Sedang Membaca
Ketika Mudik Hanya Angan-Angan

Saya mendefinisikan diri saya sebagai seorang yang gemar membaca, menulis, berenang, dan jalan-jalan. Menulis menjadi sarana saya untuk mengabadikan berbagai hal. Menulis juga melatih saya untuk mengerti arti konsistensi dan pantang menyerah. Tulisan saya seperti puisi, opini, dan feature pernah dimuat di berbagai media massa. Di antaranya di Detik, Kompas, Suara Merdeka, Wawasan, Tribun Jateng, Bangka Pos, Bali Pos, Radar Lampung, Malang Voice, dan Koran Sindo. Telah menerbitkan dua buku di Ellunar Publisher, Kumpulan Puisi Berjudul Racau dan Kumpulan Opini di Media Massa Berjudul Gelisah Membuah

Ketika Mudik Hanya Angan-Angan

Terlalu sering menonton televisi membuat saya kecil selalu berimajinasi untuk bisa tinggal jauh dari orangtua. Alasannya sederhana, saya ingin merasakan gambaran mudik lebaran seperti yang saya saksikan di laporan berita televisi.

Membayangkan bagaimana lelahnya menempuh perjalanan jauh demi bertemu sanak-keluarga setelah sekian lama merantau. Berangan-angan kedatangan saya disambut secara mengharukan oleh mama, papa, dan adik-adik saya; karena kami sudah setahun tidak bertemu. 

Kenangan soal mudik yang seperti itu nyatanya tidak pernah saya miliki. Semasa masih kecil, saya tinggal bersama nenek dari pihak mama. Sehingga kami tidak perlu mudik. Pakde, bude, tante, om, dan sepupu, dan para keponakanlah yang datang berkunjung. 

Berkunjung ke rumah nenek dari pihak papa pun tidak memerlukan banyak perjuangan seperti khayalan saya soal mudik. Paling hanya menempuh perjalanan dengan mobil dengan durasi paling lama dua jam. Karena memang Kabupaten Kendal: tempat saya tinggal dan Kota Semarang: tempat nenek tinggal, adalah dua wilayah yang berbatasan langsung.

Bahkan saya tidak harus menunggu lebaran jika memang ingin berkunjung ke Semarang. Tiap akhir pekan pun, saya sering ke Semarang. Berbelanja buku di toko buku atau berkunjung ke pusat perbelanjaan bersama orangtua atau adik saya. 

Lalu saya masih mengobarkan keinginan untuk mudik. Makanya saya bertekad kuat untuk kuliah di kota yang jauh dari rumah saya. Bandung dan Yogyakarta menjadi kota impian untuk bersekolah tinggi. Namun nasib berkata lain, lagi-lagi saya tetap harus berkuliah di kota yang sangat dekat dengan rumah saya. Saya diterima di Undip setelah gagal dalam serangkaian tes masuk perguruan tinggi negeri. 

Baca juga:  Saat Menghadapi Perbedaan, Nabi Muhammad Santai Saja

Dengan berkuliah di Undip, saya memang tinggal di kos. Tapi, itu tidak membuat saya merasakan sensasi mudik. Sepekan sekali, saya pulang ke rumah. Untuk sekadar mendapatkan kelayakan gizi dari masakan mama atau untuk menumpang cuci baju pakai mesin cuci. Daripada saya menghabiskan jatah uang saku untuk beli makan atau pakai jasa binatu. 

Hingga akhirnya saya bekerja di Jakarta. Tahun lalu, saya tidak mengalami kehebohan mudik seperti yang orang-orang alami; saya melihatnya dari televisi. Saya tidak perlu berebutan pesan tiket. Karena saya termasuk orang yang bisa berpergian dengan moda trasportasi berbagai kelas. Mau naik kereta api kelas ekonomi, ayo. Naik yang kelas eksekutif dengan senang hati. Lagipula, ke Kendal juga tersedia berbagai pilihan transportasi. Ada kereta api, pesawat (turun di bandara Achmad Yani, Semarang), mobil travel, atau bis. Kapal pun bisa, kalau mau repot. Saya juga termasuk beruntung karena bisa cuti dua minggu. Seminggu sebelum lebaran dan seminggu sesudah lebaran. Jadi tidak mengalami kendala berarti selama memesan tiket. 

