Sedang Membaca
Sekolah yang Tak Berguna
Shohib Masykur
Penulis Kolom

Bekerja untuk Kemenlu RI, sedang bertugas di Wina, Austria. Alumni Hubungan Internasional UGM, Georgetown University, Washington DC dan Pesatren Nurul Ummah Jogjakarta.

Sekolah yang Tak Berguna

Screenshot 20200113 091112~2

Saya punya teori sederhana: 90 persen yang kita pelajari di SD berguna. Di SMP, hanya 50 persen yang berguna. Di SMA, angkanya anjlok jadi 10 persen saja

Saya bicara dari sudut pandang anak milenial yang lahir tahun 1985, masuk SD tahun 1991 dan tamat SMA tahun 2003. Saya tidak tahu kurikulum sebelum atau sesudah itu.

Banyak hal yang saya pelajari di sekolah dulu sungguh tidak berguna. Bukan tidak berguna bagi peradaban, tetapi tidak berguna bagi kehidupan saya pribadi. Apa gunanya susah payah mempelajari matematika yang begitu ruwet ketika akhirnya saya kuliah di FISIPOL, bekerja sebagai jurnalis, dan berkarir sebagai diplomat? Tidak ada sama sekali.

Meski kemajuan peradaban banyak dipengaruhi oleh penemuan-penemuan penting dalam ilmu matematika, tapi pada level personal saya tidak merasakan gunanya. Maka, setiap menit yang saya habiskan untuk susah payah mempelajari matematika di SMA semata-mata untuk menghadapi ujian hanyalah penyia-nyiaan waktu belaka. Pun demikian dengan banyak pelajaran lain.

Alangkah baiknya jika waktu yang terbuang-buang dulu itu saya gunakan untuk belajar menulis, bicara di depan publik, membaca buku yang menjadi minat saya, menekuni hobi, atau mempelajari hal-hal yang lebih bermanfaat bagi kehidupan (misalnya pertolongan pertama untuk mengatasi serangan jantung atau manajemen keuangan prinadi).

Baca juga:  Syarif al-Idrisi: Penemu Peta dan Bola Dunia

Menurut saya inilah problem terbesar pendidikan kita. Inefisiensi dalam skala yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Murid dipaksa mempelajari seabrek pengetahuan yang tidak relevan buat mereka di masa depan dengan mengorbankan waktu, energi, dan daya pikir yang sejatinya dapat mereka alokasikan secara lebih efisien untuk hal-hal yang lebih relevan dalam kehidupan mereka.

Menarik logika yang digunakan oleh Sherlock Holmes, seorang detektif fiktif brilian yang hidup di abad 19 tapi tidak tahu bahwa bumi mengelilingi matahari. Ketika diledek oleh sahabatnya, dokter Watson, dengan enteng dia menjawab,

“Apa pentingnya itu buatku? Jika bumi mengelilingi bulan pun tidak ada bedanya buatku atau pekerjaanku.”

Menurut Sherlock, otak manusia ibarat loteng dengan kapasitas penyimpanan terbatas. Orang cerdik hanya mengisinya dengan barang yang benar-benar berguna, sementara orang pandir menyesakinya dengan rongsokan yang tidak berguna sehingga barang yang benar-benar berguna justru tersingkir. Selektif adalah kunci.

Barang bagi loteng adalah pengetahuan bagi otak manusia. Jika terlalu banyak pengetahuan tidak berguna yang dijejalkan ke dalam otak kita yang terbatas ini, maka pengetahuan yang benar-benar berguna bagi kita pribadi justru bisa luput.

Sherlock Holmes adalah contoh ekstrem yang konyol (meski tak sekonyol orang-orang yang di abad 21 masih percaya bahwa bumi datar), tapi perspektifnya menarik untuk digunakan melihat sistem pendidikan kita. Begitu banyak waktu, energi, dan talenta murid yang tersia-siakan karena sistem pendidikan kita yang menggunakan metode “one size fits all” untuk menilai siswa.

Baca juga:  Kerupuk, Keterlibatan Seluruh Indera?

Orang yang tidak punya bakat matematika dipaksa mempelajarinya sampai tingkat lanjut dan dinilai berdasarkan performanya di bidang itu. Pun demikian dengan mata pelajaran lain, terutama yang memerlukan talenta khusus untuk mempelajarinya. Mereka susah payah mencurahkan energi di tempat yang salah.

Seyogyanya, biarlah matematika ditekuni oleh orang-orang yang punya bakat matematika. Mereka yang kurang berbakat cukup lah dibekali dengan kemampuan matematika seperlunya sepanjang telah memenuhi esensi dasar yang menjadi “maqasid al-syari’ah”-nya (misalnya kesahihan logika). Begitu juga fisika, kimia, biologi, geografi, sejarah, ekonomi, sastra, dan seterusnya. Bukankah Adam Smith jauh-jauh hari telah menasihati kita untuk fokus pada comparative advantage saja?

Seperti nasihat Rancho kepada dua sobat karibnya dalam film 3 Idiots, “Apa jadinya kalau Muhammad Ali dipaksa belajar nyanyi dan Michael Jackson dipaksa belajar tinju?” Itulah yang sedang kita lakukan dengan sistem pendidikan kita. Puluhan tahun. Tak terbayang berapa talenta yang terbuang sia-sia karenanya.

Saya harap Mas Mendikbud kita sekarang dapat mengubah itu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
13
Ingin Tahu
2
Senang
7
Terhibur
2
Terinspirasi
4
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top