Jika kita melihat buku-buku sejarah, tasawuf menjadi salah satu faktor islamisasi di Indonesia. Tasawuf berikut lembaga-lembaga tarekatnya memiliki peranan yang sangat besar dalam perkembangan dan meluasnya Islam di Indonesia. Kehadiran tasawuf memiliki usia yang sama tuanya sebagai ajaran yang masuk di kawasan ini. Para penyebar Islam di Indonesia selain status mereka sebagai mubaligh juga memiliki kapasitas sebagai guru-guru sufi.
Abad-abad pertama peoses islamisasi di kawasan Asia Tenggara memang bersamaan dengan merebaknya tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Dalam abad ini bermunculan tokoh-tokoh sufi yang terkenal seperti Imam Al-Ghazali dengan corak tasawufnya yang dapat diterima oleh para fuqaha (ahli fikih). Ibnu Arabi yang mempengaruhi hampir semua sufi belakangan, Abdul Qadir al-Jilani yang menjadi dasar tarekat Qadiriyah, dan para sufi lainnya.
Diantara banyak tarekat yang berkembang, dua tarekat yang memiliki banyak pengikut di Indonesia adalah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.
Berbagai tarekat yang berkembang di Indonesia ini tidak lepas dari kritik dan polemik. Dalam batas waktu tertentu, di Makkah, Tarekat Naqsyabandiyah dikritik karena dipandang sebagai suatu gerakan pembaruan dalam agama.
Di Nusantara, kritik terhadap tarekat salah satunya dilancarkan oleh Syaikh Salim bin Sumair al-Hadrami, seorang ulama asal Yaman yang singgah di tanah Hindia Belanda, tepatnya di Singapura, pada tahun 1881. Kritiknya ditujukan kepada tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang saat itu dipimpin oleh Syaikh Ismail al-Minangkabawi.
Syaikh Ismail dari tanah Minangkabau merupakan salah satu kunci suksesnya penyebaran tarekat Naaqsyabandiyah Khalidiyah di Asia Tenggara. Setelah bertahun-tahun tinggal dan mengajar di Mekkah, pada tahun 1850 ia memutuskan untuk kembali ke Nusantara dan tinggal di Singapura yang merupakan tempat pusat persinggahan para pedagang ataupun jamaah haji yang akan berangkat maupun pulang dari Mekkah.
Menurut Martin Van Bruinessen kritik yang dilancarkan Syaikh Salim tidaklah menyerang tarekat sebagai tarekat, akan tetapi mencela syaikh-syaikh yang berpengaruh itu sebagai guru-guru gadungan. Tulisan Syaikh Salim merupakan tuduhan terhadap pribadi Syaikh Ismail Minangkabau. Syaikh Salim menilai Syaikh Ismail bersalah karena mengajarkan ajaran-ajaran tarekat kepada orang-orang awam yang tak memenuhi syarat untuk masuk tarekat.
Kritik Syaikh Salim bin Sumair ini tertuang dalam naskah manuskrip koleksi digital milik Perpustakaan Universitas Leiden dengan nomor pengenal Or.6829, judul lengkap manuskrip tersebut adalah Nubdzah Fii Radd Ahli at-Thariqah Fii Singafurah Sanata 1269 (Ringkasan penolakan terhadap praktik Tarekat di Singapura tahun 1269 H).
Pada permulaan kitabnya beliau mengungkapkan bahwa pada tahun 1269 H beliau melihat banyak jamaah haji dari kalangan orang-orang awam berkumpul dan sibuk dengan berdzikir di waktu-waktu tertentu dan berkhalwat kurang lebih selama 40 hari. Beliau mengatakan:
أمابعد ففي عام تسع وستين ومائتين وألف كنت في جزيرة سنغفورة وكان بها في ذلك الوقت بعض الحجاج يجمع كثيرا من العامة فيشغلهم بالذكر في أوقات ويجعل لهم خلوة أربعين يوما أو أقل، ويسمى ذلك طريقة.
“Amma Bakdu pada tahun 1269 H saya berada di tanah Singapura. Pada waktu itu terdapat sebagian besar jamaah haji dalam jumlah besar berkumpul, mereka sibuk berdzikir pada waktu-waktu tertentu, dan mengamalkan khalwat selama 40 hari. Praktik tersebut bernama tarekat.”
