Dakwah hakikatnya adalah upaya-upaya transformasi untuk meningkatkan kualitas akhlak dan hidup manusia, baik secara individual maupun kelompok, ke arah yang lebih positif, konstruktif, dan produktif. Dakwah untuk melakukan transformasi diri dan masyarakat ini jelas terinspirasi dari Alquran (ar-Ra’d,11).
Contoh konkret dari transformasi sosial sebagai bentuk keberhasilan dakwah Nabi Muhammad saw adalah testimoni atau penuturan sahabat Nabi yang juga adalah sepupu beliau bernama Ja’far ibn Abi Thalib (629 M). Beliau menuturkan, ”Kami dahulu adalah kaum jahiliyah yang menyembah patung, memakan bangkai, mengerjakan perbuatanperbuatan keji, memutuskan hubungan kekeluargaan, memusuhi tetangga, kelompok yang kuat menindas yang lemah. Demikianlah keadaan kami hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari kalagan kami sendiri, yang kami kenal asal keturunan, kejujuran, amanah dan kesuciannya. Lalu Rasul mengajak kami untuk menerapkan ajaran tauhid, hanya menyembah kepada Allah semata, meninggalkan semua bentuk penyembahan terhadap selain Allah, seperti mempertuhankan berhala, ras, suku dan keturunan. Rasul juga mengajak kami menegakkan keadilan, berkata jujur, memelihara amanah dan kesucian diri. Rasul pun mengajak kami menyambung hubungan keluarga, menjaga hubungan tetangga dengan baik, menjauhi kejahatan dan semua bentuk pertumpahan darah. Rasul juga melarang kami melakukan perbuatan keji dan bersumpah palsu, mengeksploitasi dan menelantarkan anak-anak yatim, serta melakukan kekerasan terhadap perempuan, termasuk memfitnah perempuan suci. (Muhammad Abdul Malik ibn Hisyam, Sirah an-Nabi, Dar al-Fikr, Beirut, 1981, Jilid ke-1, Vol. ke-1, hal. 358-359)
Nabi Muhammad saw melakukan dakwah dengan jalan damai tanpa paksaan sama sekali. Akidah Islam disebarkan di atas prinsip la ikraha fid-din (Q.S. al-Baqarah/2: 256). Dalam hal ini, Rasulullah menekankan faktor simpati yang merupakan salah satu faktor
psikologis yang turut mempengaruhi jalannya suatu komunikasi (dakwah), di samping faktor-faktor lainnya, misalnya faktor imitasi (peniruan), sugesti, dan identifikasi.
Di sini Nabi Muhammad tampil sebagai aktor dakah yang ulung dengan perilaku terpuji yang dapat dijadikan contoh teladan (uswah hasanah), sebagaimana termaktub dalam Q.S. alAhzab, 33: 21. Kunci utama menjadi pelaku da’wah adalah mampu memberikan teladan, bukan hanya sekedar mampu menyampaikan ceramah.
Testimoni Ja’far ibn Abi Thalib tersebut memotret secara jelas reformasi yang dilakukan Nabi di masanya, yakni mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat islami dengan berbagai perubahan kondisi ke arah positif, konstruktif dan produktif. Jika keberhasilan Nabi dalam berdakwah diukur melalui penuturan atau testimoni sahabat, maka keberhasilan dakwah kita sekarang dapat dilakukan dengan berbagai model survey. Dalam konteks ini saya mengusulkan untuk memakai survey Indeks Kota Islami yang dikembangkan oleh Ma’arif Institute.
Indeks Kota Islami tersebut ingin mengukur sejauhmana nilai-nilai Islam diterapkan dalam kehidupan warga kota, dan bagaimana nilai-nilai islami dijadikan acuan dalam pembangunan dan pengembangan kota tersebut. Indeks ini menggunakan tiga aspek utama, yaitu keamanan, kesejahteraan, dan kebahagiaan penduduk.
Dimensi keislaman berupa aspek keamanan diderivasikan ke dalam beberapa variabel seperti kebebasan kehidupan beragama, perlindungan hukum, kepemimpinan, pemenuhan hak politik perempuan, hak anak dan hak kelompok difabel. Lalu, aspek kesejahteraan dielaborasikan ke dalam beberapa variabel seperti pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan kesehatan. Terakhir, aspek kebahagiaan diderivasikan ke dalam beberapa variabel seperti kesediaan berbagi, kesetiakawanan, dan harmoni dengan alam. Menarik dicatat, kota-kota yang menerapkan Syariat Islam atau memiliki Perda Syariah tidak mencapai skor IKI yang tinggi.
Bentuk pengukuran keberhasilan dakwah dalam bentuk indeks ini tentu bukan hal mutlak, ini hanya sebuah gagasan. Kita semua dapat mengembangkan bentuk pengukuran yang lebih baik. Intinya, perlu ada ukuran untuk melihat keberhasilan upaya-upaya dakwah. Dengan begitu dapat dinilai secara terukur apakah suatu dakwah berhasil mengubah masyarakat penerima dakwah. Apakah dakwah telah berhasil alat transformasi diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Pengukuran ini penting sebagai alat evaluasi, koreksi, dan introspeksi diri bagi semua kalangan yang terlibat dalam kegiatan dakwah. Yang penting semua pihak, terutama para pelaku dakwah harus memiliki keterbukaan dan kelapangan menerima koreksi dan selanjutnya berupaya untuk melakukan pembaharuan, meningkatkan kualitas dakwah di masa depan. Sebab, jika dakwah belum berhasil mengubah kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik, pasti ada yang keliru dengan dakwah tersebut dan di sinilah perlunya upaya-upaya konkret mereformulasi dakwah di masyarakat.