Imam Syafi’i adalah sosok ahli fikih yang kerapkali berdebat dengan banyak ulama, baik melalui lisan atau tulisan. Banyak kisah perdebatannya yang terekam dalam kitab biografi-nya, seperti perdebatannya dengan Muhammad bin Al Hasan, Basyar Al Marisi, Sufyan At Tsauri. Bahkan ia juga mengarang satu bab khusus di dalam kitab Al-Umm yang berisi bantahan terhadap gurunya yaitu Imam Malik atas beberapa kasus yg diberi judul “Ikhtilafu Malik wa As Asyafii” (Perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Imam Syafi’i).
Imam Syafi’i bisa dikatakan adalah peletak dasar-dasar perdebatan, salah satunya adalah ucapannya yang dikutip oleh kitab Hilyatul Auliya’ dalam biografi Imam Syafi’i:
ما ناظرت أحداً قط إلا أحببت أن يوفَّق ويُسدَّد ويُعان، ويكون عليه من الله رعاية وحفظ. وما ناظرت أحداً إلا ولم أبالِ بيَّن الله الحق على لساني أو لسانه»،
Inti dari ungkapan di atas adalah bahwa tujuan Imam Syafi’i berdebat adalah mencari kebenaran, tidak peduli kebenaran itu keluar dari mulutnya atau mulut sang lawan debat.
Selain itu, masih di kitab yang sama, Imam Syafi’i mengatakan bahwa ia tidak berdebat dengan seseorang kecuali sebagai bentuk nasihat kepada lawan debat atau lebih umumnya, berharap kebaikan kepadanya. Berikut kutipan lengkapnya:
ما ناظرت أحدا قط إلا على النصيحة
“Aku tidak berdebat dengan seseorang kecuali dengan tujuan menasihati.”
Ada kisah perdebatan menarik yang terjadi antara Imam Syafi’i dan Imam Sufyan At Tsauri yg dikutip oleh kitab Yaqut an-Nafis, hal. 63:
“Imam Syafi’i dan Imam Sufyan As-Tsauri pernah terjadi perberdebatan antara keduanya tentang kulit bangkai dan sucinya dengan disamak. Imam Syafii berpendapat bahwa kulit bangkai tidak bisa suci meskipun disamak, karena mendasarkan pada suatu hadis, sedangkan At Tsauri berpendapat bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak berdasarkan suatu hadis.
Namun justru perdebatan itu berakhir bahwa keduanya merubah pendapatnya, sehingga Imam Syafii mengatakan bisa suci, sebaliknya Imam As Tsauri mengatakan tidak bisa.”
Ini menunjukkan tidak adanya fanatik atas pendapat dalam berdebat, karena asas mereka adalah mencari kebenaran bukan kemenangan. Ini juga sesuai spirit salah satu Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan Imam Abu Dawud:
إذا حكمَ الحاكمُ فاجتهد فأصابَ، فله أجرانِ. وإذا حكمَ فأخطأ فله أجرٌ واحد
Artinya: “Jika seorang hakim berijtihad, lalu benar, maka ia memendapat dua pahala. Jika ia berijtihad, lalu salah, maka mendapatkan satu pahala.”
Imam Syafi’i dalam banyak kesempatan mengungkapkan bahwa tujuan ia menulis buku adalah ingin menunjukkan kebenaran kepada manusia, tidak peduli pendapat itu dinisbatkan (disandarkan) kepadanya atau tidak, sebagaimana kutipan dalam Hilyatul Auliya’ dalam biografinya:
يا بني ، لوددت أن الخلق كلهم تعلموا – يريد كتبه – ولا ينسب إلي منه شيء
Artinya: “Wahai anakku! Aku ingin manusia belajar dari kitab-kitabku, dan mereka tidak menisbatkannya kepadaku.”
Ini menunjukkan keikhlasan Imam Syafi’i dalam menyampaikan ilmu (termasuk menyampaikan ilmu adalah berdebat). Ia tidak berharap mendapat pujian dari manusia atas pendapatnya. Bahkan, ia rela tidak disebut namanya, asalkan pendapat yang ia yakini benar menjadi pegangan bagi orang-orang, khususnya murid-miridnya.
Meskipun demikian, ada kalanya ia menjumpai lawan debat yang menjengkelkan sebagaimana ucapannya dalam kitab Hilyatul Auliya’:
ما أوردتُ الحق والحجة على أحد؛ فقبلها مني إلا هبتُه واعتقدتُ مودَّته. ولا كابرني أحد على الحق، ودفع الحجة الصحيحة إلا سقط من عيني ورفضته
Yang pada intinya, ketika ia menyampaikan argumen kepada lawan debat, lalu si lawan mengakui kebenaran argumentasinya, maka ia akan respect kepada lawan debat tersebut, sebaliknya ketika ada lawan debat yang sombong dan arogan yang sulit menerima kebenaran, maka ia akan hilang rasa respect kepada lawan debat tersebut.
Dari sini, ia sangat membenci seseorang yang berdebat dengan tujuan kesombongan atau yang biasa disebut debat kusir.
Mantap