Rendahnya partisipasi perempuan dalam politik di wilayah publik merupakan bukti belum meratanya pendidikan politik di masyarakat. Tentunya dampak yang ditimbulkan pun cukup kompleks, salah satunya adalah lahirnya kebijakan-kebijakan yang tidak ramah bahkan tidak adil untuk perempuan.
Selain itu, dampak lainnya adalah minimnya pemimpin perempuan yang menduduki jabatan di pemerintahan akibat masih banyak masyarakat termasuk perempuan yang tidak percaya pada kemampuan perempuan lain yang memiliki semangat dan kemampuan dalam mengisi jabatan tersebut dan berasumsi bahwa hanya laki-laki yang pantas berpolitik serta menjadi pemimpin.
Padahal dari pengertiannya sendiri politik tidak menyatakan sebagai suatu strategi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh laki-laki. Menurut Sinta Wahid, perempuan harus ikut terjun dalam politik, selain itu menurut Najwa Shihab saat mengisi acara di Binus mengatakan jika anak muda termasuk perempuan tidak mau ikut berpolitik itu artinya kita sudah kalah berkali-kali. Ketika kita melepaskan tanggung jawab kita dan ketika kita melepaskan apa yang seharusnya bisa kita lakukan sehingga akhirnya diambil alih oleh seseorang yang mengatakan demi bangsa dan Negara.
Politik merupakan suatu strategi atau upaya dalam mendapatkan kekuasaan, tidak ada yang salah dengan politik. Namun yang menjadi persoalannya adalah digunakan untuk apa kekuasaan tersebut? Apakah digunakan untuk membela dan mensejahterakan masyarakat miskin? Apakah digunakan untuk memberikan keadilan pada kelompok-kelompok minoritas yang terpinggirkan? Apakah digunakan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang memberikan keadilan dan perlindungan bagi buruh dan perempuan? Ataukah hanya digunakan untuk memperkaya diri, keluarga dan sanak saudara?
Berbicara politik memang terasa begitu menyebalkan namun meskipun demikian politik adalah urusan kita bersama baik laki-laki maupun perempuan. Jika perempuan tidak ikut berpolitik maka akan semakin banyak kebijakan-kebijakan yang tidak ramah bagi kelompok minoritas termasuk perempuan.
Selain itu anggapan bahwa perempuan tidak layak berpolitik dan menjadi pemimpin (budaya patriarki) akan tetap tumbuh subur, bukankah hal ini akan mempengaruhi keberlangsungan generasi perempuan selanjutnya. Seperti yang kita rasakan saat ini akibat dari minimnya partisipasi perempuan dalam politik adalah masih menggantungnya pengesahan RUU Pungkas (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) yang kini diganti menjadi RUU TPKS.
Pelecehan dan kekerasan seksual masih dinormalisasikan, tidak ada jaminan keamanan perempuan, belum tegasnya sanksi kuota 30% untuk keterwakilan perempuan, banyaknya kebijakan-kebijakan yang merugikan perempuan, terbatasnya ruang gerak perempuan, kemiskinan semakin meningkat, keseimbangan alam tidak terkendalikan itu semua salah satu bagian dari minimnya partisipasi politik perempuan sehingga suara perempuan kurang didengar.
Lantas apa manfaatnya pendidikan politik untuk perempuan? Pertama, dengan pendidikan politik maka akan membantu meningkatkan partisipasi perempuan dalam ranah politik karena menjadi lebih paham terkait manfaat dan pentingnya politik sehingga perempuan berpolitik tidak lagi dianggap sebagai suatu hal yang tabu malah menjadi suatu hal yang dianggap penting.
Partisipasi tersebut bisa dilihat dalam sistem demokrasi salah satunya dalam momentum pilkada baik menjadi penyelenggara atau pun menjadi caleg. Dengan pendidikan politik tersebut perempuan akan lebih percaya diri akan kemampuannya dan menghargai kemampuan perempuan lain. Kedua, pendidikan politik akan membantu masyarakat termasuk perempuan bahwa demokrasi dalam pemilu bukan hanya berbicara mengenai hak dan kewajiban, namun juga tanggung jawab sehingga hal ini akan membantu mengikis hambatan dalam demokrasi salah satunya fenomena golput dan pemilihan kolektif.
Ketiga, dengan pendidikan politik maka akan membantu menciptakan kebijakan-kebijakan yang ramah dan adil untuk perempuan, sehingga segala sesuatu yang dirasa tidak adil dan merugikan perempuan akan lebih mudah disuarakan kemudian ditindaklanjuti lebih cepat. Misalnya dalam kasus KDRT, Perkawinan anak, perdagangan anak, pelecehan seksual bahkan kekerasan seksual.
Keempat, dengan pendidikan politik juga membantu mengatasi lonjakan pelanggaran terkait politik uang, salah satunya saat momentum pilkada. Sehingga masyarakat termasuk perempuan akan lebih paham bahwa politik uang adalah salah satu pelanggaran yang mana baik yang memberi maupun yang menerima akan dikenai sanksi yang tentunya tidak ringan.
Kelima, pendidikan politik juga membantu mengikis budaya korupsi di masyarakat seperti pungli pembuatan surat menyurat KTP, KK, Akta dan lain sebagainya. Dengan pendidikan politik juga menjadikan perempuan lebih kritis terhadap persoalan-persoalan yang terjadi seperti adanya bantuan namun tidak sesuai dengan yang tertulis (aturan pemerintah) maka mereka tidak akan merasa ragu dan takut untuk melaporkan.
Dengan banyak manfaat akan pentingnya pendidikan politik bagi perempuan maka perlu adanya kolaborasi yang tepat antara pemerintah dan perempuan dalam menyelenggarakan pendidikan politik sampai pada lapisan terbawah. Sehingga setiap lapisan masyarakat akan merasakan manfaat dari pendidikan ini. Yuk jangan mau jadi perempuan diperdaya jadilah perempuan yang berdaya.