Membangun Indonesia melalui teknologi pesawat terbang merupakan cita-cita yang berhasil diwujudkan (alm) Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 silam. Habibie sepenuhnya menyadari, membangun industri pesawat terbang tidaklah mudah tapi bukan berarti sulit diwujudkan. Justru di situlah tantangannya, yang berhasil ia buktikan.
Saat bermukim di Jerman Barat, Habibie pernah menjabat wakil presiden dari industri pesawat terbang yang dikenal cukup besar di dunia. Sebuah jabatan tinggi di negeri orang yang tak mudah dicapai, apalagi bagi orang Indonesia yang harus bersaing dengan para ilmuwan setempat yang jumlahnya cukup banyak.
Selama bertahun-tahun menimba ilmu di luar negeri hingga akhirnya menduduki jabatan bergengsi tersebut, tak lantas membuat Habibie lupa diri dan abai dengan negeri kelahirannya. Justru ia tinggal cukup lama di luar negeri agar ilmu yang dimilikinya kelak bisa dipersiapkan untuk membangun Indonesia lewat industri pesawat terbang.
Bahkan, sebelum kepulangannya ke negeri ini untuk mewujudkan cita-citanya, ia juga berhasil merekrut puluhan teman-teman di Indonesia agar belajar dengan cara ikut bekerja satu tim di industri pesawat terbang Jerman. Semakin banyak warga negeri ini yang menimba ilmu di sana, diharapkan kelak makin banyak penerus yang membantunya membangun Indonesia.
Banyak prestasi ditorehkan Habibie selama di luar negeri. Misalnya, ketika ia bekerja di HFB (Hamburger Flugzeugbau) di Hamburg, ia pernah berhasil memecahkan persoalan yang menyangkut kestabilan konstruksi di bagian pesawat terbang F 28. Waktu itu ia ditugasi mengembangkan pesawat terbang mulai dari bagian bawah hingga ekor pesawat. Dalam waktu 6 bulan, Habibie mampu menyelesaikan tugas itu dengan baik.
Keberhasilan Habibie membuat pihak HFB memberikan tugas baru yakni memecahkan persoalan yang menyangkut konstruksi gantungan mesin di bagian belakang pesawat terbang eksekutif yang dikenal dengan nama HFB 320. Menjelang tujuh bulan, persoalan itu pun berhasil diselesaikan Habibie dengan baik. Keberhasilan memecahkan dua persoalan besar tersebut lantas membuat pihak HFB menyediakan sejumlah asisten untuk Habibie (hal 91).
Habibie kembali menorehkan prestasi membanggakan saat ia berhasil memecahkan persoalan jatuhnya pesawat tempur Starfighter F-1 04 G yang tanpa diketahui penyebabnya. Dari hasil pengamatan Habibie, ia berkesimpulan bahwa penyebab jatuhnya pesawat tersebut akibat akumulasi kerusakan yang terjadi di sayap F-1 04 G.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Habibie, ternyata spektrum atau susunan urutan tegangan yang membebani “wilayah retak” sangat menentukan. Di sinilah yang menjadi letak penyebab jatuhnya pesawat tempur F-1 04 G. Perbaikan di bagian sayap pun segera dilakukan dan akhirnya berhasil. Sejak saat itu tidak ada lagi kasus jatuhnya pesawat F-1 04 G (hal 93).
Di dalam kariernya, Habibie pernah mendapat julukan “Mr. Crack” karena ia termasuk orang pertama di dunia yang bisa memperlihatkan kepada dunia ilmu pengetahuan bagaimana menghitung crack propagation on random sampai ke atom-atomnya (hal 95).
Kembali ke Indonesia
Sabtu, 26 Januari 1974, Habibie akhirnya kembali ke Indonesia. Waktu itu usianya 37 tahun. Ketika menghadap Presiden Soeharto, ia diminta untuk ikut menyukseskan pembangunan.
Waktu itu, Pak Harto berkata, “Habibie, saya tahu dan mengenal kamu, sekarang kamu harus membantu saya untuk menyukseskan pembangunan. Yang penting bagi saya adalah teknologi, coba kamu cari jalan.”
Habibie lantas menjawab, “Pak Harto, saya hanya bisa membuat kapal terbang, mengapa saya akan diberi tugas begini?” Pak Harto lalu menjawab, “Kamu bisa membuat kapal terbang, berarti bisa membuat yang lain-lain” (hal 111-112).
Setelah melewati sederet proses panjang dan melelahkan, pada tahun 1976, pria yang beberapa tahun kemudian menjabat Presiden Indonesia Ketiga ini, akhirnya berhasil merealisasikan impiannya membangun industri pesawat terbang. Pada tahun tersebut, Industri Pesawat Terbang Nusantara di Bandung (yang sebelumnya adalah PT Nurtanio) yang dipimpin BJ Habibie resmi dioperasikan (hal 119).
Buku ini mengurai panjang lebar perjuangan Habibie membangun negeri ini lewat teknologi pesawat terbang. Selain itu juga kisah masa kecilnya yang penuh liku, karier, dan berbagai prestasi yang pernah diraih.
Tentu saja, kisah asmaranya dengan Ainun, perempuan yang kemudian menjadi istrinya, juga dikisahkan dengan lugas dalam buku karya A. Makmur Makka ini. (SI)