Ada 6 alasan yang dikemukakan Syaikh Salim dalam mengkritik tarekat yang dipimpin Syaikh Ismail Minangkabau. Beliau mengatakan:
Yang pertama karena para pengikut tarekat ini tidak mempelajari ilmu yang difardhukan oleh Allah SWT. Kedua, seseorang yang mengamalkan suatu amalan mesti mengetahui hukum mengerjakan amalan tersebut. Ketiga, para pengikut tarekat ini mengikuti tarekat dan meninggalkan sesuatu yang telah difardukan oleh Allah SWT yaitu mempelajari ilmu yang wajib dipelajari dan taubat dari segala dosa. Keempat, mereka masuk tarekat tidak sesuai dengan urutan yang benar menurut syara’ dan menyalahi kaidah-kaidah tasawuf. Kelima, mereka terjerumus kedalam tiga kerusakan, yaitu ujub, ghurur, dan ridha terhadap nafsu. Keenam, mereka mengaku kasyaf ketika khalwat.
Beliau juga kemudian mewajibkan kepada pemerintah setempat untuk mencegah Syaikh Ismail dan para pengikutnya dari praktik tarekat itu. Beliau mengatakan:
ويجب على المتولين في هذه الجهة من ولاة المسلمين أن يمنعوا هذا الحاج من هذا العمل وكل من عمل ومن اتبعهم فإنّ الولاة مخاطبوه بذلك وقد قال النبي ﷺ (كلكم راع وكلكم مسؤولون عن رعيته)
“Wajib hukumnya kepada para pemerintah kau muslimin di daerah ini untuk mencegah haji ini (Syaikh Ismail Minangkabau) dan para pengikutnya dari perbuatan tarekat ini. Karena pemerintah diperintah atas hal itu. Sebagaimana sabda Nabi “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya””.
Kritik yang dilancarkan terhadap tarekat ini tidak hanya dilakukan oleh Syaikh Salim, melainkan juga dilancarkan oleh Sayyid Utsman Betawi dan Syekh Nawawi Banten. Kritik Sayyid Utsman beliau tuliskan dalam kitab al-Nashihat al-Aniqah li al-Mutalabbisina at-Thariqah (Nasihat yang Elok Untuk Para Pengikut Tarekat). Tulisan berupa pamflet ini berisi tentang kritiknya terhadap para pengikut tarekat, khususnya tarekat Naqshabandiyah yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam.
Pada tahun yang sama, Sayyid Utsman menulis kitab yang berjudul al-Watshiqah al-Wafiyyah Fi Uluwwi Shan’i at-Tahriqah. Isi kitab tersebut tidak jauh beda dengan kitab yang pertama yaitu berisi tuntunan dan syarat-syarat masuk tarekat bagi kaum muslim awam yang tidak mungkin bisa dilakukan pada saat itu karena ketatnya persyaratan masuk tarekat.
Pada awalnya, Sayyid Utsman meminta dukungan kepada Syaikh Nawawi Banten, namun beliau awalnya menolak untuk mendukung penyerangan tarekat karena Syekh Nawawi mesti berdiri dengan moderat. Tetapi kemudian Sayyid utsman meminta kepada Syekh Nawawi untuk mentashih kitabnya yang berjudul al-Nashihat al-Aniqah li al-Mutalabbisina at-Thariqah. Beliau memberikan tashihnya karena beliau pun melihat dalam kitab tersebut juga berisi tentang panduan memasuki tarekat bagi orang awam, sehingga beliau pun bersedia.
Kritik yang dilancarkan oleh Sayyid Utsman yang juga menggunakan karya Syaikh Salim ini dijawab oleh murid Syaikh Ismail Minangkabau yang bernama Tuanku Nan Garang, Ia menuliskan counter narasi-nya dalam kitab yang berjudul Naskah Surat Thariqah dalam bentuk syair.
Masyhurnya itu tatkala berbantah
Kepada bin Sumair ia berkata
Aku ini bukan kau buta
Kehendak qasad mu padaku nyata
Tatkala Ismail dimuliakan Maulana
Sumair sedikit ada terhina
Ilmu ajarannya tidak berguna
Lalu ke Mesjid berbuat bencana
Kedua naskah di atas setidaknya menjadi bukti polemik dan perdebatan tarekat di Singapura pada abad ke-19. Syaikh Salim mengkritik Syaikh Ismail Minangkabau dengan mengemukakan setidaknya enam alasan yang ia tulis dalam kitab Nubdzah. Kritik itulah yang kemudian menyebabkan Syaikh Ismail Minangkabau memutuskan untuk kembali ke Mekkah hingga akhir hayatnya. Wallahu A’lam.
Sumber:
Hadi, Syofyan.“Naskah al-Manhal al-‘adhb li-dhikr al-qalb: Kajian atas Dinamika Perkembangan Ajaran Tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di Minangkabau. Tesis, SPS, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Shoheh, Muhammad. NASKAH SURAT TARIQAH: KRITIK TUANKU NAN
GARANG ATAS SIKAP ANTI TAREKAT DAN ANTI JIHAD SAYYID UTHMAN AL-BATAWI. Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2017
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Islam di Indonesia Abad K-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Van Bruinessen, Martin. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan, 1955.
Van Bruinessen, Martin. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1992.