala.
Menurutnya, ada tiga macam bentuk dialektika itu. Boleh jadi doa menempati posisi yang lebih kuat dibanding bala itu sendiri. Ketika dalam posisi ini, doa akan berhasil dengan sangat mudah memukul mundur bala itu. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, yakni posisi doa lebih lemah, bala itu bisa unggul sehingga ia tetap menimpa seorang. Meskipun juga sangat mungkin doa itu meringankan bala. Boleh jadi juga kekuatan doa dan bala seimbang, sehingga keduanya akan senantiasa begelut, mencoba saling mengalahkan.
Betapapun, kita percaya bahwa doa adalah senjata bagi umat yang beriman. Tetapi, bukankah bahkan senjata terbaik sekalipun tak akan banyak menolong seseorang dari serangan musuh jika hanya diasah atau disandang, dan tidak didayagunakan? Demikian pula dengan doa. Oleh karena itu, sebaik-baik doa adalah yang dihayati dengan penuh keyakinan serta diamalkan dengan penuh kesungguhan dalam laku perbuatan. Bukan sekadar doa yang secara formal hanya dirapalkan.
*Tulisan ini adalah bagian dari kompetisi Esais Muda Pesantren yang diadakan oleh Alif.id dan Kemenag tahun 2020.