Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa keadaan masyarakat arab sebelum datangnya agama Islam merupakan bangsa jahiliyah, yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk dan hina. Bahkan, kebiasaan itu tidak bisa diterima oleh akal sehat. Hal itu menjadi tantangan yang sangat besar bagi Rasulullah saw sebagai nabi yang diutus kepada bangsa Arab pada awalnya, dan semua makhluk pada akhirnya.
Kehidupan sosial masyarakat Arab berkelas dan bersuku-suku. Di sana terdapat pemandangan kontras, antara kaum bangsawan dan kaum budak. Kaum bangsawan dengan segala kemewahan, kekayaan, dan kehormatan yang dimiliki. Sementara, kaum budak dengan segala kekurangan dan kehinaannya yang tidak terperi.
Kehidupan antar suku penuh persaingan, sehingga sering berakibat pertikaian karena fanatisme ke-sukuan yang sangat tinggi. Setiap anggota suku pasti membela orang yang satu suku dengannya, mereka tidak peduli tindakan tersebut benar atau tidak. Mereka mempunyai prinsip yang dijadikan pedoman, yaitu:
أنصر أخاك ظالما أو مظلوما
Artinya, “Bantulah saudaramu, baik dia berbuat zalim atau dizalimi.”
Kebiasaan tidak manusiawi juga menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat Arab, seperti perlakuan terhadap wanita juga sangat zalim. Laki-laki boleh melakukan poligami tanpa batas, bahkan bisa menikahi dua wanita bersaudara sekaligus, kemudian dapat mencerai mereka semaunya.
Sementara itu, perzinahan merupakan hal biasa. Bahkan, ada suami yang menyuruh istrinya tidur dengan laki-laki lain, semata-mata hanya ingin mendapatkan keturunan mulia dari laki-laki tersebut. Kelahiran anak perempuan menjadi aib bagi mereka, bahkan sebagian dari mereka mempunyai istilah wa’dul banat (mengubur anak wanita hidup-hidup).
Tidak berakhir sampai di situ, menurut Syekh Shafiyurrahman, perjudian dan minuman keras merupakan hal yang lumrah di tengah masyarakat Arab. Bahkan, menjadi sumber kebanggaan tersendiri. Kesimpulannya, kondisi sosial yang terjadi di kalangan Arab begitu parah, hingga kehidupan berlangsung tanpa aturan layaknya binatang.
Kebiasaan jelek dan hina bangsa Arab ini menjadi tantangan besar bagi Rasulullah saw secara khusus, juga keberlangsungan ajaran Islam secara umum. Namun, betapa pun jelek dan hina kebiasaan mereka, Rasulullah selalu menyikapi dengan akal sehat agar tidak larut dalam kebiasaan itu. Sebagai pribadi yang sempurna, Rasulullah selalu menghindar dari perbuatan yang tidak berperikemanusiaan.
Akal yang cerdas juga pikiran jernih Rasulullah mampu mengamati bangsanya, membaca kondisi dan kehidupan masyarakat yang ada di sekitar. Rasulullah merasa risih, sehingga tidak bisa menerima adanya kebiasaan yang jauh dari kata baik tersebut.
Semua tindak langkah Rasulullah saat itu, ternyata sudah menjadi kepastian Allah. Sejak awal, Allah SWT telah menyiapkan kehidupan Rasulullah agar bisa menanggung misi besar yang akan dibawa dalam kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, di tengah kerusakan kaumnya, Rasulullah tidak larut, bahkan beliau menampakkan kepribadian sangat mulia sehingga bisa diakui oleh berbagai lapisan masyarakat.
Kerusakan akidah dan tradisi yang jauh dari kemanusiaan pada masa itu tidak sampai ke dalam diri Rasulullah. Sejak kecil, hal yang paling tidak disukai adalah menyembah berhala, Rasulullah enggan menghadiri upacara-upacaranya, dan tidak bersedia memakan daging dari hewan yang disembelih atas nama berhala.
Kerusakan moral pada masa itu tidak membuat jiwa Rasulullah terpengaruh. Sebagai kompensasi, Rasulullah lebih senang menyendiri dengan mengamati kehidupan manusia dan penciptaan alam yang agung. Dalam kehidupan dan pergaulan yang wajar sekira tidak sampai merusak moral kemanusiaan, Rasulullah senang bergaul dengan masyarakat melalui akhlaknya yang terpuji.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa ketetapan Allah SWT yang senantiasa memeliharanya. Jika muncul gejolak nafsu yang mendorong pada kesenangan duniawi, atau ketika ingin mengikuti tradisi yang tidak baik. Allah SWT akan menolongnya dengan memasukkan kesadaran yang memberikan batas kesadaran antara Rasulullah dan kehendak-Nya.
Syekh Shafiyurrahman dalam kitab ar-Rahiq al-Makhtum menceritakan, bahwa suatu saat Rasulullah pernah terbesit keinginan untuk menghadiri tontonan yang digelar oleh masyarakat Arab. Namun, ketika kakinya hendak melangkah, Allah swt menghalangi keinginan tersebut, dengan menjadikan tertidur hingga keesokan harinya. (Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfury, al-Rahiqu al-Makhtum, [Wazaratul Auqaf, Qatar, 2007], h. 62).
Syekh Imaduddin Abul Fida ad-Dimisqi mengatakan, Rasulullah dibesarkan oleh pamannya Abu Thalib, dan Allah SWT menjaganya dari melakukan perbuatan jahiliyah dan keburukan-keburukannya. Sebab, Allah SWT menghendaki sebagai sosok mulia hingga Rasulullah dewasa dan memiliki keutamaan di atas semua orang dari segi keilmuan, budi pekerti, etika bergaul, sikap baik kepada tetangga, kesabaran, amanah dan kejujuran.
Rasulullah tidak pernah bersenda gurau atau berdebat dengan orang lain. Semua sifat terpuji ada pada diri Rasulullah, sehingga masyarakat menyebutnya sebagai Muhammad al-amin (terpercaya). (Syekh Imaduddin Abul Fida ad-Dimisqi, Fiqhu al-Sirah al-Nabawiyah, [Bairut, Dar al-Ma’rifah, 1976], juz 1, hlm 249).
Saat itu, Nabi Muhammad saw merupakan satu-satunya penduduk yang sangat menonjol di kalangan kaumnya. Ia memiliki keluhuran akhlak, keutamaan budi pekerti serta sifat yang mulia. Rasulullah merupakan orang yang paling utama kepribadiannya, lemah lembut, jujur dalam setiap ucapan, terjaga jiwanya, paling baik amalnya, menepati janji, dan amanah ketika memegang kepercayaan. Maka tidak heran, jika bangsa Arab saat itu memberi gelar al-amin (orang terpercaya), karena dalam diri Rasulullah terdapat segala kebaikan dan kesalehan.