Beberapa ibu muda yang berkawan dengan saya di media sosial kerap memamerkan polah tingkah anaknya. Kelucuan sang anak terekam oleh kamera ponsel pintar lalu diunggah untuk ditunjukkan ke khalayak luas. Kadang kiriman tersebut berisi teriakan, tangis, keisengan, atau keriangan sang anak.
Mencantumkan nama anak di identitas profil atau biodata media sosial juga lebih sering dilakukan para kaum perempuan. Sang ibu dengan bangga memasang nama sang anak yang biasanya diikuti emotikon hati. Yang menandakan kasih berlimpah.
Untuk urusan mengumbar bukti telah memiliki anak, pria cenderung tidak mendominasi. Kaum lelaki ini biasanya justru jenuh dan menyuruh sang istri agar tidak terlalu intens mengeksplor perkembangan sang anak.
Sebenarnya, aktivitas tersebut bisa dipandang dari sudut yang lebih mendalam. Kegiatan untuk menyebarkan hari-hari bersama sang anak yang dilakukan oleh ibunya merupakan bentuk untuk memuaskan masyarakat. Apa maksudnya?
Selama ini, masyarakat cenderung menuntut seorang perempuan untuk bisa menghasilkan keturunan selepas menjalankan pernikahan. Tindakan ikut campur masyarakat ini terkadang kelewat batas. Sudah banyak contoh yang dialami oleh pasangan muda yang baru saja melangsungkan pengikatan janji suci.
Orang-orang seolah buru-buru ingin tahu apakah perempuan tersebut sudah hamil ketika pernikahan baru seumur jagung, misalnya baru tiga bulan. Lalu akan mengomentari tentang masalah kesuburan pasangan tersebut. Pertanyaan akan semakin gencar dilontarkan tatkala tanda kehamilan tak kunjung tampak ketika pernikahan menginjak usia lebih dari dua tahun. Tanpa diminta, masyarakat akan membagikan cara-cara ampuh agar cepat dapat momongan. Termasuk trik-trik yang terkadang tidak masuk akal.
Masyarakat seperti tidak kehabisan bahan dan kehilangan akal untuk merecoki biduk rumah tangga orang lain. Dan kehamilan menjadi topik utama yang mereka bahas.
Mereka tidak melihat bahwa pernikahan bukan melulu soal keinginan untuk melanjutkan keturunan. Siapa tahu, ada banyak hal dipikirkan pasangan suami-istri sebelum memutuskan siap memiliki anak. Misalnya, para calon ayah dan ibu ini harus memastikan bahwa anak mereka kelak menjalani hidup yang layak; bukan berkecukupan secara materi saja. Jangan sampai, anak yang terlahir kelak harus menanggung dendam atau trauma bapak dan ibunya. Para calon orangtua harus melakukan upaya menghapus bekas luka masa lalu. Misalnya, memaafkan kejadian perselingkuhan yang menimpa kedua orangtua mereka sehingga ketika menjadi orangtua akan lebih berbenah dan tidak meniru contoh buruk tersebut. Orangtua juga mesti menuntaskan perasaan kesal atas perlakuan semena-mena, hukuman yang diterima ketika masih kecil, dan sederet cedera batin lainnya. Jangan membawa pola pengasuhan yang salah dari diajarkan orangtua terdahulu. Terapkan ajaran yang bagus saja. Tanamkan pula bahwa kemarahan dan aksi fisik seperti memukul bukan bentuk pengasuhan yang mendidik.
Anak tidak memilih untuk dilahirkan. Sehingga ia tidak berhak untuk memikul beban berat atas dunia yang akan dihadapinya. Perlakukan anak sebagai manusia yang memiliki kendali atas hidupnya. Jangan kekang mereka. Tapi tetap pantau agar anak tidak terpeleset ke jalan yang salah.
Kembali ke perbincangan soal ibu cenderung punya rasa bangga berlebih atas anaknya, adalah bentuk jawaban atas komentar nyinyir masyarakat yang suka menanyakan tentang kehadiran momongan.
Seorang ibu juga ingin membuktikan kepada publik bahwa ia mampu menjalankan peran sebagai ibu dan peran sebagai istri serta pekerja secara sinergis. Ini adalah bentuk perlawan terhadap pihak-pihak yang meragukan kemampuan seorang perempuan.
Para perempuan ini ingin merobohkan dinding yang menyekat tentang seorang ibu dan pekerja. Seorang perempuan tetap bisa menjalankan perannya secara utuh sebagai ibu meski tetap memilih berkiprah sebagai perempuan karier. Mereka juga ingin melunturkan anggapan bahwa perempuan hanya berfungsi sebagai mesin pencetak anak.
Sesunguhnya tren untuk untuk menggunggah kelucuan dan aksi konyol anak-anak serta memampang nama anak di media sosial juga bisa dinilai sebagai bentuk tunduk pada anggapan masyarakat. Selama ini, masyarakat memang mengkonstruksi bahwa perempuan yang sempurna haruslah yang telah berhasil melahirkan anak dari rahimnya sendiri.
Alih-alih diberikan dukungan, masyarakat justru akan menuding perempuan yang belum memiliki anak sebagai perempuan yang melawan kodrat. Jahatnya lagi, komentar tersebut acapkali dilontarkan oleh sesama perempuan.
Praktik-praktik seperti ini harus mulai dienyahkan. Tiap perempuan memiliki perjuangannya masing-masing tentang memiliki anak. Bisa jadi, ada yang memang sengaja menunda karena fisiknya belum mendukung lantaran mengalami keguguran berturut-turut. Ada yang mesti dipulihkan terlebih dahulu. Di saat inilah empati sebaiknya kembali diasah.
Selanjutnya, untuk para ibu juga jangan sedikit-sedikit mengunggah aktivitas harian anak. Ingat, jejak digital tidak bisa dihapus. Sehingga kita perlu memikirkan nasib dan masa depan sang anak kelak. Berpikirlah matang-matang sebelum memamerkan celoteh atau perangai anak. Pastikan anak tidak vulgar, maksudnya tertutup seluruh area vital tubuhnya dengan pakaian. Dikhawatirkan menjadi sasaran para predator anak.
Tak hanya itu, jangan terlalu gampang mencantumkan identitas dan seluk beluk anak. Misalnya di mana anak itu bersekolah, bertempat tinggal, dan tanggal lahirnya. Data diri ini adalah privasi. Jika dibuka kepada publik, ditakutkan akan jadi santapan para oknum jahat. Tentu kita tidak mau sang anak jadi incaran dan korban kejahatan.
Begitulah, anak dan perempuan adalah hal pelik di mata masyarakat.