Sebagaimana maklum, manusia terdiri dari jiwa dan raga. Jika raga bisa sakit karena faktor-faktor tertentu, jiwa pun demikian. Memang tampaknya, rumah sakit yang menangani pasien sakit fisik terlihat lebih ramai. Pun lebih banyak jumlahnya daripada rumah sakit jiwa. Tetapi sebetulnya, ketimbang raga, jiwa kita lebih rentan terhadap penyakit. Bukankah hanya sedikit dari kita yang setiap hari merasakan batuk, pilek, atau demam di saat hampir setiap hari rata-rata kita dibuat kesal oleh banyak hal?
Jiwa yang sehat adalah jiwa yang tidak didominasi oleh sindrom-sindrom kejiwaan seperti marah, panik, dan sebagainya. Kurang lebih demikian Ahmad bin Sahl al-Balkhi dalam Mashalih al-Abdan wa al-Anfus mendefinisikan kesehatan mental. Sementara, jiwa yang sakit adalah sebaliknya. Ketika hari-hari Anda dikuasai oleh kesedihan, amarah, dan seterusnya, maka kondisi kesehatan mental Anda sedang bermasalah. Sialnya, banyak pandangan medis mengungkap bahwa kondisi kejiwaan juga berdampak atau memengaruhi kesehatan fisik.
Selanjutnya, al-Balkhi menjelaskan bahwa kesedihan adalah faktor utama yang paling menentukan kesehatan mental. “Sesungguhnya yang memimpin sindrom-sindrom itu adalah kesedihan. Ia bak asal bagi sindrom-sindrom itu. Ia menjadi permulaan. Ia ada bersama setiap sindrom kejiwaan.”, tulis al-Balkhi. Ini artinya, kesedihan adalah induk aneka gangguan mental. Dengan demikian, kesedihanlah yang mesti pertama kali dihindari, atau segera diobati jika terlanjur menimpa.
Tetapi kita tahu bahwa tak mungkin mengobati suatu penyakit sebelum benar-benar mengetahui penyebabnya. Jika yang ingin diobati adalah rasa sedih, kita harus tahu apa itu sedih, apa pula yang menjadi penyebabnya. Baru kemudian kita bisa menyusun langkah-langkah untuk mengatasinya.
Al-Kindi, filosof Muslim pertama, punya buku kecil yang berbicara panjang lebar mengenai kesedihan. Buku itu dinamai Risalah al-Kindi fi Hilah li Daf’ al-Hazn. Dalam bukunya itu, al-Kindi mendefinisikan kesedihan sebagai penyakit jiwa yang menggejala sebab lenyapnya sesuatu yang disenangi dan hilangnya sesuatu yang diinginkan. Dengan mengacu definisi ini, secara garis besar penyebab kesedihan seseorang hanya ada dua macam. Ada kalanya karena kehilangan sesuatu yang dicinta, atau luput dari sesuatu yang didamba.
Al-Kindi lantas membagi sesuatu atau objek yang kita cinta dambakan itu menjadi dua. Pertama, sesuatu yang berada di alam materi (hissiyah). Kedua, sesuatu yang ada di alam akal (‘aqliyah). Kategori pertama, menurut al-Kindi sesungguhnya tidak ada. Sebab yang ada hanyalah sesuatu yang terdapat di alam akal, alam ide. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh konsep idealisme Platonik, bahwa dunia materi tak lain hanyalah bayangan dari sesuatu yang ada dalam ide.
Namun sayangnya, kebanyakan kita justru terpukau dan selalu terobsesi oleh materi, sesuatu yang dalam pandangan tersebut sejaitinya tidak ada. Bukankah ini sama saja dengan mengejar ketiadaan, yang pastinya akan selalu luput dari genggaman, dan akhirnya hanya akan mewariskan kesedihan?
Di samping itu, materi bersifat temporal. Harta, misalnya, sebagai materi ia mudah rusak. Mudah pula berpindah dari Anda ke tangan orang lain atau sama sekali lenyap dengan aneka macam cara. Kalau toh Anda bahagia karena harta, kebahagian itu akan sirna seiring sifat dasar harta yang sedemikian rapuh.
Bandingkan dengan ilmu, kebijaksanaan, kedermawanan, dan hal-hal lain yang bersifat batin. Yang tentunya cenderung lebih permanen, tak mudah hilang sebab dicuri, dan akan selalu bersama Anda. Dengan adanya hal-hal ini, Anda akan bahagia lebih lama. Tak heran al-Kindi memberi saran, “Jadi seharusnya, kita harus fokus menyaksikan alam akal, dan menjadikan sesuatu yang ada di dalamnya sebagai yang kita cinta, damba, dan kehendaki.”.
Lawan dari kesedihan adalah kebahagian. Menurut al-Ghazali dalam Kimiya’ al-Sa’adah, kebahagiaan yang sempurna dibangun di atas tiga fondasi yang notabene telah dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia. Tiga modalitas itu adalah akal (quwat al-’ilm), amarah (quwat al-ghadlab), dan syahwat (quwat al-syahwat).
Di antara ketiganya, fungsi akal atau ilmu sangatlah sentral. Tanpa kontrol dari akal, syahwat akan menggiring pada kehinaan yang mencelakakan. Tanpa akal, amarah akan menjadikan seseorang sembrono dan binasa. Sebaliknya ketika dua kekuatan tadi seimbang, mengikuti arahan dari akal, maka yang bersangkutan akan terbimbing menuju jalan hidayah. Jalan menuju kebahagiaan otentik.
Secara lebih lanjut, al-Ghazali menguraikan bahwa ketika amarah melebihi proporsinya, ia akan membuat seseorang gampang emosi, memukul bahkan membunuh. Ketika ia kurang dari proposrsinya, gairah dan semangatnya baik dalam urusan dunia maupun agama akan pudar. “Namun ketika seimbang ia akan melahirkan kesabaran, kegagahan, dan kebijaksanaan.”, tegas al-Ghazali.
Begitu juga syahwat. Jika melebihi kadar dosis yang diperlukan, ia akan mengarahkan seseorang pada kedurhakaan. Jika kurang dosisnya, ia justru mengantarkan seorang menjadi lemah dan apatis. Namun bila seimbang ia akan melahirkan sifat ‘iffah, qana’ah, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Tugas akal, sekali lagi adalah membimbing kedua modalitas itu sesuai proposrinya. Tanpa bimbingan akal, alih-alih bahagia, manusia akan segera menuju kebinasaan yang mengenaskan.
Betapapun, kesedihan, selain sulit dihindari juga bersifat distributif. Setiap orang pasti pernah merasakannya. Bagaimana menyiasatinya agar tak sampai melumat kita adalah kuncinya. Kita pun harus cerdas dan telaten meninjau ulang sumber-sumbernya sebagai bagian dari protokol kesehatan mental. Joko Pinurbo, penyair kita yang cerdas nan jenaka itu pernah menulis, “Jangan gelisahkan hari-harimu. Setiap hari punya geli dan basahnya sendiri. Jangan terburu-buru bersedih. Baca dulu dengan teliti hatimu. Sedih yang salah sumber masalah.”