Ada yang spesial memasuki tahun baru Islam kali ini. Memasuki bulan Hijrah sekaligus kita memasuki bulan kemerdekaan Republik Indonesia ke 76. Spesialnya di sini, sebab keduanya mengingatkan pada momen perjuangan.
Philip K. Hitti, dalam bukunya Historis of Arabs, menyebut hijrah bukan semata-mata pelarian, tapi merupakan rencana perpindahan yang telah dipertimbangkan secara seksama selama dua tahun sebelumnya.
Klaim Hitti tidaklah keliru. Ia melihat Nabi saw. dari aspek sebagai sosok “manusia”, bukan jin atau malaikat. Menjadi kewajaran kiranya penilaian terhadap sepak terjang perjuangan beliau ditimbang dengan sudut pandang kemanusiawian yang selalu bersinggungan dengan hukum alam (sunnatullah), yakni sebab akibat. Laiknya pemimpin-pemimpin dunia yang penuh pertimbangan-pertimbangan strategis nan akurat.
Sekalipun kita yakini apa yang dilakukan nabi ada intervensi Allah secara langsung. Namun yang dilakukan beliau tidak menafikan asbabul madiyah (sebab-sebab lahiriyah), yakni “proses” seperti halnya manusia pada umumnya. Dalam artian sepak terjang beliau tak seperti sulap “bimsalabim” langsung jadi dalam sekejap.
Yang demikian itu menjadi ibrah tersendiri bagi kaum Muslim. Kita sebut dua saja, diantaranya; pertama, untuk melunturkan tuduhan orang kafir bahwa nabi majnun atau tukang sihir, seperti yang ditegaskan oleh Allah ayat ke dua surah al-Qalam. Nabi adalah manusia pada umumnya yang mendapat mandat sebagai pekabar risalah Tuhan.
Kedua, ini menjadi catatan bahwa dakwah islam menuntut segala daya upaya dan kesabaran. Sebab apa yang terpublis dalam sirah, gerak langkah nabi tidak selalu berjalan mulus, bahkan penuh onak. Untuk memasyarakatkan ayat-ayat Tuhan beliau masih berdarah-darah, padahal beliau adalah seorang kekasih.
Bukan berarti Allah tidak mampu membuat mereka iman. Di pelbagai kesempatan Allah menegaskan bahwa jikalau Dia menghendaki tentulah mereka beriman semua. Sedangkan kenyataannya banyak yang membelot dan kafir. Tujuannya, tak lain agar Nabi saw. terus berpacu dengan tanpa melupakan kuasaNya.
Hijrah merupakan perpindahan penuh rencana dengan perhitungan-perhitungan matang diafirmasi dalam proses keberangkatan Nabi bersama Abu Bakar. Beberapa sahabat turut andil dalam upaya melancarkan keberangkatan beliau.
Ulama’ kawakan, Syaikh Said Ramadhan al-Buthi dalam Fiqih Sirah-nya, memberi gambaran cukup konkret. Ali bin Abi Thalib menggantikan diri di tempat tidur Nabi saw. untuk mengelabui kafir Quraisy. Asma’ binti Abu Bakar yang lantas dijuluki dzat an-nithaq karena menyobek ikat pinggangnya untuk mengemas bekal Nabi dan Abu Bakar. Aisyah juga turut serta dalam hal itu. Abdullah putra Abu Bakar berperan menjadi intelejen yang tugasnya sebagai spionase. Amir bin Farihah, budak Abu Bakar, perannya mengembala kambing di dekat gua Tsur. Tujuannya menghapus jejak sekaligus menyuplai susu kepada Nabi dan Abu Bakar. Bahkan Abdullah bin Arqath, seorang kafir, disewa Nabi sebagai penunjuk jalan setelah diyakini tidak akan berdusta.
Hijrah sebagai strategi non kooperatif
Hijrah yang terjadi pada tahun ke 13 kenabian ini menjadi titik tolak kaum muslim dalam membangun peradaban. Melepas diri dari cengkraman jahili. Sebuah noktah dimana Islam segera menancapkan gaungnya. Sebab, di Makkah kaum Islam selalu dalam bayang-bayang teror dan intimidasi.