Berkat pengalaman tahun lalu dan tahun ini, saya jadi paham makna mudik. Mudik adalah bentuk kemewahan. Karena banyak orang harus menyisihkan uangnya untuk membeli tiket pulang kampung. Apalagi momen lebaran termasuk puncak mahal-mahalnya harga tiket. Jadi, orang-orang rela berhemat jauh-jauh hari demi bisa menebus harga tiket tersebut. Belum lagi harus menabung lebih keras lagi untuk berbagi THR kepada sanak-saudara di kampung halaman. Seperti yang kita tahu, telanjur ada konstruksi bahwa lebaran adalah momennya saling bertukar “salam tempel” kepada kerabat yang lebih muda. Konstruksi ini juga disertai anggapan bahwa mereka yang merantau ke kota adalah simbol kesuksesan dan kekayaan setiap kali mudik. 

Baca juga:  Dikit-Dikit Kadrun, Dikit-Dikit Khilafah: Paranoia?

Begitulah kemewahan tentang mudik. Namun ada kemewahan yang tak ternilai harganya yang saya pahami soal mudik. Mudik adalah momentum sakral di mana seorang ibu menanti kedatangan anak-anaknya pulang setelah lama tak bersua, entah itu karena sudah berumah tangga, bekerja, atau menyelesaikan sekolah. 

Ada ibu yang rela mempersiapkan makanan kesukaan anaknya, padahal itu merepotkan. Harus berbelanja berdesak-desakan karena jelang lebaran, pasar pasti membeludak pengunjungnya. Lalu sang ibu tidak mempersalahkan jika harus berkutat lama di dapur, padahal membeli makanan jauh lebih praktis. Tapi ibu ingin menghadirkan cita rasa dan kasih sayang dalam makanan yang nantinya dihidangkan untuk sang anak yang mudik. 

Mudik memang bukan sekadar tradisi seremoni basa-basi. Mudik menjadi sarana menuntaskan rindu setelah sekian lama tidak bertemu. Melepas segala penat setelah sehari-hari menjalani rutinitas kerja tanpa henti. Menyambung kembali hubungan yang terpisah jarak. Bernostalgia dan berziarah kepada kepingan-kepingan kenangan. 

Namun cerita mudik tahun 2020 mungkin harus ditorehkan sebagai kenangan unik. Kita semua menunda mudik demi memutus mata rantai penyebaran infeksi virus Covid-19. Mengungkapkan permohonan maaf di hari yang fitri secara digital. Semoga ini tidak mengurangi indah dan berharganya makna lebaran.

Ada pula yang kucing-kucingan untuk tetap mudik karena bertahan di tanah rantau justru malah makin menyengsarakan hidup. Karena hari-hari belakangan, hidup kian menampakkan ketidakpastian dan kepahitan. Pandemi yang mencederai kebahagiaan kita. Orang-orang kehilangan pekerjaan dan orang terkasihnya. Semoga kita lekas memenangkan pertarungan dengan virus ini. 

Baca juga:  "Mudhammataan" dan Suspensi Kenikmatan

Supaya mudik tetap menjadi tradisi yang membangkitkan perayaan hari raya Idul Fitri. Agar tidak ada lagi tangis yang pecah karena seorang cucu berharap bisa main di pelataran rumah neneknya. Agar ada senyum tersungging dan dekap erat menyambut kehadiran para pemudik, yang akhirnya tiba dengan selamat di kampung halamannya. 

Semoga saya bisa merasakan mudik dalam kondisi lebih baik. Bercerita tentang lamanya perjalanan dari Swiss atau Negara lain, menuju Kendal. Yang harus transit pesawat berkali-kali dan memakan waktu berjam-jam terombang-ambing di atas langit. Mari kita aminkan semua harap tersebut. Mudah-mudahan kita senantiasa sehat. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top