Kitab yang menerangkan pokok-pokok ilmu tauhid ini dikarang oleh al-Alamah Syekh Ahmad al-Marzuqi. Beliau lahir di Mesir dan menjadi seorang mufti di Makkah. Kitab ini cukup ringkas yaitu berisi 57 bait. Tidak heran jika kitab ini dijadikan pegangan di hampir seluruh pesantren di Nusantara dalam mempelajari ilmu tauhid bagi para santri pemula.
Ada kisah menarik di balik penyusunan kitab yang kurang lebih setebal 10 halaman ini. Diceritakan, pada suatu malam Syekh Marzuki bermimpi bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad Saw dan para sahabat. Beliau kemudian mendiktekan rangkain-rangkain nazam, sedangkan Syekh Marzuki mendengarkannya dengan cermat. Lalu beliau bangun dari tidurnya dan mencoba mengingat-ingat kembali apa yang Rasul katakan padanya.
Ternyata, beliau dapat mengulanginya tanpa terlupa satupun. Beliau pun tidur lagi dan kembali bermimpi bertemu dengan Rasul. Syekh Marzuqi kemudian membacakannya di hadapan Rasul dan pada sahabatnya, kemudian nabi mendoakan keberkahan dan kemanfaatan pada Syekh Marzuqi dan bait bait nazamnya yang kemudian hari kita mengenalnya sebagai nazam Aqidatul Awam.
Kitab ini tidaklah sulit untuk dipelajari. Oleh sebab itu, kitab ini dijadikan sebagai pijakan untuk mempelajari dasar-dasar akidah islam sebelum naik ke kitab-kitab yang lebih tinggi tingkatannya. Pun juga gampang dihafal dan dilanggamkan sehingga membuatnya semakin mudah dan menarik untuk dipelajari. Di dalam kitab ini dijelaskan pokok-pokok agama islam, tentang sifat-sifat wajib Allah, sifat mustahil dan jaizNya juga para malaikat dan RasulNya, nama-nama nabi dan rasul serta kitab-kitab mereka. Tak lupa juga tentang seluk beluk keluarga Nabi Muhammad Saw, garis keturunan beliau, para istri dan putra-putrinya. Serta sedikit tentang perjalanan hidupnya.
Dewasa ini, Islam telah berkembang menjadi agama yang besar dan disegani, sekaligus dimusuhi. Bahkan, di negara kita Indonesia, Islam merupakan agama yang mayoritas. Namun, dengan semua nama besar itu, tak menutup kemungkinan bahwa islam pun didera huru-hara di sana-sini. Bahkan di dalam tubuh islam sendiri. Banyak perpecahan, konflik atas nama agama, takfirisme dan perbedaan paham yang menimbulkan munculnya banyak sekte dan aliran. Itu semua disebabkan kesalahpahaman mereka dalam memahami dalil-dalil agama
Sebagian besar “cendekiawan” dan “ulama” islam -dengan naifnya- mencoba memahami secara langsung apa-apa yang terkandung dalam al-Quran dan Sunnah. Dengan embel-embel “mari kita kembali ke al-Quran dan Sunnah”, mereka mendobrak masuk ke dalam “ruang-ruang pusat kendali” agama tanpa melewati pintu-pintu dinamis di depannya. Dengan hasil akhir yang kita ketahui sekarang, banyak para mubalig yang saling mengolok-olok sesama mubalig lain, saling mengafirkan tanpa dasar yang jelas. Padahal kita tahu “al-‘ulama warasatul anbiya”. Para ulama adalah jalan bagi kita untuk mempelajari dan memahami teks-teks religius.Ialah omong kosong belaka jika ada orang yang mengajak kita untuk kembali ke al-Quran dan Sunnah tanpa berpegang pada petunjuk guru dan ulama.
Ada satu bait nazam dalam kitab yang saya resensi ini yang cukup mengena dalam memahami situasi seperti sekarang ini.
نبينا محمد قد ارسل # للعالمين رحمة و فضلا
Nabi kita, Nabi Muhammad Saw adalah nabi yang diutus oleh Allah Swt sebagai sebuah rahmat atau berkah dan kasih sayang bagi seluruh umat semesta raya. Begitulah terjemahan babasnya.
Adalah sebuah ironi jika kita menatap kondisi terkini risalah yang beliau bawa bagi dunia ini, yang mana beliau diutus untuk menjadi penyelaras dan penghubung sekaligus petunjuk kepada jalan yang hakiki tiap hati makhluk kala mereka tersesat di kehidupan mereka.
Dalam sebuah hadis dikabarkan bahwa pada suatu waktu ketika nabi dan para sahabat berkumpul di dalam masjid, salah seorang badui masuk kedalam masjid dan kemudian buang air di dalamnya. Para sahabat yang melihat kejadian itu seketika menjadi geram. Mereka ingin menghampiri si badui dan menghakiminya. Tanpa diduga-duga Nabi Saw malah melarang mereka untuk mengganggu “keasyikan” si badui tersebut. Para sahabat yang bingung melihat reaksi Rasulullah Saw kemudian bertanya, “mengapa begitu, wahai Rasulullah?”. Rasul pun menjawab, ”bukan begitu cara kita membenarkan sesuatu yang salah”. Nabi lalu menunggu si badui menyempurnakan “keasyikannya”. Selepas usai, nabi kemudian menghampirinya dan mengingatnya dengan cara yang halus tanpa perlu menghakiminya.
Bait nazam ini dan kutipan kisah tersebut nampaknya agak menampar wajah islam masa kini. Alangkah indah jika islam selalu berada pada jalur yang sebagaimana mestinya, yaitu kedamaian selayaknya arti namanya dan kasih sayang selaku sifat alamiah manusia. Itu adalah beberapa kelebihan dalam khazanah pesantren, manakala ilmu-ilmu agama dan teks-teks religius klasik diajarkan secara bertahap dan optimum, dari yang paling dasar hingga yang paling paripuna tanpa mengesampingkan hiruk-pikuk ilmu duniawi.
Wallahu A’lam bis Showab.