Ketika dedengkot kafir Quraisy tak berhasil mengubah keyakinan yang menancap di palung hati kaum muslimin dengan intimidasi dan siksaan, mereka memujuk Nabi dengan sesuatu yang menggiurkan.
Disitir dari buku Fiqih Sirah, Uqbah bin Rabi’ah, misalnya, menawari kekayaan, jabatan, dan semacamnya. Lalu turun surah al-Fushhilat (ayat 1-6) sebagai bentuk penolakan itu. Al Walid bin Mughirah dan al-Ash bin Wa’il datang hanya ingin menawari wanita paling cantik, jabatan dan lain-lain, namun karena Nabi menolak. Mereka mengajukan kompromi agar secara bergantian menyembah Tuhan di antara kedua pihak. Lantas turun surah al-Kafirun sebagai jawaban tegas menolak kompromi tersebut.
Tidak puas dengan usaha yang selalu gagal untuk membendung dakwah Nabi saw., intimidasi mencapai klimaks dengan boikot ekonomi kepada Bani Hasyim dan Bani Muthalib sekira tahun 7-10 kenabian. Kesepakatan zalim selama 3 tahun ini betul-betul menyiksa orang-orang yang posisinya berada di barisan Nabi. Tak ayal, hingga pengikut beliau makan dedaunan sekadar untuk bertahan hidup.
Tragis memang, fanatisme kesukuan, kehidupan hedonis-materialis dan paganisme merupakan realita yang menggumuli masyarakat Quraisy. Cara-cara eksploitatif, korup, dan rente begitu lumrah. Kedermawanan, misalnya, bukan semata-mata panggilan empati dari lubuk hati terdalam, tapi itu dijadikan sebagai penandasan status sosial; kebanggaan punya banyak anak laki-laki; nikah syighar: nikah yang menjadikan perempuan tak lebih dari sebagai nilai barter, hanya beberapa contoh saja.
Islam ada menolak itu. Dikatakan demikian sebab Islam tampil–terutama di Mekah– membawa pesan moral universal untuk melepas belenggu kehidupan zalim tersebut. Begitu pula Islam tampil sebagai anti establishment, status quo dan tradisi paganis yang berakar kuat dalam kehidupan Mekah.
Kehadiran Islam sebagai vis a vis dengan weltanschaung masyarakat Mekah seperti itu.
Dalam lanskap pergerakan nasional, seperti ditulis MC Ricklefs, konsep hijrah menjadi asas pijak perjuangan yang progresif. Dalam tubuh SI (Sarekat Islam), pada tahun 1923, ketika itu digawangi oleh Haji Agus Salim menolak untuk kooperatif dengan penjajahan. Kebijakan non-kooperatif ini kentara ketika ia menarik mundur anggota-anggotanya dari Volksraad (Dewan Rakyat).
Ketika sebelumnya upaya-upaya kooperatif dijalankan oleh organisasi, namun selalu menemui kekecewaan. Persisnya, seperti dalam buku “Haji Agus Salim, Karya dan Pengabdiannya”, tahun 1918 Tjokroaminoto bersama Abdul Muis pentolan SI masuk Volksraad. Sebagai cara kooperatif dengan penjajah. Tapi usaha dia tak berhasil. Lalu, pada tahun 1921 Tjokroaminoto keluar karena janji-janji penjajah tak pernah direalisasikan.
Suara-suara anggota SI di Volksraad rupanya ditumpulkan. Janji-janji dari pihak kolonial sekadar untuk menjinakkan pergerakan pribumi.
Upaya-upaya gerakan secara diplomatis tersebut terus mengalami kekecewaan. Agus Salim yang juga mengikuti jejak Tjokroaminoto, masuk di Volksraad tahun 1921, juga hengkang dari Dewan Rakyat besutan penjajah itu.
Ia kemudian, mengambil oposisi binner terhadap penjajah untuk memperjuangkan nasib pribumi. Klimaks tuntutan perjuangan ini adalah zelfbestuur (pemerintahan sendiri).
Kondisi sosial Hindia-Belanda ketika itu menjadi illat dalam munculnya konsep perjuangan berkiblat pada Hijrah Nabi saw.